tirto.id - Pada suatu sore di musim dingin tahun 1876 di Wollstein, Prusia Timur, seorang petani menyeruak masuk ke ruang praktik dokter Robert Koch yang tengah memeriksa seorang pasien. “Maaf, Tuan dokter. Tolong domba-domba saya! Tadi pagi semua masih sehat, saya sendiri yang memberi makan. Sekarang satu sudah mati, satu lagi sedang sekarat. Satu lagi masih sehat—saya sungguh tidak mengerti!”
Dokter desa berusia 32 tahun itu bergegas mengikuti si petani ke rumahnya, meninggalkan para pasien yang menggerutu karena Koch memilih memeriksa domba ketimbang manusia. “Anthrax,” gumam Koch. Ia memang tidak bisa menyelamatkan domba yang masih hidup, tapi kemudian mengambil sampel darah dari domba yang telah mati. Warna darahnya tak lagi merah, melainkan hitam mengerikan.
Di balik lensa mikroskop hadiah dari istrinya, Koch mengamati makhluk-makhluk renik berbentuk tongkat: ada yang sendiri, ada yang saling berkait menyerupai rantai. Pada darah domba yang sehat, Koch tidak menemukan makhluk-makhluk tersebut. Koch pun larut dalam pengamatan darah hewan, baik yang sakit maupun yang sehat. Semua rumah jagal di Wollstein sudah mafhum bila Koch datang untuk meminta darah hewan.
Dalam benak Koch, seperti ditulis David C. Knight dalam Robert Koch: Father of Bacteriology (2018), sejumlah pertanyaan berkecamuk. Bagaimana mencari tahu bahwa makhluk-makhluk kecil itu benar-benar hidup? Dan jika mereka adalah penyebab anthrax, bagaimana aku membuktikannya bila aku tidak bisa membuktikan bahwa mereka adalah makhluk hidup? Aku harus melihat mereka tumbuh, berkembang biak, dan menggandakan diri…”
Di laboratoriumnya yang sederhana, dokter desa ini berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaannya, serta membuktikan bahwa makhluk kecil tersebut hidup dan dapat berpindah-pindah inang. Koch lantas memberanikan diri menulis surat kepada Dr. Ferdinand Cohn, ahli bakteriologi terkemuka Jerman, untuk menyampaikan temuannya.
Pada 30 April 1876, Cohn mengundang Robert Koch ke Breslau untuk mendemonstrasikan temuannya di Botanical Institute. Di hadapan para ilmuwan terkemuka Jerman, selama tiga hari Koch menunjukkan siklus hidup bakteri penyebab anthrax. Artikel Koch sepanjang 40 halaman muncul di Contributions to the Biology of Plants, dan menjadi literatur klasik dalam sejarah kedokteran.
Koch juga menjadi pionir dalam teknik fotografi mikro. Teknik ini merupakan terobosan dalam penelitian mikroorganisme, mengingat gambar sketsa dan deskripsi mikroorganisme menggunakan kata-kata kerapkali mirip satu sama lain sehingga membingungkan. Koch menerbitkan sebuah artikel yang menjelaskan cara memotret mikroorganisme dengan teknik pewarnaan menggunakan metode Weigert. Ia kian produktif meneliti dan senantiasa melaporkannya lewat publikasi di jurnal.
Koch kemudian dipromosikan sebagai peneliti di Imperial Health Office di Berlin pada Juli 1880 hingga akhir hayatnya. Penugasan ini memungkinkannya memiliki laboratorium yang layak dengan alat-alat lengkap dan pendanaan berlimpah. Dua asistennya, Friedrich Loeffler dan Georg Gaffky, bahu-membahu membantunya mengembangkan cabang ilmu yang masih sangat muda ini.
Begitu produktifnya laboratorium Robert Koch dengan penemuan-penemuan mikroorganisme baru sehingga masa ini disebut sebagai Zaman Keemasan Bakteriologi. Koch menggambarkannya, “Masa seolah emas tergeletak di mana-mana. Kita tinggal memungutnya.” Ya, ia memang seolah tinggal memungut bakteri apa pun untuk dipelajari di balik lensa mikroskopnya.
Popularitas Koch yang kian membubung membuatnya diundang ke berbagai negara untuk memerangi berbagai wabah, dari kolera, malaria, hingga tuberculosis. Ia bahkan menggugurkan keyakinan para penganut Rudolf Virchow, ahli patologi terhebat di Jerman, terkait tuberculosis yang disebut Virchow sebagai penyakit turunan.
Pada 1882, Koch berhasil mengisolasi dan membiakkan bakteri penyebab tuberkulosis, yakni tubercle bacillus (dinamakan Mycobacterium tuberculosis pada 1886). Ketika memulai penelitian tuberkulosis, ia menetapkan serangkaian peraturan sebagai panduan untuk penelitian mikroorganisme. Panduan yang dikenal sebagai Postulat Koch itu dibuat untuk memeriksa apakah suatu mikroorganisme menyebabkan penyakit.
Empat kriteria dalam Postulat Koch itu adalah: (1) Mikroorganisme yang diteliti harus ditemukan pada individu yang sakit, tetapi tidak pada individu yang sehat. (2) Mikroorganisme yang diteliti harus dibiakkan secara murni dari individu yang sakit di luar tubuh penderita. (3) Inokulasi individu yang sehat dengan mikroorganisme hasil biakan di luar tubuh harus dapat menyebabkan penyakit pada tubuh individu yang sehat. (4) Mikroorganisme yang sama harus dapat diperoleh dari individu yang sakit setelah inokulasi, dan mikroorganismenya dapat dibiakkan lagi sebagai kultur murni di luar tubuh.
Hingga hari ini, Postulat Koch masih merupakan standar emas untuk menetapkan kriteria suatu mikroorganisme sebagai penyebab penyakit.
Kontribusi Koch yang paling sering disebut adalah keberhasilannya mengidentifikasi mikroorganisme-mikroorganisme penyebab penyakit, seperti anthrax, kolera, dan tuberculosis. Namun, kontribusinya yang paling mendasar dalam biologi modern adalah ketika ia membiakkan bakteri pada cawan tahun 1881—Julius Richard Petri, penemu cawan petri, baru bergabung sebagai asisten Koch pada 1887.
Seperti dicatat Robin A. Weiss dalam “Robert Koch: The Grandfather of Cloning?” Cell, Vol. 123, November 18 (2005, hlm. 539–542), teknik tersebut pada dasarnya adalah kloning, yang di kemudian hari memunculkan banyak penemuan besar dengan teknologi yang dikembangkan Koch.
Robert Koch dan Murid-Muridnya
Pada 1905, Koch dianugerahi Hadiah Nobel atas penelitiannya untuk tuberculosis. Jauh sebelumnya, ia telah menjadi magnet bagi para ilmuwan muda dari berbagai belahan dunia. Laboratoriumnya menjadi sekolah yang menelurkan nama-nama besar yang juga meraih Hadiah Nobel seperti dirinya, juga penghargaan-penghargaan bergengsi lainnya. Dalam rentang waktu hampir tiga dasawarsa, dari 1877 hingga 1906, Koch berkontribusi dalam penemuan berbagai agen penyebab penyakit, baik secara langsung yang ia temukan sendiri maupun oleh para peneliti yang pernah dididik Koch di laboratoriumnya.
Emil von Behring, perintis imunologi, bahkan meraih Hadiah Nobel pada 1901, empat tahun lebih dulu ketimbang Koch. Behring bekerja di laboratorium Koch pada 1889. Setahun setelah Behring bergabung, Koch menunjuk Paul Ehrlich sebagai salah satu asistennya di Institut Penyakit Menular yang baru didirikan. Pada 1908, atas kontribusinya menemukan antiserum difteri, obat sipilis, dan teknik kemoterapi, Ehrlich juga beroleh Hadiah Nobel seperti guru dan sejawatnya, Behring.
Dari bumi Hindia-Belanda, Christiaan Eijkman, peraih Nobel pada 1929 atas jasanya menemukan penyebab penyakit beri-beri, juga pernah berguru di laboratorium Koch di Berlin pada 1885. Ketika kembali ke Batavia, Eijkman ditunjuk sebagai Direktur Geneeskundig Laboratorium (Laboratorium Kesehatan) yang diresmikan pada 15 Januari 1888. Laboratorium yang kelak dinamai Eijkman Instituut ini menghasilkan sejumlah penemuan penting terkait penyakit tropis, salah satunya penemuan Vitamin B yang menjadi awal studi vitamin.
Dalam Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 (2019, hlm. 422-423) yang disunting Leo van Bergen, dkk disebutkan, ketika Koch melakukan ekspedisi malaria di Jawa pada September-Desember 1899, laboratorium yang dipimpin Eijkman ini menjadi tuan rumah bagi gurunya tersebut.
Masih banyak lagi peneliti lain hasil gemblengan Koch yang tak kalah hebat. Paul Frosch, perintis virologi; Georg Gaffky, salah satu asisten pertamanya yang berhasil membiakkan bakteri penyebab tifus; dan Lydia Rabinowitsch-Kempner, ahli mikrobiologi perempuan pertama sekaligus perempuan pertama di Berlin yang meraih gelar profesor.
Friedrich Loeffler, yang menjadi asisten Koch bersama Gaffky, merupakan ahli virologi yang namanya dibadikan dalam Friedrich Loeffler Institute, yang didirikan pada 1910. Bernhard Nocht, seorang ahli penyakit tropis, yang namanya disematkan dalam Bernhard Nocht Institute for Tropical Medicine, juga pernah bekerja di laboratorium Koch.
Murid lain yang begitu istimewa adalah seorang ahli difteri dan tetanus, Shibasaburo Kitasato. Ia bekerja di laboratorium Koch selama 6 tahun (1886-1892). Ketika Koch mengunjungi Jepang pada 1908, Koch menemani gurunya tersebut selama dua pekan pelesiran. Kitasato juga merupakan orang Jepang sekaligus orang asing pertama yang menjadi anggota Royal Prussian Professor.
Sebagaimana gurunya, namanya tersemat sebagai pusat studi kesehatan di Jepang, The Kitasato Institute. Hingga kini, kerja sama penelitian antara The Kitasato Institute dengan Robert Koch Institute terus dirawat, meski Robert Koch telah meninggal 111 tahun lalu di Baden-Baden, Jerman, pada 27 Mei 1910.
Editor: Irfan Teguh