tirto.id - Meski cuma dua baris, koran-koran di Hindia Belanda dan Negeri Belanda memberitakan kematian orang Madura ini. Walaupun telat dua minggu, setidaknya De Telegraaf (23/10/1906) melansir berita dari koran Java Bode: "Di Bangkalan telah wafat Raden Majang Koro, pensiunan Kolonel dari Korps Barisan. Lebih dari dua dekade setelah kematiannya, nama Majang Koro disebut lagi di koran Belanda." Het Vaderland (22/03/1931) dan Nieuwe Tilburgsche Courant (05/05/1931) memuat riwayat hidup dan kejayaan Raden Majang Koro sebagai perwira dari pasukan bantuan bernama Korps Barisan Madura.
Perwira Madura kelahiran 1832 ini awalnya tumbuh sebagai anak desa penggembala dan memulai karir militernya dari bawah. Pada 15 Agustus 1848 ia datang ke Surabaya dan mendaftar sebagai sukarelawan dengan nama Kaboon. Ia pun jadi bagian dari batalyon infanteri Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) ke-13 di Surabaya.
Usianya baru sekitar 17 tahun ketika dikirim bertugas ke Bali dalam Ekspedisi Militer 1849 untuk menghadapi perlawanan rakyat Bali. Berkali-kali KNIL kirim pasukan ke Bali. Buku Gedenschriften Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger 1830-1850 (1990, hlm. 66-67) menyebutkan KNIL memberangkatkan ekspedisi ke Bali pada 1846, 1848 dan 1849. Kaboon ikut ekspedisi yang ketiga. Setelah dikirim ke Bali dalam usia 18 tahun, dia meraih pangkat kopral pada 16 Januari 1850. Beberapa bulan kemudian, pada 25 Juni, pangkatnya naik jadi Sersan.
Dari Bali, Kaboon dikirim ke Palembang lalu Kalimantan Barat, masih dalam rangka operasi militer. Cukup lama Kaboon menyandang pangkat sersan. Koran Soerabaiasch Handelsblad (22/08/1898) menyebutnya berada di Kalimantan Barat pada 1853 hingga 1854. Pada 1858, dia kembali dikirim ke Bali dalam rangka membereskan Pembekel Njoman Gempol yang memberontak.
Sejak 3 Juni 1859, Kaboon bergabung dengan Korps Barisan sebagai perwira dengan nama baru: Raden Majang Koro. Mendapat pengawasan dari KNIL, Korps Barisan adalah pasukan bantuan dari para penguasa Madura. Bangkalan adalah basis penting dari pasukan bantuan kolonial ini.
Sejak 6 Juli 1861 pangkat Raden Majang Koro naik menjadi Letnan Dua, di usia sekitar 29 tahun. Pada 20 Juli 1871, pangkatnya naik menjadi kapten dan persis setahun kemudian jadi mayor. Selama berpangkat mayor, nama lengkap Kaboon adalah Mayor Raden Demang Majang Koro.
Menurut catatan Paul t’Veer dalam Perang Aceh dan Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985, hlm. 32), satu pasukan dari batalyon Barisan Madura, dengan dipimpin perwira berdarah Eropa, juga ikut ekspedisi pertama yang dipimpin Jenderal Mayor JHR Kohler. Setelah Kohler terbunuh pada 14 April 1873 di depan Masjid Raya Aceh, ekspedisi militer ke Serambi Mekah pun kembali dilakukan. Sebagai mayor Korps Barisan, Majang Koro memimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang Madura ke Aceh, pada 1873-1874.
Sepulangnya dari Aceh, Majang Koro dianugrahi bintang sebagai Ridders (ksatria) Militaire Willem Orde (MWO) kelas IV. Dua tahun berselang, tepatnya pada 25 Desember hingga 9 Maret 1876, ia dan Korps barisan kembali ke Aceh. Pangkatnya naik lagi pada 1 April 1881 menjadi letnan kolonel dengan jabatan Komandan Korps Barisan Madura.
Madura saat itu terdiri dari empat kabupaten dengan empat penguasa. Tiap kabupaten biasanya menyumbang satu kompi. Jadi, Korps Barisan hanya korps yang kecil. Jumlahnya sekitar satu batalyon. Jika lebih dari itu, Ario Majang Koro bisa jadi jenderal.
Pada zaman kolonial, orang pribumi yang menyandang pangkat jenderal biasanya adalah raja-raja Jawa. Itu pun bukan jenderal pemegang pasukan, tapi jenderal tituler saja.
Selain Aceh, daerah konflik era kolonial yang pernah disambanginya dalam operasi militer adalah Lombok. Penugasan di Lombok pada 1894 itu membuat Kaboon kembali diganjar penghargaan. Peserta ekspedisi Lombok biasanya dianugrahi Lombok Kruis. Kaboon sendiri ditasbihkan menjadi Ksatria Orde van Oranje Nassau.
Musuh-musuh pemerintah kolonial Hindia Belanda biasanya punya kualitas tempur dan senjata yang tidak lebih baik dari KNIL. Dalam mayoritas ekspedisi militer, KNIL hanya melawan orang-orang kampung yang tidak terlatih bertempur dan biasanya tidak punya banyak senjata api. Barisan Madura punya persenjataan yang sama dengan personel reguler KNIL.
Selain dianugerahi penghargaan dari Kerajaan Belanda karena melawan musuh-musuh penjajah, pada 1898 Majang Koro mendapat tambahan gelar Ario dari penguasa-penguasa di Madura. Jadilah ia punya nama lengkap Raden Ario Majang Koro. Ia pun dipandang sebagai orang militer terhormat. Di masa pensiunnya, ia mendapat uang bulanan dari kerajaan Belanda. Tunjangan sebesar 250 gulden ia dapat peroleh setelah sekitar setengah abad (1848 hingga 1890-an) mengabdi kepada kerajaan Belanda di Hindia Belanda.
Melibatkan orang Indonesia dalam meredam konflik dengan menjadikan mereka pasukan pemukul adalah hal biasa. Keraton-keraton di Jawa Tengah pun punya legiun-legiun yang ikut mengalahkan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Legiun Mangkunegaran adalah yang paling terkenal. Tak hanya dari Jawa, ada orang-orang dari Ambon, Minahasa, dan daerah lainnya yang direkrut sebagai tentara. Bukan hanya tentara bayaran, tapi juga tentara profesional yang terima gaji bulanan.
Korps Barisan Madura tak bisa hidup di zaman pendudukan Jepang. Namun, pasukan bantuan sejenis Korps Barisan muncul lagi di masa revolusi. NICA Belanda membentuk Tjakra dengan perwira yang di antaranya berasal dari KNIL. Ada pula seorang perwira menengah TNI berdarah indo yang pernah jadi letnan Tjakra Madura.
Raden Ario Majang Koro bisa digolongkan sebagai salah satu orang Madura pertama yang meraih pangkat kolonel karena masa dinasnya di militer, bukan karena statusnya sebagai bangsawan penguasa. Ia seperti jelmaan legenda Kapitan Jonker yang memimpin pasukan Ambon pada zaman VOC. Dalam Perang Jawa, ada Pasukan Tulungan dari Minahasa yang terlibat dalam penangkapan Perang Diponegoro. Mayor Datulong dan Kapten Benjamin Thomas Sigar adalah pimpinannya.
Editor: Windu Jusuf