tirto.id - Suara ayahanda almarhum Dini Sera Afrianti, Ujang Suherman, korban pembunuhan terdakwa Gregorius Ronald Tannur, terbata-bata. Ia tampak tegar dan menahan air mata. Berjaket dan bertopi hitam ia berucap dengan lirih.
"Kalau bapak minta keadilan saja yang penting, yang bersangkutan itu ditindaklanjut, dihukum," kata Ujang kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/7/2024).
Ujang menilai vonis bebas terhadap Ronald oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya beberapa waktu lalu, tak masuk akal. Sebab, berbanding terbalik dengan tuntutan 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Divonis bebas, kan, enggak masuk di akal. Bapak sebagai orang tua yang bodoh, lah, udah kaget, apalagi orang yang pintar-pintar begitu," ucap Ujang penuh kesal.
Ujang menyebut tidak ada iktikad baik yang diucapkan dari mulut Ronald dan keluarganya untuk menyampaikan maaf atas kematian Dini.
"Enggak pernah minta maaf juga, belum pernah. Mau di media atau di rumah juga belum ada, perwakilannya juga gak ada," tutur Ujang.
Bicara di ruang rapat Komisi III DPR RI, adik Dini Sera, Alfika Risma, menuntut keadilan atas vonis bebas hakim terhadap terdakwa Ronald.
"Saya datang ke sini bersama bapak saya didampingi kuasa hukum saya untuk menyuarakan aspirasi saya agar didengar oleh rekan-rekan media sekalian juga. Saya memperjuangkan ini terutama untuk kakak kandung saya Alm Dini, serta ibu saya yang sudah meninggal 3 bulan yang lalu," kata Alfika.
Ia memohon kepada Komisi III DPR RI membantu mengawal kasus ini agar mereka sekeluarga mendapatkan keadilan. Ia menuntut agar Ronald dan hakim yang memvonis bebas dihukum setimpal.
"Saya mohon kepada Bapak Pimpinan Komisi 3 untuk membantu terus kasus ini, hingga selesai agar keluarga saya mendapatkan keadilan dan tersangka mendapat hukuman setimpal, dan hakim segera ditindak juga dengan seadil-adilnya," tutur Alfika.
DPR Nilai Putusan Hakim Jauh dari Rasa Keadilan
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menilai putusan hakim PN Surabaya terhadap kasus ini sangat jauh dari rasa keadilan. Ia mengatakan sejak awal Komisi III mewanti-wanti, putusan kasus ini akan dipengaruhi kekuasaan tertentu yang bisa saja berakhir damai tanpa melalui proses pengadilan.
"Itu kekhawatiran awal kami," kata Habiburokhman,
Ia mengatakan proses hukum kasus ini bisa berjalan, tetapi kondisinya sangat mengecewakan dan memprihatinkan. "Nyatanya, majelis hakim memutus benar-benar bertentangan dengan rasa keadilan," lanjutnya.
Menurutnya, Komisi III DPR RI berjanji akan terus mengawal kasus yang kini sudah di tingkat kasasi. Wakil Ketua Umum Gerindra itu mengajak semua pihak, terutama majelis hakim yang akan memutus perkara ini di tingkat kasasi untuk berbuat adil.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menilai tiga hakim yang memutus perkara ini sangat keliru menjatuhkan vonis. Sahroni geram ketika membaca putusan hakim yang memvonis bebas terdakwa Ronald.
"Saya pertama kali baca berita itu, orang tolol manapun kalau melihat kejadian terkait yang sudah terjadi dan dinyatakan vonis bebas, itu yang sampai hari ini saya bilang 3 hakim yang memutuskan vonis bebas sakit semua," kata Sahroni.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Nasir Djamil, menilai tiga hakim yang memvonis perkara ini sudah mati rasa. Ia pun mempertanyakan sosok yang merobohkan keyakinan hakim.
"Mengapa hakim, kok, bisa mati rasa, ya. Siapa yang mengganggu keyakinan dia itu, siapa yang merobohkan keyakinan hakim itu," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Santoso, menduga ada pihak-pihak yang ikut bermain di balik putusan bebas dalam perkara ini. Ia mengatakan Komisi III DPR RI mendorong Mahkamah Agung (MA) memeriksa ketiga hakim yang memutus perkara ini.
"Mahkamah Agung agar memeriksa para hakim di peradilan itu apakah yang diputuskan benar-benar sesuai dengan fakta di lapangan dan fakta hukum, atau memang terjadi pesanan-pesanan, terjadi unsur mafia peradilan, akhirnya keadilan yang harus diwujudkan diabaikan oleh para hakim," katanya.
Santoso mengatakan, dalam undang-undang hakim memang memiliki independensi dalam memutuskan sebuah perkara. Namun, fakta-fakta yang terjadi harusnya juga menjadi landasan hakim untuk memutuskan dengan hati nurani dan berkeadilan.
"Jadi, saya pikir kita harus mengawal ini bersama-sama, dan di masa sidang nanti kami agendakan rapat khusus dengan KY dan kami juga mengundang MA untuk membahas masalah ini," tutur Santoso.
Wakil Ketua DPR RI, Dasco Sufmi Ahmad, juga angkat bicara. Menurut Dasco, lembaganya akan berkomitmen untuk mengawal dan menuntaskan masalah ini. Ia mengatakan DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap lembaga yudikatif akan melakukan hal yang terbaik yang bisa dilakukan.
"Kami berkomitmen bersama teman-teman di komisi hukum ini untuk terus mengawal sehingga korban dan keluarga korban dapat menerima hak dengan seadil-adilnya," tutur Dasco.
Gregorius Ronald Tannur sebelumnya didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29) di kawasan Lenmarc Mal di Jalan Mayjen Jonosewejo, Lakarsantri, Surabaya, 4 Oktober 2023. Dini juga terlindas oleh mobil Ronald saat bersandar di luar pintu berdasar hasil rekonstruksi.
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh JPU dari Kejaksaan Negeri Surabaya, Gregorius Ronald Tannur dijerat dengan pasal pembunuhan dan penganiayaan yaitu Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP. Ia pun dituntut 12 tahun penjara dan restitusi bagi keluarga korban senilai Rp263,6 juta.
Akan tetapi, Ketua Majelis Hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, memvonis bebas Ronald Tannur dengan alasan bukti perkara tidak cukup menguatkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Hakim meyakini Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat (3), Pasal 359, dan Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.
Majelis hakim menyebut Dini meninggal karena minum alkohol. Hakim turut menuturkan bahwa tidak ada saksi yang menyatakan penyebab kematian korban.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi