Menuju konten utama

RKUHP: Jurnalis hingga Advokat Rawan Dikriminalisasi

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan menilai, Pasal 281 yang terdapat dalam draf RKUHP merupakan pasal karet dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis.

RKUHP: Jurnalis hingga Advokat Rawan Dikriminalisasi
ILUSTRASI. Massa yang tergabung dalam Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (JANGKAR PKtPA) membentangkan poster saat menggelar aksi damai menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Surabaya, Kamis (15/2/2018). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibahas panitia kerja (Panja) RKUHP DPR RI menuai kritik. Sejumlah pasal yang diatur dalam draf RKUHP tersebut dinilai bermasalah, salah satunya pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap pengadilan.

Bila tak ada aral yang melintang, Panja RKUHP akan merampungkan pembahasan revisi ini pada periode DPR 2014-2019 atau saat Rapat Paripurna yang akan digelar pada 24 September 2019. Artinya, pasal-pasal yang bermasalah itu segera diberlakukan.

Padahal di sisi lain, terdapat beberapa poin yang berisi ancaman penjara bagi orang yang mengkritik pengadilan. Tidak main-main, bagi pihak yang mengkritik pengadilan dan hakim, bisa dipenjara selama 1 tahun.

Berdasarkan draf RUU KUHP terbaru yang diterima Tirto, Rabu (28/8/2019), hal tersebut diatur dalam Bab VI tentang "TINDAK PIDANA TERHADAP PROSES PERADILAN". Bagian kesatu yaitu "Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan".

Dalam draf RKUHP per 28 Agustus 2019, khususnya pada Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta.

Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court antara lain ditujukan bagi setiap orang yang:

a) Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;

b) Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau

c) Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ICJR, Anggara Suwahju menilai, draf RKUHP, khususnya Pasal 281 sangat bermasalah. Sebab, ada indikasi pasal karet yang timbul dari pengaturan tindak pidana terhadap proses peradilan yang semestinya tidak perlu dimasukkan.

Menurut Anggara, ICJR menilai draf RKUHP tersebut justru menyasar pada tindakan-tindakan isu integritas hakim yang tidak jelas batasannya, sehingga mengancam reformasi peradilan dan demokrasi.

“Tindakan yang dilarang dalam konteks tindak pidana terhadap proses peradilan semestinya harus dibatasi hanya terhadap tindakan-tindakan yang bersifat menghalang-halangi dan mengakibatkan proses persidangan tidak berjalan,” kata Anggara.

Beberapa bentuk tindakan tersebut, misalnya intimidasi, ancaman kekerasan, atau tindakan kekerasan yang ditujukan kepada hakim oleh terkait penetapan dan putusan hakim, bukan soal isu integritasnya.

Menurut Anggara, jika tidak dibatasi, maka nanti dalam praktiknya delik tindak pidana terhadap proses peradilan rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana. Karena itu, ICJR menilai delik Pasal 281 RKUHP tersebut tidak perlu diatur dalam RKUHP.

“ICJR kembali mengingatkan Tim Perumus RKUHP untuk menghapus ketentuan mengenai delik contempt of court khususnya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang terkait dengan isu-isu integritas hakim sebagaimana dirumuskan dalam draf RKUHP saat ini,” kata dia.

Diskriminasi Terhadap Jurnalis dan Advokat

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan menilai, Pasal 281 yang terdapat dalam draf RKUHP merupakan pasal karet dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Sebab, mempublikasikan sidang pengadilan dan putusan hakim merupakan tugas seorang wartawan.

Semestinya, kata Manan, wartawan bebas memberitakan terkait isi dalam sidang pengadilan tersebut. “Termasuk mengkritik hakim jika putusan yang dilakukannya tidak logis dan buruk,” kata Manan saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/9/2019).

Namun, yang ia khawatirkan, ketika hakim bersifat subjektif dalam menilai sebuah tulisan wartawan dan malah menganggap berita tersebut menunjukkan sikap tidak terhormat. Wartawan tersebut pun bisa dikenakan delik pidana seperti yang tertera di dalam Pasal 281 poin c draf RKUHP.

“Menurut saya itu pasal yang berbahaya dan tidak mendukung kebebasan pers,” kata Manan.

Bahayanya lagi, kata Manan, jika pasal RKUHP itu disahkan, akan menjadi alat hakim untuk menekan dan menakut-nakuti wartawan agar tidak mengkritik jalannya persidangan dan hakim.

“Wartawan jadi berhati-hati bikin berita, bahkan takut, malah tidak berani menulis tentang pengadilan dan perilaku hakim. Menurut saya itu sangat bertentangan dengan demokrasi,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Hendarsam Marantoko. Ia tak setuju dengan draf yang tertuang dalam RKUHP, khususnya Pasal 281 poin b. Menurut dia, frasa tentang penyerangan integritas hakim sangat berbahaya sekali bagi pengacara.

Sehingga, kata dia, pasal tersebut sangat berpotensi mengkriminalisasi advokat. “Hakim punya senjata sendiri, kalau hakim subjektif, bisa menjatuhkan delik ke kami [pengacara],” kata dia kepada reporter Tirto.

Hendarsam menjelaskan, dalam sebuah hasil persidangan, pasti akan ada pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan hakim. Sehingga pengacara beserta kliennya berhak menyuarakan ketidakpuasannya atas hasil keputusan tersebut.

Meskipun pengacara beserta kliennya bisa mengajukan banding, kasasi, dan upaya hukum lainnya pasca putusan sidang. “Kalau seperti itu hakim bisa abuse of power, merasa paling benar dan tidak bisa dikritik, seperti Tuhan saja,” kata dia.

Ia pun menyarankan lebih baik draf RKUHP, khususnya Pasal 281 poin b dan c tidak perlu diadakan.

Respons Panja RKUHP

Anggota Komisi III DPR RI yang juga Panja RKUHP, Taufiqulhadi membantah jika draf RKUHP, khususnya Pasal 281 bertujuan mengkriminalisasi jurnalis dan advokat.

Menurut dia, yang dimaksud dalam Pasal 281 poin b, bersikap tidak terhormat terhadap hakim yaitu jika terdapat seseorang yang mengganggu jalannya persidangan.

“Kalau misalnya di dalam berteriak-teriak, mengganggu jalannya persidangan, itu yang kena [delik pidana]," kata dia kepada reporter Tirto.

Kemudian, yang dimaksud dalam Pasal 281 yang tertuang pada poin c, yaitu tidak boleh mempublikasikan secara langsung, karena dikhawatirkan akan memengaruhi sikap saksi dalam memberikan keterangan di dalam persidangan.

Sebab, kata dia, jika saksi telah melihat jalannya persidangan, mereka hanya akan memberikan keterangan sesuai dengan pembahasan persidangan. Sehingga, hakim tak menerima keterangan dari saksi secara alami.

“Kalau ada siaran langsung, nanti saksi akan tahu dan bersaksi bukan hal yang sebenarnya, tapi hal yang ia pelajari dari persidangan tersebut. Akan memengaruhi jalannya persidangan, nanti yang rugi adalah pesidangan,” kata dia.

Namun, Taufiqulhadi mengatakan, untuk hasil vonisnya bisa dipublikasikan oleh wartawan saat usai persidangan. Ia pun menuturkan proses jalannya persidangan juga bisa dipublikasi jika hakim menyatakan sidang terbuka untuk umum.

Meskipun begitu, sampai saat ini pihaknya akan terus menampung aspirasi dari berbagai macam elemen masyarakat. Menurut dia, Panja RKUHP juga akan memberikan penjelasan agar pasal tersebut tidak multitafsir.

“Agar tidak digunakan oleh hakim sebagai pasal karet, nanti akan kami berikan penjelasan,” kata dia menambahkan.

Baca juga artikel terkait REVISI KUHP atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz