tirto.id - Gejala pamer dan ingin diapresiasi menjadi penyakit kronis di era internet. Segala yang biasanya dianggap sebagai hal pribadi diumbar. Gejala ini beberapa kali ditulis sebagai narsisme 2.0 yang disebabkan media sosial. Bagaimana teknologi ini membuat kita semakin narsisis dan kesepian?
Kehidupan seorang pemuda, sebut saja D, bisa menjadi contoh. Mapan, punya pekerjaan tetap, pergaulan luas, memiliki tempat tinggal sendiri, tabungan banyak, koleksi vinyl, buku, dan sepatunya melimpah. Ia punya segala yang diinginkan setiap milenial. Ia biasa hadir di segala pameran lukisan, pertunjukan musik, sampai pementasan teater kolosal. Intinya, ia punya segala kualitas untuk disebut bahagia. Tapi nyatanya tidak.
Pemuda D gemar mengumbar segala hidupnya di media sosial. Ia baru membeli sepatu Vans, fotonya segera diunggah di Instagram. Menonton konser Sigur Rós, diunggah di Path. Ia baru makan bebek panggang rasa es krim, diunggah di Facebook. Pokoknya segala yang ia lakukan, miliki, dan dapatkan, dipajang di segala kanal media sosial. Setiap jempol yang diberikan, setiap komentar yang didapatkan, dan setiap perhatian yang diperoleh membuatnya semakin sering membagi hidupnya.
Tirto.id pernah menulis bagaimana interaksi di media sosial membuat seseorang merasa kesepian. Kesepian ini terjadi karena berkurangnya interaksi personal yang digantikan interaksi digital. Seseorang yang tak lagi menemukan arti percakapan langsung, mengganti relasi sosialnya di dunia nyata dengan orang-orang asing di internet. Perilaku ini dilakukan terus-menerus sehingga si pelaku, seperti Pemuda D, merasa dirinya lebih dihargai dan berbahagia di internet daripada di dunia nyata.
Internet memang punya andil dalam proses keterasingan dan kesepian. Media sosial, mulai dari Facebook hingga Twitter, kata Stephen Marche, penulis dari The Atlantic, membuat kita mampu berjejaring dengan banyak orang. Tapi dengan segala kemudahan dan konektivitas itu, media sosial membuat kita lebih kesepian. Segala kesepian inilah yang membuat manusia menjadi semakin mudah depresi dan mudah sakit.
September 1998, Robert Kraut, dkk. merilis jurnal yang berisi relasi antara menurunnya kemampuan bersosialiasi pengguna internet. Dalam jurnal itu Kraut berkesimpulan bahwa internet membuat penggunanya makin jarang berkomunikasi dengan keluarga dan teman. Pada satu titik teknologi internet akan membuat manusia menjadi kesepian. Wabah ini mengganggu kemampuan manusia untuk berfungsi secara sosial.
Gejala ini tentu bukan hal yang baru, internet beserta media sosial melahirkan kebudayaan narsisis yang membuat penggunanya merasa perlu untuk diperhatikan. Christopher J. Carpenter dari Western Illinois University, menemukan bahwa ada korelasi antara intensitas seseorang mengakses Facebook dengan narsisisme. Hasil penelitian yang dimuat pada jurnal Personality and Individual Differences tahun 2012, menunjukkan bahwa dari 294 partisipan yang ikut penelitian ini ditemukan bahwa ada gejala orang yang sengaja mengekspos kehidupan pribadi untuk memperoleh perhatian.
Dalam artikel berjudul "Narcissism on Facebook: Self-promotional and Anti-social Behavior," Carpenter menunjukkan bahwa ada orang yang sengaja menulis status sedih untuk mendapatkan dukungan, mengunggah foto lucu untuk dijempoli, dan beberapa bahkan memprotes jika tak mendapatkan perhatian yang ia inginkan di Facebook. Keinginan untuk selalu diperhatikan, memuaskan ego pribadi, dan menjadi pusat perhatian mendorong orang untuk berbuat nekat di media sosial.
Aj Agrawal Maret lalu di Forbes menulis gejala narsisisme telah mencapai titik yang memprihatinkan. Ia menyebut milenial sebagai generasi paling narsisis dalam sejarah. Media sosial menjadi salah satu ladang tempat persemaian penyakit ini. Meski demikian, ia tak menyebut setiap orang yang ada di media sosial narsisis, tetapi setiap orang yang ada di media sosial punya potensi dan tendensi untuk menjadi narsisis.
Narsisisme akut, menurutnya, berbeda dengan gangguan kepribadian yang lain. Seorang yang narsisis hanya peduli pada dirinya sendiri, ini memiliki potensi bahwa pelakunya tak mampu membentuk relasi sosial yang ajeg. Jika dibiarkan mereka akan terus menganggap diri selalu benar, jika terjadi konflik di dunia nyata, ini berpotensi membuat pelaku narsisis merasa jadi korban dan membuat keadaan semakin buruk. Misalnya membawa masalah personal ke ranah publik di media sosial dan membuat mereka terancam hukum.
Facebook menjadi salah satu medium di mana orang-orang dengan gangguan perilaku narsis tampil. Orang orang yang insecure atau merasa tak percaya diri merasa diberi tempat di Facebook. Mereka yang memiliki narsisisme yang tinggi menulis status, memposting foto dirinya sendiri dengan menggunakan kutipan serta motto untuk memuji dirinya sendiri.
Media sosial memberikan kita kesempatan untuk membagi segala yang paling privat kepada publik. Kompilasi riset yang dilakukan oleh bestcomputerscienceschools.net menunjukkan bahwa perilaku gangguan narsisis pada individu membuat seseorang berpusat pada dirinya sendiri. Ini berpengaruh kepada bagaimana ia memperlakukan orang lain. Gangguan ini membuat perilaku narsisis lebih senang didengar daripada mendengar, lebih suka mengoreksi daripada membenarkan, dan lebih suka mendominasi perbincangan daripada berbagi forum.
Rawhide, sebuah organisasi yang membantu remaja di Wisconsin, juga memeriksa pengguna media sosial. Mereka yang terobsesi dengan selfie dan perilaku narsisistik memiliki potensi gangguan kejiwaan. Tapi yang menarik adalah beberapa temuan mereka terkait perilaku remaja di media sosial. Misalnya lebih banyak orang yang mati karena selfie daripada serangan hiu. Sebesar 55 persen milenial pasti pernah mengambil selfie dan menyebarkannya via media sosial. Dari semuanya, 74 persen gambar yang dibagikan melalui medium Snapchat adalah selfie.
Salah satu indikasi yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk mengetahui seberapa narsisis generasi hari ini adalah temuan Rawhide tentang selfie. Mereka menyebutkan 1.000 selfie diposting di Instagram setiap 10 detik atau 93 juta selfie setiap hari. Ini setara 2.583.333 roll film. Dari angka itu, 19 dari 20 remaja yang ada saat ini pernah selfie. Gejala over sharing menjadi perilaku yang sangat berbahaya, seseorang bisa menjadi korban kejahatan seksual dan juga perdagangan manusia ketika segala yang privat dilempar ke publik.
Perilaku mengunggah selfie merupakan satu laku kecil tentang narsisisme. Aj Agrawal mengungkapkan bahwa sering berganti profil picture juga menjadi standar bahwa indikator seseorang narsisis. Mereka yang ketagihan mengunakan media sosial juga menghabiskan banyak waktu di media sosial daripada berinteraksi dengan manusia langsung. Mereka yang gemar twitwar dan berdebat di media sosial juga punya indikator untuk dipuja sebagai yang mahabenar.
Para peneliti mempublikasikan riset menarik dalam Journal Computers in Human Behavior, bahwa remaja menggunakan Twitter sebagai megafon untuk menunjukkan tendensi narsisistik mereka. Mereka ingin didengar dan dianggap punya pendapat untuk setiap hal yang ada.
Sementara, Facebook menjadi ajang bagi orang paruh baya untuk dianggap bijak, penting, dan berpengetahuan melalui citra tertentu. Keduanya menemui satu hal yang sama, Facebook dan Twitter digunakan remaja atau orang dewasa untuk meringankan beban mereka tapi membuat mereka makin kesepian.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani