Menuju konten utama

Reformasi Kultur Kepemimpinan Jalan TNI Menuju Profesionalisme

Pidato Presiden Prabowo di HUT ke-80 TNI menegaskan pentingnya reformasi kultur kepemimpinan dan penguasaan teknologi demi profesionalisme prajurit.

Reformasi Kultur Kepemimpinan Jalan TNI Menuju Profesionalisme
Presiden Prabowo Subianto (keenam kiri), Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (keempat kiri), Wakil Panglima TNI Jenderal TNI Tandyo Budi Revita (ketiga kiri) KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali (kedua kiri), KSAU Marsekal TNI Tonny Harjono (kiri) memeriksa pasukan saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/nym.

tirto.id - Profesionalisme di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak datang dari ruang hampa. Ini menjadi kebutuhan urgen mengingat peran vital TNI sebagai ujung tombak dari pertahanan serta penjaga kedaulatan Negara Kesatuan RI.

Karenanya profesionalitas dan transformasi untuk mencapai organisasi militer yang berbasis kompetensi dan menguasai segala medan arena menjadi refleksi penting dalam momen HUT ke-80 TNI.

Maka pesan Presiden Prabowo Subianto untuk Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan tiga Kepala Staf matra TNI, agar mengedepankan aspek kompetensi ketimbang tunduk pada doktrin senioritas, dalam memilih pimpinan organisasi patut diapresiasi.

Tak perlu disangkal, senioritas dalam tubuh angkatan bersenjata memang kultur yang telah mengakar. Bukan pula berarti budaya yang menekankan lama pengalaman dan angkatan ini sama sekali buruk. Justru jangan sampai senioritas yang dipelihara ini menghambat tumbuh kembang dari prajurit-prajurit muda yang memiliki visi positif bagi kemajuan organisasi.

Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai senioritas dalam TNI memang lahir dari kultur organisasi militer yang menempatkan jenjang, pengalaman lapangan, dan kohesi struktur sebagai faktor penting. Dalam konteks stabilitas dan disiplin, kata Fahmi, senioritas memang memiliki fungsi tersendiri.

Namun, kultur tersebut sebaiknya memang tidak dijadikan patokan kukuh di tubuh TNI. “Ketika senioritas dijadikan filter utama dalam promosi jabatan, di situ potensi hambatannya muncul,” ucap Fahmi kepada wartawan Tirto, Rabu (8/10/2025).

Menurut Fahmi, selama sekian tahun ketergantungan pada aspek senioritas kerap dianggap ‘jaminan’ keselamatan organisasi, alih-alih karena kompetensi. Akibatnya, regenerasi prajurit berjalan lambat, perwira visioner atau unggul secara teknis dapat tersisih oleh pertimbangan angkatan masuk atau urutan pendidikan.

Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer

Presiden RI Prabowo Subianto (kiri) menyematkan anugerah jenderal kehormatan dan kenaikan pangkat kehormatan kepada sejumlah purnawirawan dan perwira tinggi TNI saat Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Udara (Lanud) Suparlan Pusdiklatpassus, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (10/8/2025). Dalam upacara yang diikuti oleh 27.384 prajurit dari tiga matra TNI tersebut Presiden RI Prabowo Subianto menganugerahkan tanda pangkat Jenderal Kehormatan, menyematkan tanda jabatan Wakil Panglima TNI, menyerahkan piagam penghargaan Bintang Sakti kepada prajurit berintegritas tinggi serta meresmikan dan mengukuhkan sejumlah satuan baru TNI di antaranya peningkatan kepangkatan perwira tinggi pasukan elite TNI dan pembentukan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru. ANTARA FOTO/Abdan Syakura/foc.

Namun Fahmi memang melihat adanya pergeseran dalam organisasi TNI. Beberapa jabatan strategis mulai memperhitungkan aspek rekam jejak operasi, kemampuan memimpin satuan modern, pengalaman internasional, pendidikan tinggi, hingga pemahaman teknologi.

Kendati mentalitas dan mekanisme yang berbasis senioritas tidak sepenuhnya telah hilang. Fahmi melihat di tubuh TNI masih kuat kultur sungkan, patronase angkatan, serta resistensi terhadap upaya percepatan kaderisasi.

Padahal korelasinya jelas: kalau senioritas dibiarkan dominan tanpa mekanisme merit yang kuat, profesionalisme TNI tersandera. Maka pidato Presiden Prabowo ketika HUT ke-80 TNI sebetulnya sinyalemen untuk melembagakan penunjukan pimpinan berbasis kompetensi.

“Pernyataan Presiden lebih merupakan dorongan agar perubahan yang sebenarnya sudah mulai berjalan ini dilembagakan secara serius, bukan sekadar tergantung figur pimpinan,” ujar Fahmi.

Salah satu hal yang juga menjadi sorotan dalam momen HUT ke-80 TNI adalah penekanan agar tentara memiliki kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni. Terlebih, dengan alat utama sistem pertahanan/senjata (alutsista) yang semakin canggih, juga menuntut skill serta interoperabilitas yang mumpuni.

Fahmi menilai aspek sumber daya prajurit di tubuh TNI memang perlu dipertajam dari segi kemampuan personal prajurit, hingga kecepatan transisi dalam organisasi militer sendiri.

“Alutsista yang digunakan TNI sekarang semakin banyak yang berbasis elektronik, sistem kendali digital, sensor terintegrasi, C4ISR, drone tempur, kapal nirawak, sistem siber, dan interoperabilitas lintas matra. Tantangannya, penguasaan teknologi ini tidak bisa dibebankan ke level operator saja,” jelas Fahmi.

Hanya menuntut level prajurit operator untuk memahami segala kecanggihan baru alutsista yang dimiliki TNI akan berjalan kontraproduktif. Komandan, perwira menengah, hingga staf perencana juga mesti memahami doktrin, logistik, pemeliharaan, dan teknologi yang saat ini menjadi modal utama TNI.

Di lapangan sudah ada kemajuan. Pelatihan diperluas, kerja sama luar negeri diperbanyak, sekolah staf dan pendidikan lanjutan sudah mulai diisi materi teknologi dan perang modern. Tetapi jaraknya masih terasa dalam tiga aspek: kesiapan instruktur, fasilitas yang sepadan dengan teknologi baru, serta kecepatan adaptasi regulasi struktural.

Karenanya dorongan presiden agar prajurit TNI menguasai teknologi tak sekadar imbauan moral, melainkan refleksi atas situasi terkini terhadap kebutuhan tempur, logistik, serta intelijen yang berubah cepat.

Kalau tidak diantisipasi, modernisasi alutsista hanya menjadi pajangan semata dan tidak meningkatkan daya gentar TNI maupun kesiapan tempur.

Kuncinya, kata Fahmi, melalui penguatan kualitas SDM lewat pendidikan dan pembaharuan kurikulum. TNI perlu mempercepat modernisasi pendidikan militer, termasuk integrasi materi pengetahuan sains, teknologi pertahanan, siber, kecerdasan buatan, pemeliharaan sistem modern, dan kerja sama pendidikan dengan perguruan tinggi atau industri. Senyampang itu, reformasi di level kultural organisasi dan kepemimpinan mesti didorong.

“Profesionalisme butuh kultur yang adaptif, terbuka pada inovasi, berani mengevaluasi pola lama, dan menghargai kompetensi. Kepemimpinan yang ditampilkan lewat teladan, bukan sekadar instruksi, sangat menentukan arah transformasi ini,” ucap Fahmi.

Rakyat Menanti Transformasi TNI

Dalam pidatonyo di HUT ke-80 TNI, Presiden Prabowo menyampaikan telah mengizinkan Panglima TNI serta Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, tidak terlalu terpaku pada unsur senioritas dalam menunjuk pemimpin organisasi.

Prabowo menegaskan bahwa para prajurit berhak menuntut pemimpin yang terbaik. Pemimpin TNI harus memiliki sikap tauladan di depan sebagaimana prinsip "ing ngarso sung tulodo". Pemimpin TNI, lanjut Prabowo, harus diisi orang-orang berkompeten dan mengerti mandat tugasnya.

Pasalnya, tugas yang diemban TNI tidak ringan dalam menjaga kedaulatan Tanah Air.

Prabowo berpesan agar TNI jangan berhenti berlatih dan belajar perkembangan teknologi dan sains. Bila perlu, kata Prabowo, organisasi TNI yang besar diganti dengan model organisasi yang tepat guna, demi kepentingan rakyat Indonesia.

"Ikuti perkembangan teknologi siber, teknologi kecerdasan sekarang ini artificial intelligence ikuti jangan ketinggalan," pesan Prabowo kepada prajurit TNI.

Analis sosio-politik Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, memandang pesan-pesan dari Prabowo dalam pidato HUT ke-80 TNI cukup mengejutkan. Terlebih, sorotan Prabowo soal kultur senioritas di tubuh TNI.

Maka dari itu, menurut Musfi, meskipun Prabowo dibesarkan di iklim militer, sosok mantan Pangkostrad itu tetap mampu berpandangan objektif.

“Memang selama ini senioritas menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, itu untuk menjaga soliditas, tapi di sisi lain juga dapat menghambat profesionalisme. Oleh karenanya, pernyataan Presiden Prabowo ini harus disambut hangat,” kata Musfi kepada wartawan Tirto, Rabu (8/10/2025).

Pertanyaan besarnya, kata dia, apakah kultur di TNI siap langsung mengimplementasikan pesan Prabowo. Karena senioritas ini sudah tertanam selama puluhan tahun, dan akan sulit untuk langsung mengubahnya.

Gladi bersih HUT ke-80 TNI

Prajurit Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mengikuti defile pasukan saat gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Jumat (3/10/2025). Gladi bersih tersebut digelar dalam rangka persiapan HUT ke-80 TNI yang mengerahkan sekitar 140 ribu pasukan TNI pada Minggu, 5 Oktober 2025. ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

Di sisi lain, dorongan Presiden soal TNI mesti melek teknologi bertolak dari realita bahwa perang modern saat ini merambah ruang digital. Hadirnya internet dan ledakan media sosial melahirkan konsekuensi logis atas kebutuhan angkatan siber di tubuh TNI.

Namun, Musfi menilai pembentukan matra baru tentu butuh waktu, maka sebagai bentuk implementasi strategis, TNI dapat berkolaborasi dengan lembaga-lembaga siber yang sudah eksis. Pertarungan siber menuntut kecepatan dan daya masif yang menekankan kolaborasi serta respons taktis secara cepat.

Musfi menekankan, situasi urgen saat ini adalah menarik batas antara fungsi sipil dan fungsi militer. Saat ini, terjadi kekhawatiran batas peranan TNI semakin kabur sebab meningkatnya peran militer di posisi-posisi sipil.

Salah satu yang disorot saat ini misalnya peranan purnawirawan militer di struktur Badan Gizi Nasional (BGN). Terlebih, saat ini program makan bergizi gratis (MBG) masih memiliki banyak problema soal keamanan pangan bagi para siswa yang menjadi penerima manfaat.

“Ada banyak pertanyaan kenapa petinggi BGN justru diisi oleh TNI dan Polisi. Meskipun sudah purnawirawan, itu tetap menciptakan persepsi negatif di tengah publik atas kekhawatiran menurunnya peran sipil,” ujar Musfi.

Keinginan untuk memiliki angkatan bersenjata yang profesional dan tunduk terhadap doktrin tugas serta fungsi utamanya sebetulnya juga menjadi harapan rakyat. Hal ini tercermin dari hasil survei mandiri yang dilakukan Tirto dengan Jakpat.

Survei pada 30 September 2025 itu, menggali persepsi masyarakat terhadap institusi TNI, khususnya terkait kinerja TNI setelah pengesahan revisi UU TNI. Survei ini bertujuan merekam pandangan publik mengenai poin-poin isi revisi UU TNI, serta citra dan kinerja TNI pascapengesahannya.

Hasil survei kepada 1.250 responden itu mengungkapkan lebih banyak responden (45.44 persen) yang menyatakan ketidaksetujuannya terkait perluasan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil. Dari jumlah itu, sebanyak 17,44 persen bahkan menjawab sangat tidak setuju. Sementara, hanya 25,52 persen yang menyatakan setuju.

Survei Tirto dan Jakpat juga menyoroti persepsi publik terhadap kinerja TNI setelah revisi UU TNI diberlakukan. Responden yang merasa puas umumnya menilai TNI tetap mampu menjalankan tugas-tugas militernya secara baik (69,10 persen), menjaga kedekatan dengan masyarakat (52,08 persen), dan mempertahankan profesionalisme di tengah perubahan (45,14 persen).

Sebaliknya, ketidakpuasan terhadap kinerja TNI terutama didorong oleh kekhawatiran pada potensi dilanggarnya prinsip profesionalisme itu. Sebanyak 73,82 persen responden khawatir akan kembalinya peran dwifungsi militer, dan 68,24 persen menilai TNI terlalu banyak terlibat dalam urusan sipil yang dianggap bukan bagian dari tugas utamanya.

Menanggapi dinamika tersebut, masyarakat menilai masih ada sejumlah aspek penting yang perlu ditingkatkan oleh TNI. Peningkatan profesionalitas dan netralitas personel menjadi sorotan utama, sebagaimana disebut oleh 72,80 persen responden.

Kembali kepada Musfi, ia mengingatkan agar pemerintah lebih peka terhadap persepsi dari publik yang menyoroti perluasan peran TNI. Karena TNI yang profesional merupakan angan dan harapan dari segenap masyarakat, sebagai organisasi militer yang lahir dari rakyat, hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam mentransformasi TNI menjadi lebih baik lagi

“Ke depannya, pemerintahan harus lebih mempertimbangkan persepsi publik, karena pada akhirnya, itu untuk menjamin stabilitas pemerintahan itu sendiri,” tutur Musfi.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto