Menuju konten utama

Raksasa Teknologi Berebut Bangun Artificial General Intelligence

Apa alasan perusahaan teknologi berkompetisi mencapai Artificial General Intelligence? Simak jawaban pakar.

Raksasa Teknologi Berebut Bangun Artificial General Intelligence
Grok Ai. foto/istockphoto

tirto.id - Perusahaan teknologi tengah berlomba-lomba untuk mengembangkan Artificial General Intelligence (AGI), sebagai teknologi AI mutakhir yang digembor-gemborkan punya kemampuan yang sama–atau bahkan melampaui kecerdasan manusia. Meta misalnya, mengambil langkah ambisius dengan membangun tim AI baru bersamaan dengan investasi lebih dari 10 miliar dolar Amerika Serikat/AS di Scale AI (lebih dari Rp100 triliun), seperti dinukil dari Reuters.

The Verge melaporkan, investasi itu merupakan transaksi eksternal terbesar yang pernah dilakukan Meta, yang mana akan membuat perusahaan induk Facebook dan Instagram ini mengantongi 49 persen saham di Scale AI.

Langkah Meta tentu tak mengherankan, mengingat Scale AI sendiri dikenal sebagai startup pelabelan data terkemuka asal AS dan merupakan penyedia data berkualitas tinggi untuk pelatihan model AI bagi para industri teknologi terdepan, seperti OpenAI (pembuat ChatGPT), Google, dan Microsoft.

Ambisi Tiongkok Kuasai AI

Ambisi Tiongkok Kuasai AI. foto/istockphoto

Di sisi lain, Meta juga tampaknya khawatir akan tertinggal dalam persaingan AI lantaran para rivalnya seperti OpenAI, Anthropic, Google, dan Microsoft, sudah lebih dulu unggul. Meta pada Mei lalu juga menunda peluncuran model andalannya yang baru, yang dijuluki “Behemoth”, di tengah kekhawatiran tentang kemampuannya dibandingkan dengan model pesaing.

“Investasi Meta di Scale AI kemungkinan adalah cara mereka untuk mengejar ketertinggalan, lantaran para pesaing utama di sektor teknologi sudah lebih dulu menjalin kemitraan dengan satu atau lebih perusahaan rintisan AI, demi memperbesar peluang sukses di bidang AI, baik untuk kebutuhan internal maupun produk luar,” mengutip The Verge, Selasa (10/6/2025).

Sebut saja Amazon, yang sudah menginvestasikan sekitar 8 miliar dolar AS di Anthropic (perusahaan rintisan AI yang didirikan oleh mantan petinggi OpenAI), dan teknologi Anthropic kini mendukung Alexa Plus milik Amazon.

Begitu pun Google yang telah menyuntikkan sedikitnya 3 miliar dolar AS kepada Anthropic, dan keduanya terlibat kontrak layanan cloud berskala besar. Sedangkan Microsoft diketahui telah menanamkan dana sekira 13 miliar dolar AS ke OpenAI, dan saat ini memperoleh bagian dari pendapatan perusahaan tersebut.

Kendati begitu, langkah Meta berinvestasi di Scale AI nyatanya memicu kekhawatiran di kalangan mitra lama Scale AI, seperti OpenAI. Beberapa hari pasca Meta diketahui menggelontorkan miliaran dolar di Scale AI dan mempekerjakan pendirinya, Alexandr Wang, untuk tim baru AI-nya, OpenAI memutus kerja samanya dengan Scale AI.

Dilansir Bloomberg, Juru bicara OpenAI bilang, pembuat ChatGPT tersebut sudah dalam proses mengurangi ketergantungannya pada Scale sebelum Meta, pesaing OpenAI, mengambil 49 persen saham di perusahaan tersebut.

Ia juga menyatakan bahwa pihaknya telah mencari penyedia lain untuk data yang lebih terspesialisasi yang dibutuhkan untuk mendukung model kecerdasan buatan yang semakin canggih.

Mengejar Pengaruh Sosial dan Ekonomi

Meski AI Generative (Gen AI) seperti ChatGPT yang dirilis 2022 lalu tampak seperti lompatan besar, realitanya alat tersebut hanyalah satu langkah menuju terobosan yang lebih gencar, yakni AGI. Teknologi ini diekspektasikan bisa meniru kemampuan kognitif manusia termasuk untuk memecahkan masalah, memahami bahasa, dan pembelajaran.

Jawaban-jawaban yang dihasilkan Gen AI memang kini tampak mengesankan, tetapi belum sampai pada tingkat kemampuan manusia, seperti dalam hal kreativitas, penalaran logis, persepsi sensorik, dan kemampuan lainnya.

Sebaliknya, dinukil dari laman McKinsey, teknologi AGI dapat menampilkan kemampuan kognitif dan emosional (seperti empati) yang tidak dapat dibedakan dari manusia. AGI bahkan mungkin mampu secara sadar memahami makna di balik apa yang mereka lakukan.

Meski titik ini sudah diprediksi oleh para ilmuwan, Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, mengatakan kalau era ini tampaknya datang lebih cepat. Ia merujuk pada proyeksi Ray Kurzweil yang mengemukakan kalau AGI bakal tercapai di 2029.

“Nah itu Ray Kurzweil cerita itu, bahwa itu memungkinkan dengan syarat-syarat ada seperti tadi komputer kuantum. Nah itu kan semua teknologi cerdas itu kan basisnya data, penyimpanan dan pengolahan data,” ujar Firman kepada Tirto, Jumat (20/6/2025).

ilustrasi chat gpt

ilustrasi chat AI. FOTO/iStockphoto

Jika bertanya-tanya soal alasan perusahaan teknologi berkompetisi mencapai AGI, jawabannya barangkali adalah untuk mengejar pengaruh yang seluas-luasnya. Firman bilang, para perusahaan ingin membawa AI pada kemampuan yang paling unggul, yang mana dari sisi ekonomi politik hal ini akan memperbesar pengaruh.

“Terutama kalau dari sisi ekonomi terlebih dahulu. Kan semakin perangkat itu atau sistem itu canggih, dia akan lebih banyak yang memakai. Sekarang pertandingan antara ChatGPT, Deepseek, kemudian Grok, kemudian Gemini itu kan, para pemakainya membandingkan. Jadi, mana yang kecerdasannya paling tinggi, mampu mengadaptasi kebutuhan,” sambung Firman.

Itu artinya, ketika suatu teknologi lebih banyak dipakai dan kedigdayaannya semakin mumpuni, maka mereka akan berhasil merebut pasar. Ketika mereka berhasil merebut pasar menjadi sistem yang global, dia akan memperoleh keuntungan.

“Nah, kemudian nanti ketika diterapkan di bidang politik juga akan sangat pengaruh. Kita lihat sekarang seperti Elon Musk dengan SpaceX atau anak perusahaan yang lain, karena teknologinya sangat melampaui dibanding pesaingnya. Dia juga kemudian masuk ke politik, mempunyai pengaruh yang besar, bisa ambil data, bisa menggunakan data tersebut untuk kepentingan politik,” tutur Firman.

Pakar sekaligus konsultan keamanan siber dan IT, Alfons Tanujaya, berpendapat kalau OpenAI menjadi titik penting perusahaan-perusahaan jadi berlomba membangun AGI. Menurutnya, sebelum OpenAI meluncurkan ChatGPT, AI sebenarnya sudah dimanfaatkan oleh beberapa media sosial, misalnya di YouTube untuk menganalisa dan merekomendasikan konten bagi pengguna.

“Tapi titik yang terpentingnya itu adalah saat OpenAI ini keluar. Lalu OpenAI melejit sendirian, karena mereka tahu dan mendapatkan banyak semua pemodal, lalu semua perusahaan sekarang juga mayoritas lebih dari 80 persen, mungkin lebih dari 90 persen startup di Amerika itu pasti mainnya AI, pasti fokusnya ke AI gitu loh. Lalu Google yang ketinggalan itu mengejar dan kita lihat hari ini mereka berusaha mengimbangi dan kelihatannya cukup berhasil,” tutur Alfons di ujung telepon, Kamis (19/6/2025).

Peluncuran teknologi Gen AI anyar dari Google bernama Veo 3 yang memungkinkan pengguna membuat video sinematik berkualitas tinggi dalam aplikasi Flow disebut Alfons berhasil mengejar ketertinggalan atas OpenAI, dan kompetisi semacam ini akan terus menerus terjadi.

“Si Meta nggak mau ketinggalan dong, mereka berusaha mengejar dengan Whatsapp, Facebook, semua. Lalu di sana mereka berusaha mengejar ketertinggalan, dengan race yang seperti ini, ini kalau di perusahaan,” sambung Alfons.

Walaupun perusahaan dan negara berusaha dibatasi secara formal dalam pengembangan AI, mereka tetap berkompetisi untuk membangun AI. Alfons mencontohkan, seperti misalnya AS tidak mengembangkan, maka Cina akan mengembangkan.

“itu masalahnya, itu inevitable, itu suatu pengembangan yang tidak mungkin kita bisa hindarkan. Ya karena adanya persaingan, karena ada sebuah manusia yang nggak mau kalah itu, kira-kira seperti itu kondisi yang terjadi hari ini,” tutur Alfons.

Untuk mencapai “kesempurnaan”, AI memang harus AGI. Tapi, bilamana AGI ini bisa benar-benar tercapai, Alfons menyebut kondisi ini mengkhawatirkan. Ia mengatakan bahwa AGI dalam konteks nyatanya bisa diimplementasikan dalam robotik.

“Jadi kayak prosesor-prosesor yang baru dimasukin ke robotik lalu diberikan AGI ke dalamnya. Kira-kira ya robot itu akan jadi manusia, ya itu AGI akan menuju ke sana sih. Dan dia akan didukung oleh satu sistem seperti sistem network, katakan internet. Nah disana yang akan menjadi kayak kontroler, utamanya kayak cloud lah gitu lah. Jadi ya itu merupakan satu perfect storm lah. Semoga-semoga saya sih, saya pribadi sih nggak berharap melihat itu ya dalam kehidupan saya,” kata Alfons sembari tertawa.

Ada Dampak dan Risiko yang Bermunculan

Dampak dan pengaruh teknologi juga ikut meluas seiring dengan teknologi yang semakin berkembang. Alfons berpendapat, dengan kemajuan AI semakin tinggi, maka ketergantungan manusia dengan AI juga semakin tinggi.

“Di Cina AI diterapkan di dalam CCTV untuk mengenali muka, dimana satu orang sudah ketahuan mukanya. Kalau misalnya dia ketahuan ini perampokan, dia di kota itu akan mudah ditangkap karena face recognition memanfaatkan AI. Jadi dia bisa di face recognition, bisa di berbagai sektor. Jadi kalau misalnya ini sudah memanfaatkan AGI, manusia dengan AGI ini jauh lebih powerful,” tutur Alfons.

AGI dinilai tak akan sebatas menuju model-model seperti ChatGPT, melainkan lebih besar daripada itu. ChatGPT hanya bagai pintu masuk untuk melihat dunia AI yang jauh lebih lapang.

Akan tetapi, meski AGI barangkali memunculkan dampak positif manusia dan mempermudah kerja-kerja mereka, terdapat celah yang masih menganga di tengah pembangunan AGI. Menurut Firman, cara berpikir pengembangan perangkat berkecerdasan kerap kali tidak lengkap dan hanya mempertimbangan aspek ekonomi.

Iustrasi AI dan cybercrime

Iustrasi AI dan cybercrime. foto/istockphoto

Kenyataan bahwa, AI mampu membuat pekerjaan lebih efisien, lebih cepat, lebih akurat, menggantikan manusia yang mudah jenuh, itu merupakan pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Sementara aspek sosial, budaya dan sebagainya sering diabaikan.

“Contohnya media sosial sendiri yang sudah kita alami dan kita ikuti perkembangan aja 20 tahun terakhir, itu kan nggak cocok untuk semua budaya ternyata. Bahwa di Singapura, di negara-negara maju itu bisa memperkuat produktivitas, di Indonesia dipakai untuk berantem,” kata Firman.

Seorang peneliti AI sekaligus Profesor di Université de Montréal, Kanada, Yoshua Bengio juga mengungkap banyaknya risiko terkait perlombaan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta dan entitas lain menuju AGI.

Dalam artikel yang dipublikasikan di lamannya, Bengio mengatakan kalau AGI memunculkan ancaman berat terhadap demokrasi dan HAM, yang mesti menjadi perhatian. Saat ini tidak seorang pun tahu bagaimana AGI dapat dibuat berperilaku secara moral, atau setidaknya berperilaku sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengembangnya dan tidak merugikan manusia.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Teknologi
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang