Menuju konten utama

Quo Vadis Kementerian BUMN: Dilebur, Diturunkan, atau Bubarkan?

Banyak negara telah meninggalkan model kementerian khusus BUMN dan beralih ke pendekatan yang lebih ramping dan fokus.

Quo Vadis Kementerian BUMN: Dilebur, Diturunkan, atau Bubarkan?
Gedung Kementerian BUMN, Jakarta. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

tirto.id - Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengungkapkan kemungkinan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berubah status menjadi badan. Hal ini seiring fungsi operasional kementerian tersebut kini telah lebih banyak dikerjakan oleh BPI Danantara.

"Ada kemungkinan kementeriannya mau kami turunkan statusnya menjadi badan. Ada kemungkinan seperti itu," jelas Prasetyo di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025).

Meskipun demikian, Prasetyo meminta publik untuk bersabar dan menunggu proses pembahasan lebih lanjut. Pasalnya, perubahan ini berkaitan erat dengan revisi Undang-Undang BUMN yang saat ini tengah dibahas oleh Komisi VI DPR RI bersama pemerintah.

Saat ditanya mengenai nasib aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di Kementerian BUMN bila statusny benar-benar diubah, Prasetyo tidak memberikan jawaban secara rinci. Namun, dia menegaskan bahwa isu tersebut menjadi salah satu aspek penting dalam pertimbangan pemerintah.

Menurutnya, setiap opsi yang dipertimbangkan akan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi lembaga serta mengoptimalkan manajemen BUMN, menciptakan tata kelola yang lebih efektif, dan adaptif terhadap tantangan ke depan.

“Itulah bagian dari yang nanti kami bahas. Jadi, apa pun opsinya, yang terbaik dari sisi manajemen untuk mengoptimalkan, mengefiesiensikan BUMN kita," pungkas dia.

Paradoks Kelembagaan BUMN

Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, menilai penurunan status Kementerian BUMN menjadi badan sangat mungkin dilakukan dari sisi hukum dan regulasi.

Saleh menyebut bahwa revisi UU BUMN akan berjalan beriringan dengan pembahasan RUU Danantara. Dua regulasi ini akan menjadi dasar penting bagi pemerintah jika benar-benar ingin menurunkan status Kementerian BUMN atau bahkan membubarkannya.

“Makanya di Prolegnas 2026 ada RUU Danantara. Nanti, teknisnya ada revisi UU BUMN dan UU Danantara akan diatur soal perubahan status itu,” ujar Saleh saat dihubungi Tirto, Rabu (24/9/2025).

Saleh menjelaskan bahwa penurunan status Kementerian BUMN tak bisa dipisahkan dari proses transformasi kelembagaan yang sedang berlangsung usai terbitnya regulasi baru. Dia menyoroti bahwa sejak UU Nomor 1 Tahun 2025 disahkan dan Danantara dibentuk sebagai superholding, peran utama pengelolaan saham BUMN pada dasarnya telah berpindah tangan ke entitas baru tersebut.

“Bahkan, melalui PP 16/2025, Danantara menjadi pemegang mayoritas saham di sejumlah BUMN strategis,” tambahnya.

Di sini, Saleh melihat adanya paradoks dalam struktur kelembagaan saat ini. Di satu sisi, Menteri BUMN secara hukum masih memiliki kewenangan luas. Mulai dari pengambilan kebijakan umum, restrukturisasi, hingga pengawasan. Namun di sisi lain, sebagian besar fungsi tersebut kini dijalankan oleh Danantara sehingga berpotensi menimbulkan tumpang tindih.

“Dalam praktiknya, fungsi-fungsi itu berpotensi tumpang tindih dengan Danantara. Ini menimbulkan paradoks kelembagaan: kementerian masih ada secara hukum, tapi kontrol riil atas BUMN justru hilang,” ujarnya.

Kerja sama investasi Danantara - Acwa Power

Pekerja membersihkan kaca gedung Wisma Danantara Indonesia di Jakarta, Selasa (8/7/2025). Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjalin kerja sama investasi dengan perusahaan asal Arab Saudi, ACWA Power senilai 10 miliar dolar AS atau setara Rp162 triliun yang berfokus pada proyek pembangkit energi terbarukan, turbin gas siklus gabungan, hidrogen hijau, dan desalinasi air. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Menurut Saleh, situasi ini menunjukkan ketidakkonsistenan antara kerangka hukum dan praktik kelembagaan di lapangan. Dia mengingatkan bahwa banyak negara telah meninggalkan model kementerian khusus BUMN dan beralih ke pendekatan yang lebih ramping dan fokus.

“Mereka lebih memilih model holding atau unit kepemilikan di bawah Kementerian Keuangan atau Kantor Perdana Menteri dengan syarat ada tata kelola yang transparan dan akuntabilitas publik. Atau, ada model yang meleburnya ke menteri teknis/sektoral,” ujar Saleh.

Menurut Saleh, ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan pemerintah. Pertama, jika Kementerian BUMN tetap dipertahankan, kewenangannya harus diredefinisi secara tegas agar tidak lagi tumpang tindih dengan Danantara.

Kedua, jika Kementerian BUMN diturunkan statusnya menjadi badan atau bahkan dibubarkan,mekanisme kontrol terhadap Danantara harus diperkuat secara hukum dan institusional.

“Mekanisme kontrol terhadap Danantara harus diperkuat supaya tidak jadi kekuatan ekonomi raksasa yang minim akuntabilitas,” ujarnya.

Apakah Kementerian BUMN Tak Lagi Relevan?

Direktur Keadilan Fiskal Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, menilai bahwa keberadaan Kementerian BUMN sudah tidak lagi relevan sejak dibentuknya BPI Danantara. Menurutnya, sebagian besar fungsi inti kementerian itu, mulai dari koordinasi, konsolidasi bisnis, hingga pengawasan kinerja BUMN, kini telah terpusat di Danantara.

“Fungsi politiknya sudah hilang juga karena pengambilan keputusan bisnis dan investasi sudah berpindah ke Danantara. Fungsi pengawasan juga sudah dilakukan oleh Danantara dengan mandat lebih korporatis,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (24/9/2025).

Dari sisi koordinasi antarlembaga, justru muncul persoalan baru. Keberadaan Kementerian BUMN, menurut Media, kini hanya menambah lapisan birokrasi yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, dia menyarankan agar kementerian tersebut dibubarkan dan fungsinya sebagai evaluator atau regulator BUMN di tingkat eksekutif bisa dialihkan ke kementerian/lembaga lain.

“Fungsi evaluasi BUMN (atau regulator) di level eksekutif bisa digeser ke Kementerian atau Lembaga lain seperti Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Di level legislatif DPR,” ujarnya.

Kuliah umum Wamen BUMN di Universitas Andalas Padang

Wakil Menteri BUMN sekaligus Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria menyampaikan paparan saat kuliah umum bertema Membangun Triple Helix Baru Kolaborasi Universitas - BUMN - Danantara untuk Kedaulatan Indonesia di Convention Hall Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/6/2025). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.

Apakah menurunkan status Kementerian BUMN jadi badan menjadi solusi?

Pengamat BUMN sekaligus Direktur Next Indonesia Center, Herry Gunawan, menilai wacana menurunkan status Kementerian BUMN menjadi badan justru tidak menyelesaikan persoalan secara tuntas. Menurutnya, langkah tersebut bukan solusi yang strategis.

“Kalau diturunkan jadi Badan, justru percuma. Badan pengganti Kementerian BUMN semakin tidak punya kerjaan karena pengawasan dan pembinaan BUMN sudah ada di bawah BPI Danantara, terutama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (24/9/2025).

Herry menjelaskan bahwa sejak terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, fungsi utama Kementerian BUMN pada dasarnya telah diambil alih oleh Danantara. Karena itu, dia menilai keberadaan kementerian tersebut sudah tidak relevan lagi dan sebaiknya dibubarkan secara menyeluruh.

“Fungsi utama Kementerian BUMN, dalam hal ini pengelolaan dan pembinaan BUMN, sudah diambil alih oleh BPI Danantara. Jadi, fungsi utamanya sudah hilang,” tambahnya.

Herry juga menyoroti perubahan mendasar dalam regulasi baru yang menyatakan bahwa BUMN bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan, melainkan berstatus sebagai lembaga privat. Dengan perubahan status ini, menurut Herry, BUMN seharusnya tunduk pada regulasi yang sama seperti korporasi swasta lainnya. Oleh karena itu, regulasi tambahan dari Kementerian BUMN tidak lagi diperlukan.

“Selain itu, merujuk praktik terbaik di Singapura yang memiliki SWF bagus seperti Temasek—karena berkontribusi besar bagi penerimaan negara, juga tidak memerlukan Kementerian BUMN. Begitu pun dengan Malaysia yang punya Khazanah, SWF dengan kinerja yang baik,” ujar Herry.

Apa yang harus dilakukan dengan Kementerian BUMN saat ini?

Dari sudut pandang efisiensi kelembagaan, Herry menilai bahwa pembubaran Kementerian BUMN justru menjadi opsi yang paling masuk akal. Menurutnya, jika hanya diturunkan statusnya menjadi badan, lembaga tersebut justru akan menjadi beban tambahan dalam struktur pemerintahan tanpa fungsi yang jelas.

“Kalau diturunkan jadi Badan, hanya akan menjadi beban APBN, padahal fungsinya sudah tidak ada,” ujarnya.

Herry juga menegaskan bahwa opsi lain, yaitu penggabungan atau peleburan Kementerian BUMN ke dalam Danantara, bukanlah solusi ideal. Pasalnya, karakter kedua entitas tersebut sangat berbeda. Dia menyebut bahwa ada sejumlah risiko lanjutan yang harus dipertimbangkan secara serius jika opsi ini benar-benar diambil.

“Model organisasi Danantara lebih pada korporasi, sementara Kementerian BUMN adalah birokrasi. Di Danantara, Kepala Badan Pelaksana diberi wewenang mengelola dan membina karyawan sesuai dengan PP 10 tahun 2025 tentang Danantara, sementara di birokrasi ada Kementerian Pendayagunaan Negara yang juga ikut menentukan,” ujarnya.

Lebih jauh, Herry menilai bahwa jika keduanya digabung akan muncul hambatan dalam hal kelincahan dan fleksibilitas pengambilan keputusan di tubuh BUMN.

“Tradisi birokratis yang terbawa ke Danantara jika digabung akan membuat BUMN menjadi tidak lincah dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.

Tak hanya soal struktur, perbedaan sumber daya manusia juga dinilai berpotensi menimbulkan masalah. Herry mencontohkan bahwa Danantara merekrut karyawan dari kalangan profesional, sedangkan Kementerian BUMN terdiri dari ASN.

Meski Pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10/2025 mengizinkan SDM Danantara berasal dari ASN, Herry menekankan bahwa hal ini tidak wajib. Pun, jika dilebur, dikhawatirkan memunculkan ketimpangan, baik dalam hal sistem remunerasi maupun kepangkatan.

"Kalau mereka yang ASN itu otomatis masuk ke Danantara akibat peleburan, nanti ada potensi ketimpangan iklim kerja maupun imbalan yang diterima. Jadi ada risiko lain yang harus dihadapi," ujarnya.

“Iklimnya juga ada kesenjangan. Misalnya, karyawan Danantara dari profesional, sementara Kementerian BUMN adalah ASN. Ini ada gap, misalnya soal sistem remunerasi dan kepangkatan,” sambungnya.

Atas dasar perbedaan karakter lembaga dan potensi konflik internal yang bisa timbul, Herry menilai bahwa opsi penggabungan Kementerian BUMN ke dalam Danantara bukanlah solusi yang tepat. Dia justru menyarankan agar Kementerian BUMN dibubarkan sepenuhnya dan memberi ruang bagi Danantara untuk menjalankan mandatnya secara optimal.

“Sebaiknya Kementerian BUMN dibubarkan saja, biarkan Danantara mengembangkan skenario pengembangan pengelolaan BUMN yang telah mereka siapkan. Ini lebih ideal, karena sesungguhnya BUMN adalah entitas privat. Mereka harus berpikir dan bertindak selayaknya korporasi, bukan selayaknya ‘pejabat pemerintah’ yang birokratis,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi