Menuju konten utama

Represi Polisi terhadap Demonstran Tolak Otsus dan Desak Referendum

Demonstrasi menolak Otsus berakhir dengan penangkapan banyak demonstran. Padahal, sepanjang demo damai, tak boleh ada represi.

Represi Polisi terhadap Demonstran Tolak Otsus dan Desak Referendum
Polisi membubarkan paksa pengunjuk rasa dari Aliansi Mahasiswa Papua saat menggelar aksi di Denpasar, Bali,untuk mengenang 22 tahun tragedi Biak, Senin (6/7/2020).⁣ ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/wsj.

tirto.id - Demonstrasi menentang otonomi khusus (otsus) Papua dan Papua Barat jilid II beberapa hari terakhir di berbagai tempat berakhir dengan represi aparat. Orang-orang ditangkapi.

Otsus akan berakhir pada 2021 nanti. Pada Juli lalu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Otsus akan diperpanjang untuk 20 tahun lagi. Ia lantas meminta DPR segera merampungkan RUU Otsus.

Suara-suara penolakan muncul, termasuk dari kalangan gereja dan masyarakat. Salah satu alasan mereka menolak Otsus adalah karena dampaknya tak signifikan. Asmiati Malik dalam artikel di The Conversation menyimpulkan dana Otsus yang digelontorkan sejak tahun 2000 “gagal mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah Papua.” Pertumbuhan ekonomi Papua “tetap saja mandek,” katanya.

Demonstrasi menentang Otsus yang diselenggarakan dua hari lalu (24/9/2020) terjadi di daerah Siriwini, Karang Tumaritis Nabire, Universitas Satya Wiyata Mandala, Kalibobo, SP, Wadio, dan Wonerejo. Ribuan orang dari Petisi Rakyat Papua (PRP) Wilayah Meepago turut serta. Mereka mulai berkumpul sekira pukul 06.30 pagi.

Tujuan aksi awalnya adalah Kantor Bupati Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Organisator aksi telah mengirimkan surat pemberitahuan empat hari sebelumnya ke Polres Nabire, namun tanda terima surat tak terbit.

Meski demikian mereka tetap turun ke jalan. Juru Bicara PRP Jefry Wenda mengatakan “tugas polisi untuk mengamankan jalannya aksi, tidak ada alasan membatasi aksi,” ketika dihubungi reproter Tirto, Jumat (25/9/2020).

Aparat, dari Polri hingga TNI, sudah berjaga sebelum massa datang. Mereka berseragam dan bersenjata lengkap. Mobil water canon pun dikerahkan.

Polisi menangkapi demonstran begitu mereka tiba. Ada polisi yang merampas ponsel massa, mengancam, dan memukul “yang tidak parah,” kata Jefry.

“Sekitar 100 orang dibawa ke Polres Nabire,” katanya.

Massa membatalkan rencana orasi di depan kantor bupati. Mereka mengalihkan perhatian ke Polres Nabire. Tujuannya mendesak kepolisian melepaskan yang ditangkap. “Kesalahan polisi, dong tak tahu kalau ada barisan massa yang cukup besar, ribuan [orang datang] dari arah SP hingga Wadio. Mereka long march.”

Perwakilan massa dan polisi bernegosiasi. Hasilnya, demonstran ditemani kepala-kepala suku setempat dipersilakan berorasi dan membacakan sembilan tuntutan yang isinya, jika disarikan, yakni: menolak Otsus jilid II; memberikan rakyat Papua hak untuk menentukan nasib sendiri via referendum; penarikan aparat; juga mengutuk pembunuhan pendeta yang terjadi beberapa hari lalu.

100 orang yang ditangkap akhirnya dibebaskan. Massa membubarkan diri sekitar pukul 17.30. Jefry menyatakan para demonstran mengerti mereka tak boleh terprovokasi oleh polisi yang menurutnya berwatak reaksioner dan arogan, meski dia sendiri paham bahwa “berhadapan dengan mereka itu sudah konsekuensi kami.”

Setelah ini mereka berencana menggelar aksi lagi. Belum tahu kapan waktu pastinya. Rakyat merasa perlu berekspresi karena Otsus, kata Jefry, “hanya menciptakan raja-raja baru di Papua yang menindas orang Papua.”

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal menyangkal ada penangkapan demonstran. “Tidak ada. Mereka pasca orasi di Polres Nabire, bubar. Karena massa mau ke kantor bupati, karena bupati tidak ada, maka massa diarahkan ke polres dan temu beberapa tokoh,” katanya ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat.

Sehari sebelumnya, di Timika, 10 demonstran tolak Otsus dari Front Rakyat Papua juga ditangkap, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay. Seperti PRP, Polres Mimika tak menerbitkan surat tanda terima perizinan aksi. “Tak menerbitkan tanda terima juga menyiratkan polisi ingin membungkam ruang demokrasi,” ujar Gobay, Jumat.

Gobay bilang alasan penangkapan karena para demonstran melanggar protokol kesehatan COVID-19 dan polisi melihat ada benda mencurigakan yang dilempar ke aparat. Satu demonstran bernama Fredy Yeimo terluka lantaran penangkapan itu.

Demonstrasi damai itu dibubarkan paksa. “Pembubaran dilakukan oleh TNI dan Polri secara bersama-sama.”

Kepala Sekretariat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk menyatakan kurang dari satu pekan ini banyak pelanggaran yang menimpa orang Papua. Ditarik lebih jauh, selama 57 tahun (1963-2020) Indonesia menduduki Papua, ruang demokrasi dibungkam dengan hukum dan senjata.

“Pembunuhan terhadap rakyat dan bangsa Papua terjadi depan mata rakyat pun selalu disangkal dan dianggap hal biasa. Nyawa manusia Papua dianggap benda yang tidak ada nilainya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat.

Represi Aparat di Papua: Kenormalan Lama

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara berujar selama aksi dilakukan dengan damai, maka aparat tidak boleh menghadapi massa dengan cara represif. Sekali lagi, karena hak berpendapat dilindungi konstitusi.

Bagi aparat yang melakukan pelanggaran, katanya, “harus ditindak sesuai peraturan yang ada di internal kepolisian.”

Faktanya penangkapan terhadap orang-orang Papua terus terjadi. Catatan Papuans Behind Bars, pada 2015, setidaknya 1.083 orang ditangkap secara sewenang-wenang. Ini jumlah penangkapan sewenang-wenang tertinggi sejak pencatatan dimulai, dan hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari setengah jumlah total penangkapan dilakukan pada 1 Mei dan 1 Desember.

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan represivitas aparat ke masyarakat Papua adalah pola yang berulang karena pendekatan dari pusat selalu sama: keamanan. Jika saja pendekatan ini dihentikan dan ruang dialog dibuka, maka pelanggaran HAM di sana mungkin tak berulang.

Sementara jika kekerasan terus dilanjutkan, maka sama saja “negara telah menjajah bangsanya sendiri.”

Fatia juga menyinggung aspirasi orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurutnya “permintaan referendum itu merupakan kebebasan berekspresi, bukan makar. Setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri.”

Peneliti dari Amnesty International Indonesia Papang Hidayat menuturkan kalau kekerasan di Papua itu konsisten. Frekuensi kekerasan biasanya meningkat jika ada momen politik tertentu--dalam hal ini berarti Otsus. Penangkapan massa biasanya disertakan dengan “perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat.”

Bahkan orang yang mengajukan surat pemberitahuan aksi maupun membagikan brosur ke masyarakat bisa ditangkap. Itu misalnya terjadi terhadap 12 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 30 April 2015. Mereka ditangkap Polres Manokwari saat membagikan brosur rencana demonstrasi. Pada hari itu pula polisi menangkap lebih dari 200 pengunjuk rasa yang bahkan belum sampai ke titik aksi.

Sebulan kemudian, 26 Mei-3 Juni 2015, 90 aktivis Papua di Wamena, Jayapura, Nabire, Yahukimo, Jayawijaya dan Sentani ditangkap karena mereka tidak memiliki izin untuk mengadakan unjuk rasa, meski demonstrasi sebenarnya tak butuh izin.

“Itu pola khas di Papua. Seperti ada pesan kalau mau berdemonstrasi di Papua itu ingin makar, maka bisa di-preemptif oleh penegak hukum,” katanya, Jumat.

Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan apa yang terjadi di Papua sebenarnya merepotkan Indonesia di kancah internasional.

“Itu akan merepotkan diplomat Indonesia di Geneva maupun New York (dua markas PBB), maupun di kedutaan yang negaranya kritis [terhadap isu HAM] untuk menjawab persoalan Papua,” ucap dia, Jumat.

Baca juga artikel terkait DANA OTSUS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino