tirto.id - Koalisi IBUKOTA yang terdiri dari ICEL, Greenpeace, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik keras Jakarta yang menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia versi IQAir.
Apalagi yang disayangkan, warga harus merasakan kualitas udara yang tidak sehat jelang hari Ulang Tahun DKI Jakarta ke-495 pada tanggal 22 Juni 2022 besok.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup (ICEL), Fajri Fadhillah mengatakan, polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas.
Sumber-sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, cukup signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta. Untuk itu, Koalisi mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya untuk supervisi penuh ke tiga daerah.
"Dalam kondisi seperti ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya harus menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap ketiga Gubernur, yaitu Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing," kata Fajri saat diskusi secara daring, Selasa (21/6/2022).
Menurutnya, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta. Seharusnya, mereka dengan cepat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat bersama.
"Baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat. Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat," tegasnya.
Tercatat, sejak 15 - 20 Juni 2022, kualitas udara Jakarta berada di urutan teratas kota dengan polusi tertinggi di dunia pada pengukuran udara di pagi hari.
Data IQAir pada Senin (20/6/2022) pukul 06.00 WIB, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy). Data Selasa pagi (21/6/2022), pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).
Data-data ini mengacu pada data resmi yang dimiliki pemerintah yaitu KLHK dan DLH DKI Jakarta.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menuturkan, salah satu penyebab polusi udara Jakarta tertinggi memang cuaca. Tetapi, penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang terbukti belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah.
Dirinya menjelaskan, partikel polusi udara dari PM2.5 terjadi peningkatan ketika dini hari hingga pagi hari.
"Hal ini terjadi karena tingginya kelembaban udara sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants," kata Bondan.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³(mikrogram per meter kubik) yang cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi hari.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jeanny Sirait menambahkan sampai saat ini pemerintah pusat dan daerah terkesan lepas tangan dengan permasalahan polusi dalam beberapa hari ini dan hanya menyalahkan cuaca.
Padahal, September tahun lalu, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA telah dimenangkan dalam gugatan warga negara atas polusi udara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih.
Hal ini sangat memprihatinkan. Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena porses banding dari pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan.
"Proses banding ini seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta alias buying time, padahal setiap harinya warga ibu kota bertaruh nyawa untuk bisa menghirup udara bersih," tuturnya.
Atas kondisi tersebut, Koalisi IBUKOTA berharap gerakan bersama dari masyarakat Jakarta dan sekitarnya harus lebih banyak terjadi untuk mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya.
"Hal ini tidak saja untuk warga Jakarta tetapi untuk hak hidup yang lebih baik untuk seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri