Menuju konten utama

Resesi Ekonomi RI 1998, Mungkinkah Terulang Pada 2020?

Pemerintah berupaya menggelontorkan dana besar-besaran hingga Rp700 triliun untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman resesi pada Q3.

Resesi Ekonomi RI 1998, Mungkinkah Terulang Pada 2020?
Ilustrasi pembangunan ekonomi. Pekerja melintas di proyek pembangunan jalan tol Serang - Panimbang di Desa Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (3/7/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/agr/pras.

tirto.id - Ekonomi Indonesia pada kuartal II (Q2) mengalami kontraksi 5,32%. Jika kontraksi berlanjut pada kuartal III (Q3), maka secara teknikal Indonesia bisa disebut mengalami resesi.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah memberikan peringatan bahwa ekonomi Indonesia kemungkinan masih akan mengalami kontraksi pada Q3. Dalam paparannya saat Rakernas Apindo 11 Agustus 2020 lalu, Airlangga menyampaikan data tentang proyeksi ekonomi Indonesia yang akan mengalami kontraksi sebesar 1% pada Q3. Baru memasuki Q4, ekonomi akan tumbuh sebesar 1,38%. Dengan demikian, sepanjang tahun 2020, ekonomi RI akan mengalami kontraksi 0,49%.

Dalam penjelasannya Airlangga mengatakan, pemerintah akan memompa pertumbuhan ekonomi pada Q3. Sebanyak Rp700 triliun akan digelontorkan pemerintah agar roda perekonomian kembali berpacu pada kuartal ketiga.

“Bapak presiden tadi pagi mendorong agar belanja di setiap kementerian bisa dipacu sehingga kalau belanja dipacu, diharapkan bisa masuk ke jalur positif,” jelas Airlangga.

Belanja pemerintah penting karena pada Q2, belanja pemerintah terkontraksi 6,9% sehingga turut memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional. Inilah yang hendak dihindari oleh pemerintah, sehingga Indonesia bisa terhindar dari resesi pada Q3.

Resesi 1998-1999

Indonesia pernah mengalami resesi, tepatnya pada periode 1997-1999. Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS langsung memukul ekonomi Indonesia dengan sangat berat. Ini dikarenakan pondasi yang menopang ekonomi Indonesia sangat rapuh.

Anjloknya nilai tukar rupiah dari kisaran Rp2.000 menjadi Rp17.000 per dolar AS, membuat perusahaan-perusahaan kolaps. Hal itu membuat bank-bank dibelit kredit macet, yang dampaknya sangat sistemik bagi perekonomian Indonesia.

Pada kuartal I (Q1) 1998, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga 4,47 persen. Kontraksi ekonomi berlanjut, bahkan semakin dalam pada Q2 yakni hingga 13,47 persen. Kontraksi masih berlanjut pada Q3 sebesar 15 persen, lalu pada Q4 1998 sebesar 17,93 persen. Resesi masih berlanjut hingga tahun 1999. Pada Q1 1999 ekonomi terkontraksi 6,41 persen.

Kondisi ekonomi saat krisis moneter 1998/1999 memang buruk. Krisis menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar sehingga angka pengangguran melonjak tinggi.

Pada tahun 1998, tercatat sedikitnya 5,04 juta orang masuk dalam daftar pengangguran dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,46 persen.

Angka itu lebih tinggi dari posisi tahun 1997 yang jumlah penganggurannya hanya sebanyak 4,18 juta orang dengan TPT 4,69 persen. Angka pengangguran terus melonjak di 1999. Tak kurang dari 6,03 juta orang menganggur dengan TPT sebesar 6,36 persen.

Indikator ekonomi lainnya ikut jatuh membuat ekonomi RI makin terjepit. Harga-harga barang naik tinggi memicu hiperinflasi 77,63 persen di 1998.

Peluang Resesi 2020

Catatan resesi ekonomi Indonesia bisa saja terulang di tahun 2020 ini. Sejumlah indikator ekonomi saat ini mengisyaratkan Indonesia bakal sulit menghindar dari ancaman resesi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen year on year (yoy).

Sementara Bank Indonesia (BI) telah menyatakan pertumbuhan ekonomi nasional bakal kembali negatif pada Q3 2020.

Dikutip dari Antara, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung mengatakan proyeksi itu dapat terjadi karena berbagai sektor korporasi, UMKM maupun rumah tangga belum menunjukkan adanya tanda-tanda pertumbuhan signifikan akibat adanya pandemi virus Corona.

"Pertumbuhan di triwulan III, kami perkirakan dari BI, ada kemungkinan masih negatif," kata dia.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) juga membuat perkiraan serupa. INDEF memperkirakan ekonomi Indonesia di Kuartal III-2020 bisa minus 1,8 persen.

Ekonom Indef Eko Listiyanto memperkirakan, kontraksi ekonomi pada Q3 tahun 2020 tak bisa dihindari. Apalagi, lanjut dia, bila melihat serapan dan realisasi belanja pemerintah yang hingga saat ini masih minim. Minimnya realisasi anggaran itu terlihat dari posisi serapan yang baru mencapai Rp141 triliun atau setara 20 persen dari total anggaran Rp695 triliun.

"Buktinya tetap turun dan penyerapan dari anggarannya saja begitu ya. Bagaimana mau berkontribusi untuk penanganan pandemi kalau dari pemerintahnya belanjanya turun," tutur dia dalam sebuah seminar virtual Kamis (6/8/2020).

Hal senada disampaikan Piter Abdullah Direktur Riset CORE (Center of Reform on Economics). Ia memperkirakan kontraksi ekonomi akan berlanjut hingga Q3.

"Indonesia, sebagaimana negara lain, diperkirakan akan mengalami resesi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II diyakini negatif di kisaran 5 persen. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III dan IV. Dengan demikian, apabila perkiraan ini benar-benar terjadi, maka Indonesia pada bulan Oktober nanti akan secara resmi dinyatakan resesi," kata Piter.

Meskipun Indonesia nanti dinyatakan resesi, lanjut Piter, masyarakat tidak perlu panik. Resesi menurutnya, sudah menjadi sebuah kenormalan baru di tengah wabah. Hampir semua negara mengalami resesi.

Yang lebih penting saat ini, lanjut dia, justru adalah bagaimana dunia usaha bisa bertahan di tengah resesi.

"Apabila dunia usaha bisa bertahan, tidak mengalami kebangkrutan, maka kita akan bisa bangkit kembali dengan cepat ketika wabah sudah berlalu," tutur dia.

Namun, lanjut Piter, hal juga bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menyalurkan berbagai anggaran subsidi dalam program pemulihan ekonomi nasional.

"Kita optimistis dengan berbagai kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah melalui program PEN, kita akan bisa meningkatkan daya tahan dunia usaha kita, dan kita akan recovery pada tahun 2021," tandas dia.

Baca juga artikel terkait RESESI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti