tirto.id - Seorang perempuan kulit hitam dengan setelan formal putih tampak duduk bersandar di sofa. Tatapannya tajam lurus ke depan. Di sisinya, seorang laki-laki tanpa busana menelungkup di atas selimut bulu cokelat.
Pada gambar lain, terlihat perempuan kulit putih dengan setelan legam, dengan bra berenda yang tersingkap, duduk menopang kepala di sofa serupa. Senada dengan yang pertama, di sisinya terbaring seorang laki-laki yang dipotret setengah badan bagian bawah. Satu tangan si perempuan menyentuh bokong laki-laki tersebut yang tak tertutupi sehelai kain pun.
Deskripsi-deskripsi ini diambil dari iklan Suitstudio, produsen pakaian formal perempuan, cabang perusahaan Suitsupply yang memproduksi pakaian laki-laki. Melalui kampanye #NotDressingMen, Suitstudio menempatkan laki-laki sebagai ‘hiasan’ iklan, yang tentunya tidak kalah menarik perhatian dibanding perempuan yang menjadi objek utama dalam upaya berjualan mereka.
Komentar terhadap iklan Suitstudio pun segera bermunculan di media sosial. Ada yang dengan menyambut baik kampanye tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang mengkritiknya. Sama seperti komplain terhadap kemunculan perempuan-perempuan tanpa baju dalam iklan, para pengkritik menilai Suitstudio tengah mengobyektifikasi laki-laki lewat #NotDressingMen.
Baca juga:Pepsi, Kendall Jenner, dan Iklan-Iklan yang Panen Kemarahan
Meski terdapat kritik semacam itu, pihak Suitstudio tidak merasa ada yang bermasalah dengan iklan mereka. Dalam Hindustan Times, Kristina Barricelli, vice president Suitstudio AS menyampaikan tanggapannya terhadap komplain sebagian khalayak.
“Masalahnya ada pada sejarah belakangan ini, kita belum melihat laki-laki diobyektifikasi pada latar. Betapa anehnya!” ungkap Barricelli, “Kami suka laki-laki telanjang dan saya cukup yakin banyak perempuan yang juga menyukainya.”
Alih-alih menelan tuduhan mengobyektifikasi, Suitstudio berdalih bahwa kampanye mereka bertujuan mengedepankan kesetaraan. Tidak ada yang salah dengan pemunculan tubuh telanjang bagi mereka. Perusahaan tersebut juga mengklaim bahwa seks memegang peran besar dalam dunia fashion.
Bila perempuan memiliki laki-laki tampan dan telanjang di apartemennya, artinya perempuan itu tidak mengobyektifikasi laki-laki tersebut, tidak ada yang tahu apa yang dilakukannya terhadap si laki-laki, demikian argumen Suitstudio. Dalam iklan setelan perempuan ini, Suitstudio tidak memperkarakan laki-laki telanjang yang posisinya serupa dengan sofa, setelan yang dipakai perempuan, ataupun objek-objek lainnya.
Menjual Tubuh Laki-Laki dari Waktu ke Waktu
Ucapan Barricelli soal jarangnya obyektifikasi laki-laki pada latar perlu dicek kembali kebenarannya. Di aneka video klip, iklan-iklan, atau film, entah sudah berapa banyak laki-laki yang menjadi pemanis visual sekunder. Tengok iklan Gilly Hicks pada 2009 yang menampilkan perempuan muda—yang hanya berkutang dan celana dalam—memegang bokong dua laki-laki telanjang di sampingnya yang menghadap ke belakang.
Gilly Hicks sendiri merupakan produsen pakaian dalam perempuan yang berada di bawah perusahaan Abercrombie & Fitch. Dari tahun 1990-an, ada iklan Gianni Versace dan Valentino yang memajang laki-laki bugil ketika berjualan produk untuk perempuan.
Sebenarnya, iklan dengan laki-laki telanjang sudah ada sejak akhir dekade 1960-an dan mereka tidak berposisi sebagai penghias semata. Dalam buku The Story of Men's Underwear (2012), dikatakan bahwa Selimaille, produsen pakaian dalam laki-laki dari Perancis, memajang gambar mahasiswa usia 25 yang telanjang bulat dengan tangan menutupi kelaminnya.
Iklan yang fotonya dijepret oleh Jean-Francois Bauret ini disebut-sebut sebagai iklan dengan laki-laki telanjang perdana. Selain di Nova Magazine, poster iklan ini juga ditampilkan di Paris Metro. Tidak semua bereaksi positif atas peluncuran iklan Selimaille. Sekitar 300 poster dirusak oleh orang-orang yang berkeberatan dengan iklan tersebut setiap harinya.
Kemunculan laki-laki telanjang dalam iklan terus bertambah seiring dengan melebarnya batas toleransi terhadap ekspresi tubuh dan seksualitas dari masa ke masa. Hanya saja, jumlahnya belum menyaingi perempuan tanpa busana baik dalam iklan maupun produk budaya populer lainnya.
Apakah sebenarnya seks ampuh dalam mendongkrak penjualan? Menurut desainer Jason Wu, hal ini tergantung pada apa yang dijual.
“Saya pikir iklan yang menampilkan keseksian secara terang-terangan mendorong penjualan pakaian dalam, tetapi sehubungan dengan koleksi desainer, saya pikir sekarang kita ada dalam tahapan yang lebih mengedepankan penggambaran keseksian yang lebih subtil. Gagasan iklan yang menampilkan keseksian secara gamblang selalu menarik perhatian. Tetapi saya rasa sekarang sudah tidak lagi karena hal tersebut sudah ditampilkan di mana-mana dari waktu ke waktu,” jabarnya.
Baca juga:Selamat Datang Playboy Tanpa Gambar Telanjang
Studi dari The Ohio State University juga menyatakan bahwa seks—seperti halnya kekerasan—tidak melulu berdampak positif terhadap penjualan. Brad Bushman, profesor psikologi dari institusi tersebut mengatakan, “Orang-orang begitu fokus terhadap seks dan kekerasan yang ditampilkan di media sehingga mereka malah tidak memperhatikan pesan iklan yang ditampilkan bersamanya. Pengiklan tidak boleh terlalu yakin bahwa seks dan kekerasan bisa membantu meningkatkan penjualan produknya.”
Dalam studi yang sama juga ditemukan, semakin tinggi konten seksual dalam iklan, semakin negatif tanggapan orang-orang terhadap suatu merek dan semakin rendah kemungkinan mereka ingin membeli produk yang diiklankan.
Seperti halnya penggambaran tubuh perempuan, tubuh laki-laki telanjang yang ditampilkan dalam iklan memiliki standarisasi tersendiri. Atletis dengan perut berkotak, tanpa bekas luka, dan tinggi semampai adalah karakteristik klasik laki-laki yang ditonjolkan oleh para pengiklan. Lihat saja pin-up majalah perempuan yang sering kali memperlihatkan laki-laki yang cuma bercelana dalam.
Hal ini lantas melanggengkan stereotip tubuh ideal yang tak pelak dapat membikin laki-laki yang tak serupa gambaran tersebut rendah diri. Tidak heran bila di media sosial atau dalam praktik keseharian, para laki-laki menampilkan otot-otot kencang yang mereka anggap atraktif bagi perempuan.
Beda Efek Obyektifikasi Laki-Laki dan Perempuan
Ada yang berpendapat bahwa penampilan laki-laki telanjang sebagai objek dalam iklan merupakan upaya balas dendam atas obyektifikasi yang dialami perempuan. Sebenarnya, ketika perempuan melihat tubuh-tubuh telanjang laki-laki, mereka tidak mendatangkan efek yang sama dengan saat laki-laki mengobyektifikasi perempuan.
Yang membedakan obyektifikasi laki-laki dan perempuan adalah latar belakang posisi mereka dalam mayoritas masyarakat. Perempuan memiliki sejarah panjang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, serta perlakuan diskriminatif berdasarkan penampilan mereka.
Baca juga:Kasus Pelecehan Harvey Weinstein, Sisi Gelap Dunia Hiburan
Media massa sering menampilkan perempuan-perempuan berpakaian seksi—yang salah satu tujuannya memanjakan mata laki-laki. Penampilan mereka lantas diidentikkan dengan sifat terbuka secara seksual. Lantas, saat dalam keseharian terdapat perempuan berpakaian demikian, ia serta merta dianggap menggoda, bisa diajak tidur, murahan, dan aneka stigma negatif lainnya.
Kenyataannya bisa justru tidak seperti anggapan ini. Ketika laki-laki membuat gerakan dengan asumsi perempuan tersebut menggodanya, si perempuan akan merasa risi atau tidak aman. Mau tidak mau, ia mesti menutupi tubuhnya walau sebenarnya memakai pakaian terbuka lebih terkait kenyamanannya dibanding ekspresi seksual. Apakah laki-laki merasakan ketidaknyamanan yang sama akibat obyektifikasi?
Orang-orang juga cenderung menoleransi obyektifikasi laki-laki ini lantaran seksualitas mereka tidak seterkungkung perempuan. Laki-laki telanjang dada di depan publik jarang jadi perkara, lain cerita bila perempuan yang terlihat berkutang saja.
Meski obyektifikasi laki-laki tak sejamak perempuan, dan banyak orang yang lebih memaafkannya, tidak berarti hal ini adalah sesuatu yang patut dianggap normal. Apa pun gendernya, seseorang tak patut menjadi sekadar alat, entah bagi manusia lain maupun demi laba.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani