Menuju konten utama

Ratusan Orang Mati karena Selfie: Bisakah Dicegah dengan Aplikasi?

Sepanjang Oktober 2011 sampai November 2017, tercatat ada 259 kasus kematian akibat selfie di seluruh dunia. Para peneliti merespons. Salah satunya dengan aplikasi.

Ratusan Orang Mati karena Selfie: Bisakah Dicegah dengan Aplikasi?
Ilustrasi selfie. FOTO/CNA

tirto.id - Bagi sebagian orang, selfie alias swafoto sudah jadi ritual wajib di setiap tempat dan momen penting, entah itu di objek wisata alam atau buatan, konser musik, di dalam mobil pribadi, hingga kolam renang. Pelakunya berasal dari berbagai latar belakang, tak pandang bulu status ekonomi, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan.

Pada 2015, Google memperkirakan ada 24 miliar swafoto yang diunggah masuk ke aplikasi Google Photo. Setahun sebelumnya, Pew Research mengungkapkan sekitar 55 persen milenial usia 18 sampai 33 tahun mengunggah hasil swafoto mereka ke sosial media.

Pasar pun turut mendukung kultur swafoto dengan berbagai alat penunjang ritual swafoto, mulai dari tongsis hingga "selfie shoes", yakni sepasang sepatu yang ujungnya didesain untuk menaruh telepon pintar. Para pemakai tinggal mengangkat kaki, berpose, lalu jadilah swafoto.

Di sisi lain, ritual swafoto tak jarang mengundang maut. Menurut Agam Bansal dkk dalam "Selfies: A boon or bane?" (2018), ada 259 kasus kematian di seluruh dunia akibat berswafoto antara Oktober 2011 dan November 2017 .

Dalam rentang usia korban dari 10 sampai 68 tahun, mereka yang mati saat berswafoto rata-rata berusia 23 tahun. Sebagian besar korbannya pria (72,5 persen), sementara persentase perempuan yang meninggal karena selfie sebesar 27,5 persen.

Negeri penyumbang jumlah korban tertinggi swafoto adalah India, disusul berturut-turut oleh Rusia, Amerika Serikat, dan Pakistan.

Kejadian tenggelam, kecelakaan transportasi, dan terjatuh dari ketinggian tertentu adalah insiden paling umum di balik swafoto maut. Kasus tenggelam mencakup hanyut ditelan ombak pantai, kapal terbalik ketika mendayung, atau pengabaian larangan berenang. Sementara kecelakaan transportasi mencakup berswafoto dekat kereta api yang melintas.

Mengingat artikel "Selfies: A boon or bane?" hanya mengandalkan sumber-sumber berita berbahasa Inggris, kematian akibat swafoto di seluruh dunia tentu jauh lebih banyak.

Mungkinkah Dicegah?

Apa yang bisa dilakukan untuk menekan kegiatan selfie berujung maut?

Para peneliti masih terus mencari cara terbaik dan paling efektif untuk mencegah para pelaku swafoto nekat melakukan tindakan berbahaya demi swafoto. Agam Bansal merekomendasikan pemberlakuan zona larangan swafoto di seluruh kawasan wisata yang berisiko tinggi, misalnya pinggiran kolam atau air, puncak gunung, dan bangunan tinggi.

Pada 2016, berbekal pendekatan Ilmu Komputer, Hemank Lamba dari Carnegie Mellon University di Pittsburgh AS mengembangkan sebuah aplikasi ponsel yang bisa memberikan peringatan kepada para pelaku swafoto saat berada di zona berbahaya.

Proyek ini dimulai dengan mengumpulkan berbagai hasil swafoto dari media sosial yang diambil dari lokasi yang berbahaya atau punya potensi mematikan. Dilansir dari CBC News, aplikasi ini mampu mengidentifikasi bidang dengan tingkat penurunan yang tajam, lokasi yang dekat dengan rel kereta api, atau kehadiran barang-barang berbahaya seperti pistol.

Dalam proses uji coba, aplikasi tersebut mengidentifikasi elemen-elemen berbahaya dengan tingkat akurasi 73,6 persen.

Aplikasi tersebut juga bakal membantu orang-orang yang ingin mencari lokasi swafoto yang aman dengan fitur peta yang bisa menunjukkan tempat-tempat yang perlu dijauhi, atau tautan ke berita-berita kecelakaan di tempat yang bersangkutan. Aplikasi yang sama juga bisa menonaktifkan kamera secara otomatis untuk sementara waktu.

Di sisi lain, aplikasi semacam itu bisa jadi tak cukup efektif dalam beberapa situasi. Peringatan akan zona yang berbahaya justru sangat mungkin mendorong sebagian orang untuk menantang diri demi mendapatkan hasil swafoto yang tidak mainstream. Cara ini sama dengan meletakkan plakat larangan berswafoto di daerah berbahaya, yang malah mengundang para pelaku swafoto ekstrem untuk berpose aneh-aneh menantang maut.

Dua tahun setelah versi dummy-nya keluar, aplikasi pencegah swafoto berbahaya itu tak kunjung dirilis untuk publik.

Infografik Selfie Berujung Maut

Cara lain adalah kampanye konvensional. Kementerian Dalam Negeri Rusia (negeri dengan korban swafoto yang cukup tinggi), misalnya, meluncurkan kampanye "selfie aman" dengan slogan "Bahkan sejuta like di medsos tidak sebanding dengan mahalnya nyawa dan kehidupan Anda".

Antara 2014 dan 2016 di India, terdapat 76 kasus kematian akibat berswafoto. Sejumlah besar kematian itu terjadi di sekitar rel kereta api. Menurut penelitian Hemank Lamba, besarnya jumlah korban swafoto maut akibat diterjang kereta api, didorong oleh anggapan bahwa berpose di rel kereta api bersama kawan adalah tanda persahabatan abadi.

Ada pula insiden swafoto maut yang tak kalah konyol. Seseorang berpose dengan hewan peliharaannya sambil memegang senjata api. Ketika hewan tiba-tiba sulit dikontrol, pelatuk senjata tak sengaja tertarik dan mengakhiri hidup si majikan.

Kasus semacam ini jelas membutuhkan penanganan ekstra. Sudah saatnya masyarakat diberi wawasan mendalam terkait bahaya berswafoto di area-area tertentu dengan melibatkan peran banyak pihak, termasuk warganet.

Warganet yang merasa khawatir dengan angka kematian akibat berswafoto di tempat ekstrem juga bisa mengambil peranan penting. Misalnya dengan tidak memuji hasil swafoto di tempat-tempat yang berisiko sekaligus mengingatkan si pengunggah bahwa yang ia lakukan membahayakan nyawa dan bisa ditiru oleh orang lain.

Baca juga artikel terkait SELFIE atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf