tirto.id - Pada Senin (9/3/2020) Raja Belanda Willem-Alexander dan permaisuri Maxima Zorreguieta Cerruti beserta rombongannya datang ke Indonesia. Dalam rombongan itu, ada sekitar 200 pengusaha Belanda ikut serta. Esok harinya, Selasa (10/3/2020), di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Willem-Alexander menyampaikan permohonan maaf atas kekerasan yang dilakukan Belanda di Indonesia usai Proklamasi 17 Agustus 1945.
Orang-orang tentu teringat akan penjajahan Kerajaan Belanda di tanah Nusantara yang kini disebut Indonesia ini. Penguasaan Belanda atas Nusantara yang dibarengi dengan kelicinan dan kekejaman merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan lagi.
Narasi sejarah yang berkembang di masyarakat adalah Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad alias 350 tahun. G.J. Resink dalam buku kumpulan tulisannya, Bukan 350 Tahun Dijajah (2012), membantah narasi itu melalui pendekatan hukum internasional. Resink juga memaparkan bukti pengakuan Menteri Koloni Belanda pada 1854 yang menyebut kerajaan-kerajaan atau wilayah di Indonesia yang masih merdeka. Contoh besarnya adalah Aceh yang baru ditaklukkan pada awal abad ke-20. Wilayah Batak dan Bali adalah contoh lainnya.
Belanda tentu butuh waktu untuk menjajah semua wilayah di Nusantara. Setelah merdeka, orang Indonesia diajari untuk percaya jika satu daerah dijajah, maka daerah yang lain juga dijajah. Itulah mengapa orang Indonesia memuja angka 350 itu.
Tapi berapa pun lamanya, penjajahan tetap penjajahan. Dalam penjajahan, hak asasi manusia dibuang ke tong sampah.
Kolonialisasi Belanda sepaket dengan kejahatan-kejahatan perangnya; mulai dari kejahatan KNIL Marsose kepada rakyat Aceh, kekejaman Westerling kepada rakyat desa di Sulawesi Selatan, hingga pasukan pimpinan Alphonse Wijman kepada rakyat desa Rawagede—daftar ini masih bisa ditambah lagi. Kejahatan-kejahatan perang itu tentu saja tak bisa dilupakan orang-orang Indonesia. Tak heran jika muncul gugatan dari keluarga korban Rawagede dan Westerling kepada pemerintah Belanda.
Dulu, setelah Belanda datang, berdiri sebuah maskapai dagang di Hindia Timur bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Raja yang tidak mendukung kepentingan VOC biasanya akan dihajar oleh tentara-tentara bayaran maskapai itu.
VOC boleh bubar, namun warisannya tetap dipelihara pemerintah kolonial. Belanda membiarkan kerajaan-kerajaan yang tidak mengganggu untuk terus ada dan tetap mempekerjakan para bangsawan bumiputra dalam birokrasi guna membantu kelancaran kolonialisme.
Serdadu juga banyak dibutuhkan untuk mengamankan dan memperluas wilayah jajahan. Walhasil banyak bumiputra direkrut sebagai serdadu rendahan. Jumlah orang Belanda di negeri jajahan tentu tidak memenuhi kebutuhan personel aparat birokrasi dan militer. Dengan kata lain, kolonialisasi dijalankan orang Belanda atas bantuan orang pribumi.
Orang-orang Belanda dan Eropa di Hindia Belanda memosisikan diri sebagai kasta tertinggi. Rakyat jelata tentu ada di strata paling bawah dan seperti dipaksa untuk merasa lebih rendah. Di sinilah kolonialisme tampil dalam wajah yang paling jahat: menciptakan inferiority complex yang akut dalam diri bangsa terjajah.
Dulu, di tempat pertemuan yang agak elite dan tempat berenang, pernah ada tulisan berbunyi "Verboden voor honden en Inlander". Artinya kira-kira: "Anjing dan Inlander dilarang masuk". Inlander adalah sebutan orang Belanda untuk orang bumiputra yang berkonotasi merendahkan. Ada saja orang Belanda yang melihat kaum bumiputra layaknya anjing atau monyet dan menganggap mereka tak beradab.
Di mana-mana penjajah memang selalu merasa lebih beradab seraya melakukan kekerasan luar biasa kepada rakyat di wilayah yang dikuasainya.
Mental Penjajah di Negara Bekas Jajahan
Anehnya, di masa kini—kala rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mendaku diri sebagai bangsa merdeka—masih ada orang-orang yang diperlakukan seperti rakyat jajahan. Aparat NKRI, yang semestinya melindungi rakyat, belum lama ini menerapkan sikap yang mirip aparat kolonial Belanda.
Pada Agustus 2019 asrama mahasiswa Papua di Surabaya didatangi aparat yang meneriaki para mahasiswa Papua dengan sebutan "monyet" dan "anjing"—seperti orang Belanda dulu mengatakan orang Indonesia sebagai Inlander dan menyamakannya dengan honden (anjing).
Seorang Papua bernama Filep Karma dalam buku bertajuk Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014: 8) mengakui bahwa ketika dirinya kuliah di Solo, tak sedikit orang memperlakukannya seperti bukan manusia seutuhnya. Perilaku rasis itu tidak hanya dilakukan orang tak berpendidikan, tapi juga orang berpendidikan. “Seringkali orang Papua dikata-katai: Monyet! Ketek!,” kata Filep.
Orang-orang Papua yang merasa Indonesia menjajah Papua tentu menghitung: sudah lebih dari setengah abad Indonesia menjajah negeri mereka.
Kekejaman di Nduga saja telah menewaskan ratusan orang tahun lalu. Ini belum termasuk yang terjadi di wilayah Papua lain. Pendeta Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (Eslham Papua), menilai telah terjadi peningkatan pelanggaran HAM pada 2019. “Tidak ada perubahan apa-apa dari kebijakan pemerintah untuk seriusi penyelesaian pelanggaran HAM. Pada tahun 2019 eskalasi pelanggaran naik secara signifikan,” katanya seperti dilansir Suara Papua.
Apa yang terjadi di Papua mirip dengan apa yang terjadi di Aceh pada abad silam. Ketika itu orang Aceh yang melawan dan ingin merdeka dibunuhi serdadu KNIL Belanda.
Orang Indonesia yang merasa saudara sebangsa orang Papua banyak yang gagal memperlakukan rakyat Papua sebagai manusia. Dan bukan "saudara sebangsa" saja yang banyak terbunuh selama NKRI berdiri.
Sepanjang 1965-1967, atas nama pembersihan komunisme di Indonesia, orang-orang yang dituduh komunis terbunuh. Jumlahnya tidak sedikit. Ada beberapa versi yang menyebut di kisaran ratusan ribu, ada juga yang menyebut 1-2 juta orang terbunuh. Berapapun angkanya, banyak orang antikomunis "garis keras" menganggap wajar kematian para korban itu. Kematian mereka dianggap bukan sesuatu yang melanggar kemanusiaan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi di zaman sekarang. Negara tentu saja memilih tutup mata.
Tidak salah untuk mengutuk kolonialisme Belanda di masa lalu dan keluarga korban kekejaman tentara Belanda tentu berhak menggugat, tapi hendaknya orang-orang Indonesia juga berkaca dengan apa yang terjadi di tahun 1965-1967, di Papua, dan di wilayah-wilayah lain tempat terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat.
Presiden Jokowi sudah menyambut permintaan maaf dari Raja Belanda, tapi sudahkah pemerintah Indonesia meminta maaf kepada rakyat Papua dan, jika masih sadar, kepada para korban tragedi 1965-1967?
Jika belum, itu cuma bisa menyebut yang lain sebagai penjajah tapi tak menyadari dirinya berperilaku bak penjajah. Seperti anak kecil, pemerintah Indonesia sedang berak di muka sendiri.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.