Menuju konten utama

Pasal 'Contempt of Court' dalam RKUHP Bisa Kriminalisasi Wartawan

Koalisi Pemantau Peradilan menilai ada potensi kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang mengkritik pengadilan.

Pasal 'Contempt of Court' dalam RKUHP Bisa Kriminalisasi Wartawan
Ilustrasi Penegakan Keadilan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menemukan persoalan serius dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) per Agustus 2019 mengenai pasal contempt of court lantaran dinilai multitafsir.

Koalisi dari berbagai lembaga masyarakat ini melihat ada potensi kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang mengkritik atau menyiarkan informasi, sehingga memengaruhi independensi hakim. Mereka khawatir pasal contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan dalam RKUHP berpotensi jadi pasal karet.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Dio Anshar mengatakan delik contempt of court memang sudah diatur dalam KUHP. Namun, konsep contempt of court dalam RKUHP memiliki tafsir berbeda yang justru lebih menyasar pengkritik peradilan.

“Ini potensi bahaya karena pasal-pasal yang disusun ini justru bisa menjadi pasal karet atau multitafsir, dan akhirnya justru mengkriminalisasi orang-orang yang memberikan masukan atau kritik," kata Dio di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (1/9/2019).

Dalam dokumen RKUHP per 28 Agustus 2019, delik contempt of court diatur dalam Pasal 281 RKUHP dengan ancaman penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta.

Seseorang bisa dianggap melanggar bila memenuhi delik contempt of court, yakni; (a) tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; (b) bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; (c) dan secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Dio juga khawatir pasal contempt of court berdampak kepada wartawan. Sebab, publikasi media dinilai bisa memengaruhi hakim. Alhasil, tidak menutup kemungkinan wartawan pun berpotensi dipidana.

Hal senada diungkapkan perwakilan koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Feby Yonesta. Pria yang biasa disapa Mayong itu sepakat, jika pasal-pasal yang baru ini akan mengkriminalisasi orang-orang yang mengkritik hakim.

"Koalisi memandang pasal ini akan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat atau pihak yang mencoba memberikan masukan terhadap kinerja hakim," katanya kepada Tirto.

Ia mencontohkan potensi pasal karet dalam pandangan koalisi. Dalam poin (a) dan (b), ia mengatakan aturan itu berpotensi mempidanakan orang yang mengkritik kinerja pengadilan. Selain itu, poin (c) berpotensi mempidanakan pers yang mempublikasikan berita mengenai pengadilan. Akademisi pun berpotensi dipidana karena berusaha mengeksaminasi putusan.

Koalisi secara tegas menolak delik contempt of court dalam rancangan draf RKUHP. Delik itu jika disahkan dapat menghalangi reformasi peradilan.

"Bila pasal itu dibiarkan, maka sifat pengadilan terbuka masyarakat akan menghilang. Delik ini rentan memicu banyak kasus yang semestinya tidak perlu ranah pidana," kata Mayong.

Baca juga artikel terkait PASAL KARET atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Ringkang Gumiwang