tirto.id - Presiden Joko Widodo akan membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB). Rancangan Peraturan Presiden tentang tim ini diperoleh wartawan Tirto dari sumber internal beberapa waktu lalu.
Dalam bagian 'menimbang', bentuk mekanisme nonyudisial yang dimaksud adalah "upaya pemulihan dan rekonsiliasi" yang bertujuan "mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa."
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan pemerintah memang membuka opsi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan cara nonyudisial. "Sudah beberapa kali ketemu dan diskusi, tapi yang format UKP ini, belum," kata Beka kepadsa Tirto, Senin (22/3/2021).
Bagi Maria Catarina Sumarsih, penyintas dan aktivis Aksi Kamisan yang anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, tewas dalam Tragedi Semanggi I, pendekatan nonyudisial hanya menyelamatkan pelaku. Dengan cara nonyudisial, katanya, "tanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dipaksakan atau dialihkan menjadi tanggung jawab presiden, bukan tanggung jawab pelaku."
Kritik serupa disampaikan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar. Ia mengatakan upaya penyelesaian HAM secara nonyudisial sudah dilakukan sejak 2015. Ketika itu upaya tidak memenuhi unsur penyelesaian kasus HAM berat seperti pengungkapan kebenaran, reformasi institusional, dan mekanisme pengadilan.
Ia khawatir jika peraturan ini terealisasi, para purnawirawan yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu bebas dari penghakiman. "Karena di Rancangan Perpres tidak mendorong pengungkapan kebenaran," kata Rivanlee kepada Tirto, Selasa (23/3/2021). "Upaya untuk membawa pelaku ke mekanisme pengadilan menjadi hilang," tambahnya.
Dalam catatan Kontras pada 2019, setidaknya ada sembilan purnawirawan TNI-Polri yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebut saja Wiranto, Hendropriyono, Agum Gumelar, Bambang Kristiono, hingga Tono Suratman (para pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019).
Kala itu Kontras sudah menerima laporan para purnawirawan itu akan mendapat posisi strategis sehingga berpotensi membikin penuntasan kasus HAM masa lalu berlarut-larut. Kekhawatiran itu terbukti ketika Wiranto diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Para periode pertama pemerintahan Jokowi, mantan Panglima ABRI itu menjabat Menkopolhukam sejak 2016.
Wiranto adalah purnawirawan yang telah lama diduga bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Dugaan ini dipertegas lewat arsip-arsip rahasia Amerika yang dideklasifikasi pada 2019. Pada tahun itu Wiranto membela diri dengan mengatakan "pengadilan tak bisa adili."
Ada pula Brigjen Yulius Selvanus yang diangkat sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan, dan Brigjen Dadang Hendrayuda sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan pada 2020. Keduanya merupakan anggota 'Tim Mawar' Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, saat ini menjabat Menteri Pertahanan. Prabowo diduga terlibat penculikan aktivis pro demokrasi menjelang Orde Baru tumbang.
Pendukung Jokowi yang juga diduga melanggar HAM adalah Hendropriyono, yang tersandung kasus Talangsari. Saat pembunuhan aktivis HAM Munir, diduga kuat dari operasi intelijen, Hendropriyono adalah Kepala BIN saat itu.
Rivanlee menegaskan "upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu baru akan menemukan titik ideal jika negara tidak memberikan jabatan/mencopot para terduga pelanggar HAM yang berada di kekuasaan."
Sementara Kepala Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menyebut "pemerintah sudah sejak awal sebenarnya enggak serius untuk menyelesaikan penanganan masa lalu" dengan berkaca para beberapa indikator. Salah satunya memberikan jabatan terhadap para purnawirawan yang diduga terlibat dalam pelanggar HAM berat.
Kemudian, penyelidikan Komnas HAM terus saja mandek dan macet ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung.
Bersamaan itu, pemerintahan Jokowi mendorong upaya nonyudisial. "Dulu zaman Wiranto ada istilah membentuk dewan kerukunan nasional. Jadi ide untuk menutup perkara-perkara ini dan dialihkan untuk nonlitigasi itu sudah sejak dulu," kata Isnur.
Lagi pula, menurut Isnur, pembentukan tim ini tidak tepat karena menggunakan dasar hukum peraturan presiden. Penyelesaian HAM berat secara nonyudisial harus dengan regulasi setingkat undang-undang seperti Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) era Presiden SBY.
Undang-undang KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), dan meminta ada perbaikan hukum. Dengan demikian, menurut Isnur, tim nonyudisial ini melanggar petunjuk MK, keluar dari rel hukum, dan sekali lagi tidak menyelesaikan masalah.
"Kami mencurigai ini rencana yang tidak baik, langkah mundur, bagian dari impunitas atau memberikan kekebalan kepada terduga atau pelakunya dan bertentangan dengan undang-undang peradilan HAM di mana komnas HAM sudah melakukan penyelidikan," kata Isnur.
"Jokowi menyakiti korban. Semakin menyakiti korban, semakin menjauhkan dari upaya penyelesaian serius," tambahnya.
Sebelum rancangan perpres ini muncul, Menkopolhukam Mahfud MD pernah berpendapat tidak memiliki kecenderungan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan cara nonyudisial. "Kecenderungan saya hanya ingin berakhir," katanya, mengutip Antara.
"Nanti ada kriteria, yang begini-begini ke yudisial; yang enggak bisa ke nonyudisial. Nanti kami buat UU dulu untuk kriteria proses yudisial dan nonyudisial," katanya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino