tirto.id - Iklan Pepsi yang dibintangi model papan atas dunia Kendall Jenner terpaksa ditarik karena menuai banyak kritikan. Iklan yang menampilkan adegan Kendall Jenner sedang sesi pemotretan berbarengan dengan penampakan kegiatan aksi demonstrasi di lokasi pengambilan gambar.
Kendall ikut bergabung dengan para demonstran. Ia menghapus lipstik merah marun yang menghiasi bibirnya serta melepas wig pirang, menyisakan rambut dengan gaya bob lurus berwarna brunette. Kendall berjalan ke arah para polisi yang sedang mengamankan demonstrasi sambil membawa sekaleng Pepsi dan memberikannya kepada salah seorang polisi.
Pada iklan tersebut, terlihat polisi itu sedikit terkejut dan ragu untuk menerima Pepsi dari Kendall. Namun sang polisi tetap menerimanya dan langsung meminumnya. Melihat polisi yang meminum Pepsi, para demonstran langsung bertepuk tangan dan bersorak. Pemberian Pepsi mungkin digambarkan sebagai bentuk perdamaian antara para demonstran dan polisi.
Terhitung baru satu hari iklan itu diluncurkan tapi banyak kecaman dari warga media sosial kepada pihak Pepsi. Mereka menganggap iklan ini menyepelekan protes anti kekerasan polisi yang kerap berlangsung akhir-akhir ini. Seperti yang terjadi di kota-kota Ferguson, Missouri, dan Baltimore, Amerika Serikat.
Pengamat mengutuk iklan ini karena dianggap tidak memberi kejelasan apa yang diproteskan para demonstran itu. Aktivis DeRay McKesson dari pergerakan Black Lives Matter melalui akun Twitternya mengecam iklan Pepsi tersebut. “Pepsi, iklan ini sampah” cuitnya pada video iklan Pepsi.
Setelah iklannya menjadi kontroversi, Pepsi akhirnya menarik iklan tersebut dan meminta maaf dalam sebuah pernyataan.
“Pepsi mencoba memproyeksikan pesan global mengenai persatuan, perdamaian dan saling pengertian. Jelas sekali jika kami telah melenceng dari pesan tersebut. Untuk itu, kami minta maaf. Kami sama sekali tidak bermaksud meremehkan isu serius,” ujar perusahaan Pepsi dalam sebuah pernyataan yang dikutip Bloomberg.
Iklan adalah bagian penting dari setiap bisnis karena dapat meningkatkan keuntungan dan membantu untuk mencapai tujuan. Setiap tahun, perusahaan di seluruh dunia menghabiskan miliaran dolar AS untuk iklan guna mempromosikan produk atau jasa mereka termasuk membujuk pelanggan secara global.
Namun, iklan mengikuti zaman. Di era digital seperti saat ini, industri periklanan dipaksa untuk mampu beradaptasi. Selain itu di era media sosial, segala apapun dapat dikritik netizen. Bahkan netizen dapat berperan sebagai “penentu” iklan tersebut layak dipublikasikan atau tidak.
Pada era 90-an, para perusahaan dapat melempar sejumlah uang kepada mereka yang mengkritik iklan atau para demonstran agar dapat diterima oleh konsumen. Namun, hal itu kini sudah tak berlaku lagi menurut kepala biro iklan Drago5, Dylan Williams, seperti dikutip The Guardian.
Selain Pepsi, ada produsen yang juga kemudian menarik iklannya karena dikecam para netizen. Beberapa waktu lalu, perusahaan skincare asal Jerman Nivea juga meminta maaf dan menghapus iklan Nivea dengan judul “white is purity.” Iklan ini dikecam netizen karena dianggap rasis dan diskriminatif.
Di Indonesia, PT Indosat pernah berurusan dengan hukum karena iklannya yang dianggap melecehkan wilayah Bekasi. Dalam iklan itu disinggung mengenai jauhnya jarak ke Bekasi. Bahkan disebutkan bahwa liburan ke Australia lebih mudah dibandingkan ke Bekasi.
Desainer Grafik Adi Gaudiamo mengungkapkan bahwa dari sisi kreatif, dahulu para desainer lebih bebas dalam menuangkan ide saat membuat iklan. Bila ada respons negatif, biasanya akan muncul dalam jangka waktu yang agak lama setelah penayangan.
“Kalau sekarang jadi [lebih] banyak batasan dalam berkreasi karena konten kreatif bisa menjangkau jauh lebih luas bahkan di luar target market. Jadi harus lebih hati-hati dalam konsep ide. Tantangannya ya desainer harus punya wawasan luas dan siap-siap menghadapi kemungkinan kreasinya mendapat respons negatif,” kata Adi yang pernah bekerja di salah satu agen iklan di Indonesia, kepada Tirto.
Batasan yang dimaksud adalah dari segi sudut pandang, interpretasi atau nilai-nilai, serta budaya dan ini pun terkait dengan kedewasaan dari penonton. Menurutnya, dengan adanya media sosial, penonton yang kurang mengerti atau tersinggung dengan iklan yang ada, sangat mudah menyampaikan pendapatnya dengan cepat dan luas ke seluruh dunia.
“Kalau komentar negatifnya jadi viral ya semakin banyak juga orang lain lebih memihak sisi negatif sebelum melihat sendiri iklannya atau yang sudah melihat iklannya juga mungkin akan setuju dengan komentar itu,” kata Adi.
Bila melihat dari sisi pemasaran, biasanya pihak marketing akan memberi masukan ke pengguna, apakah ada kemungkinan desain yang dibuat akan mendapat respons negatif atau tidak di publik.
Kadang dari pihak marketing malah mendukung ide yang kontroversial. Opsi ini boleh saja asalkan dari bagian hubungan publik di perusahaan sudah menyiapkan rencana cadangan bila muncul kecaman atau hujatan terhadap sebuah iklan.
“Untuk menghindari semua opini negatif kan nggak mungkin juga dan kalau terlalu play safe juga malah nggak jadi perhatian juga,” ujar Adi.
Intinya bila ada sebuah iklan bisa jadi kontroversi maka berpotensi memiliki dampak besar bagi produsen yang bersangkutan. Menurut Abdul Rehman Madni dalam tulisannya Influence of Controversial Advertisement on Consumer Behavior memaparkan bahwa iklan yang kontroversial dapat berdampak pada produk atau merek tersebut, tetapi juga memengaruhi reputasi perusahaan.
Sehingga penting bagi perusahaan untuk mengetahui keinginan konsumen termasuk netizen sebelum membuat iklan. Pengalaman yang dialami Pepsi bisa jadi pelajaran. Kerugian Pepsi untuk membayar Kendall Jenner sebagai model memang tidak murah untuk sebuah iklan yang ditarik dari peredaran, tapi reputasi merek adalah yang paling mahal dari segalanya.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti