tirto.id - Sebelum televisi swasta menguasai layar kaca, ingatan tentang televisi yang terpacak di benak masyarakat Indonesia hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI). Pada zaman Orde Baru, stasiun televisi itu dijadikan alat propaganda oleh pemerintah untuk menutupi pelbagai kebobrokan negara.
Acara memanen padi, kuis kelompok petani, temu pemerintah dengan pedagang, belajar bahasa Inggris, cerdas cermat antarpelajar, dan tayangan adem lainnya diputar di tengah operasi Petrus yang bikin jeri para preman bertato, sapu bersih para pelaku subversif, alat-alat pemerintah disebar untuk memata-matai orang-orang kritis, dan sebagainya. Di layar kaca, negara seolah-olah aman-aman saja dan rajutan persatuan dijejalkan lewat slogan.
Selain itu, tayangan-tayangan di TVRI pun sering amat kontras dengan situasi di belahan dunia lain yang kerap ditayangkan memprihatinkan. Saat Indonesia digambarkan gemah ripah loh jinawi tak kurang suatu apa pun, program "Dunia Dalam Berita" justru mengabarkan tentang bencana kelaparan di Afrika, konflik bersenjata di Afganistan, atau perang etnis di Balkan.
Program-program TVRI yang hampir nirkeburukan situasi dalam negeri, dan slogan "Menjalin Persatuan dan Kesatuan" inilah yang menjadi salah satu penyumbang rasa rindu kembali ke masa lalu yang mengkristal dalam kalimat tanya nan aduhai: “Piye kabare? Penak jamanku tho?”
Sejak kelahirannya, TVRI memang dihadirkan untuk melayani ambisi politik pemimpin nasional. Mula-mula, gagasan pendirian stasiun televisi sebenarnya dilontarkan oleh Maladi, menteri penerangan zaman Sukarno, pada 1952. Ia berpikiran bahwa kehadiran stasiun televisi akan menguntungkan pemerintah dalam kampanye Pemilu 1955.
“Menguntungkan” dalam benak Maladi waktu itu maksudnya bisa mendorong sosialisasi pemilu kepada masyarakat secara cepat, bukan “menguntungkan” secara politik bagi partai “milik” pemerintah, yaitu PNI. Sebab pada kenyataannya, tanpa kehadiran stasiun televisi pun PNI mampu keluar sebagai pemenang pada pemilu pertama tersebut.
Namun, gagasan Maladi tersebut harus kandas karena kabinet yang waktu itu sulit dikendalikan Sukarno menolaknya. Ide Maladi untuk mendirikan stasiun televisi mulai menampakkan titik terang saat situasi politik berubah secara drastis. Kendali politik nasional mulai sepenuhnya di tangan Sukarno saat ia mengeluarkan Dekrit Presiden pada 1959 yang salah satu isinya membubarkan konstituante atau parlemen hasil Pemilu 1955.
Putra Sang Fajar kemudian mendaku dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup dan sistem tata politik dikendalikan oleh sebuah anomali demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin. Setahun sebelum Dekrit Presiden lahir, Indonesia secara resmi terpilih sebagai tuan rumah Asian Games IV 1962 setelah mengalahkan Pakistan pada pemungutan suara di Tokyo, Jepang.
Asian Games Melahirkan TVRI
Kemenangan tersebut segera menghamparkan sejumlah tantangan yang amat berat karena kondisi ekonomi nasional sedang morat-marit. Namun, Sukarno pantang mundur. Lewat lobi-lobi politiknya, ia berhasil menggalang dana dari Uni Soviet untuk membangun sejumlah infrastruktur yang sampai hari ini banyak menjadi ikon Kota Jakarta.
Dalam konteks Asian Games inilah Maladi mendorong lagi gagasannya untuk mewujudkan kehadiran stasiun televisi. Menurut Maladi, seperti dikutip Ade Armando dalam Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia (2011), liputan Asian Games lewat televisi berpeluang menggalang kembali rasa kebangsaan dan persatuan nasional yang telah koyak oleh berbagai pemberontakan di daerah dan ide federalisme pada masa-masa awal Republik. Meski pada kenyataannya, siaran Asian Games itu hanya bisa dilihat oleh warga Jakarta dan sekitarnya.
Sejak awal, Sukarno memang setuju terhadap gagasan Maladi, hanya saja situasi politiknya belum memungkinkan. Maka saat kendali politik nasional dalam genggamannya, ia segera memutuskan untuk mendirikan stasiun televisi pada 1960 setelah disetujui MPRS.
Sukarno lalu menunjuk R.M. Soetarto untuk membidani kelahiran TVRI dengan diangkat sebagai Kepala Direktorat Perfilman Negara sekaligus menjadi ketua panitia persiapan stasiun televisi tersebut. Penunjukan itu sontak membuatnya kaget, sebab ia tak mengerti urusan televisi. Lagi pula televisi waktu itu baru hadir di negara-negara industri, bukan di negara yang muda usia seperti Indonesia.
Sebagai negara yang belum lama merdeka, boro-boro segera menjelma menjadi negara industri, untuk mempertahankan kondisi ekonomi secara stabil saja Indonesia kesulitan. Dalam situasi negara seperti inilah R.M. Soetarto ditunjuk untuk mengemban tugas berat. Kepada Sukarno ia meminta disekolahkan ke Amerika Serikat, tepatnya di New York, untuk belajar seluk-beluk televisi.
“Bagaimana bisa membangun? Saya bilang ‘Mas Karno, saya harus belajar dulu. Sekolahkan saya ke negara yang sudah punya jaringan televisi. Boleh saya pergi selama lima bulan?’ eh dikasih izin,” kenangnya seperti dikutip Gatra.
Ia pun segera berangkat ke Amerika Serikat. Mula-mula ia belajar di New York, lalu ke Atlanta. Berbeda dengan New York yang sistem pertelevisiannya telah maju, di Atlanta ia mendapati teknologi televisi yang lebih sederhana. Menurutnya, waktu itu siaran televisi masih disebarluaskan dengan pesawat terbang.
“Saya belajar di sana, ikut terbang, melihat langsung. Sebetulnya butuh sekolah yang tinggi untuk mengerjakan TV ini. Tapi, karena ditunjuk mendadak, saya pikir paling tepat belajar seperti itu,” ujarnya.
TVRI Mengudara
Setelah masa belajar selesai, Soetarto beserta sembilan orang lainnya dalam satu tim, bekerja keras untuk mewujudkan ambisi Sukarno mendirikan stasiun televisi. Sesudah beberapa tahun tim tersebut bekerja keras, mereka akhirnya berhasil mendirikan pemancar televisi dengan daya 10 kilowatt dan menara antena yang menjulang setinggi 80 meter.
“Saya juga melibatkan mahasiswa ITB. Kami bekerja siang malam untuk mengejar dead-line. Waktu begitu mendesak sehingga kami terpaksa meniadakan uji coba. Buat saya itu tragis, tapi sekaligus menggembirakan,” ujarnya kepada Gatra.
Keesokan harinya, yakni 24 Agustus 1962, tepat hari ini 56 tahun lalu, TVRI mengudara untuk pertama kali.
“Siaran perdananya menayangkan Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17 dari Istana Negara Jakarta. Siarannya ini masih berupa hitam putih. TVRI kemudian meliput Asian Games,” tulis Anton Mabruri KN dalam Manajemen Produksi Program Acara TV (2013).
Kehadiran TVRI, menurut Ade Armando dalam Televisi Jakarta di Atas Indonesia, hampir sama seperti Radio Republik Indonesia (RRI) yang tidak berorientasi komersial. Perbedaannya adalah TVRI lahir saat sistem politik otoriter sedang berlangsung di Indonesia.
“Oleh karena itu, bisa dibayangkan bahwa bagi Sukarno, TVRI adalah sebuah sarana lain untuk mengukuhkan kekuasaannya […] Sukarno menggambarkan televisi sebagai alat untuk pembangunan bangsa, revolusi, dan pembentukan manusia sosialis Indonesia,” tambah Ade Armando.
Editor: Ivan Aulia Ahsan