tirto.id - Perasaan Maria Catarina Sumarsih lempeng ketika mendengar rencana Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui Mekanisme Nonyudisial. Sumarsih menolak rencana itu dan mendesak pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial sesuai amanat Undang-Undang Pengadilan HAM.
“Pada setiap makan malam, di meja makan, kami sering membicarakan reformasi. Oleh karena itu kami sekeluarga akan melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawan gerakan mahasiswa ’98 yang belum selesai,” ia bercerita kepada reporter Tirto, Kamis malam pekan lalu. “Mewujudkan agenda reformasi ke-13, yaitu tegakkan supremasi hukum,” katanya.
Wawan adalah anaknya, bernama lengkap BR Norma Irmawan, yang tewas ditembak di bagian dada kiri pada 13 November 1998--peristiwa ini dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
Tergabung dalam solidaritas keluarga korban pelanggaran HAM, Sumarsih menjadi saksi bagaimana wacana-wacana penyelesaian kasus HAM masa lalu menguap begitu saja.
Dari wacana rekonsiliasi November 1999, penyusunan draf RUU KKR pada 2002, wacana pembentukan tim penyelesaian kasus HAM berat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pembentukan Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2015, pembentukan Dewan Kerukunan Nasional oleh Menko Polhukam Wiranto pada 2016, pembentukan Tim Terpadu oleh Wiranto pada 2018, hingga sekarang Jokowi ingin membentuk unit kerja via mekanisme non-pengadilan.
Dalam rencana terakhir, Sumarsih berkata tidak pernah dilibatkan. “Saya tidak tahu siapa korban yang dilibatkan dalam pembahasan draf perpres. Tetapi kami, tidak dilibatkan.”
Sumarsih adalah seorang ibu yang menolak menyerah dan berdiri melawan. Dalam Aksi Kamisan setiap pekan, sejak 18 Januari 2007, ia setia berdiri di depan Istana, menuntut penguasa menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan negara, yang terus saja diabaikan.
Tahun kemarin, Sumarsih dan keluarga korban Tragedi Semanggi I-II menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim mengabulkan gugatan mereka. Burhanuddin divonis bersalah karena mengatakan Tragedi Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat. Namun, Jaksa Agung mengajukan banding ke PTUN, lalu mengabulkannya pada 8 Maret 2021 sehingga membatalkan vonis sebelumnya.
“Tapi masih ada jalan kebenaran dan keadilan yang bisa kami lewati, kami akan mengajukan kasasi,” ujarnya.
Dalam Aksi Kamisan ke-671 pada 26 Maret 2021, Sumarsih dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menyurati Jokowi. Mereka menolak UKP-PPHB karena dianggap akan memberikan impunitas bagi pelaku. Sumarsih menyebut cara pemerintah selalu mengupayakan mekanisme nonyudisial telah menegasikan hak korban mendapatkan keadilan.
Pak @jokowi, kami tegas menolak pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat #UKPPPHB melalui Mekanisme Nonyudisial.
— Aksi Kamisan (@AksiKamisan) March 25, 2021
Ini akan memberikan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat & meniadakan akuntabilitas bagi korban yang mencari keadilan. pic.twitter.com/BuBlWxX7rf