tirto.id - Sekelompok mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) mendirikan pos komando (posko) di halaman depan kampus pada Minggu 14 Juni 2020. Di sana mereka berencana menggelar berbagai kegiatan yang intinya menuntut pembebasan tujuh tahanan politik Papua yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.
Para tahanan politik ini dituduh makar hanya karena mengoordinasikan demonstrasi anti rasisme pada Agustus 2019 lalu. Demonstrasi ini dipicu oleh pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada bulan yang sama oleh ormas dan aparat. Para tapol dipindah dari Papua ke Balikpapan agar "tidak terjadi kericuhan saat persidangan," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra di Mabes Polri pada 7 Oktober tahun lalu.
Mereka adalah Stevanus Itlay, Hengki Hilapok, Agus Kossay, Fery Kombo, Buchtar Tabuni, Alexander Gobay, dan Irwanus Uropmabin. Mereka rata-rata dituntut belasan tahun oleh jaksa. Alex Gobay, yang dituntut 10 tahun penjara, adalah Presiden BEM USTJ yang terpilih pada November 2018.
Setelah mendirikan posko dan diskusi sepanjang hari, sebagian mahasiswa memilih pulang. Sementara Albert Yatipai (24), Marthen Pakage (25), Semmy Gobay (22), dan Ones Busop (22) memutuskan bermalam di sekretariat. Marthen bangun pagi dan membeli pisang goreng untuk sarapan. Albert sempat menggamitnya.
Rencana sarapan gagal total lantaran aparat dari Ditreskrimum Polresta Jayapura tiba-tiba datang dan menangkap para mahasiswa. Mereka menenteng senjata laras panjang dan pendek--peristiwa yang barangkali janggal jika terjadi di Jawa--tapi hanya pakai kaus oblong atau tidak berseragam.
"Saya dipukul di kepala, di tulang belakang, di tangan. Lalu diseret ke mobil Strada itu," kata Albert kepada reporter Tirto, Senin (15/6/2020) malam, lalu menegaskan kalau hanya dia yang diperlakukan demikian. Keempatnya lantas dibawa ke mapolresta tanpa surat penangkapan.
Albert menegaskan dia dan kawan-kawannya berstatus mahasiswa resmi kampus tersebut. Dia jurusan Ilmu Pemerintahan dan aktif pula di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Marthen di Teknik Pertambangan, sementara Semmy dan Ones belajar di Hubungan Internasional. Ketiganya merupakan anggota BEM.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, yang mendampingi pemeriksaan para mahasiswa, mengatakan polisi tak patut menangkap Albert dan kawan-kawan karena sebelum mendeklarasikan posko BEM telah bersurat ke pihak kampus soal apa saja yang akan mereka lakukan. Pos ini, kata Emanuel, semestinya dilihat sebagai bagian dari kegiatan akademik yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 "dikecualikan untuk membuat surat pemberitahuan."
Selain itu menurutnya penangkapan juga tak sesuai KUHAP karena tanpa surat pemberitahuan dan melanggar HAM. "Jelas-jelas dengan mereka ditangkap, hak kebebasan mereka telah dilanggar," katanya kepada reporter Tirto.
Dalih Penangkapan
Menurut Kapolresta Jayapura AKBP Gustav Urbinas, mereka menangkap para mahasiswa "atas dasar laporan dan aduan rektorat."
Kepada reporter Tirto, ia mengatakan pihak kampus keberatan dengan acara tersebut lantaran berpotensi mengumpulkan massa pada masa pandemi yang "dapat menghambat penanganan dan pencegahan COVID-19."
Keterangan ini dibenarkan Wakil Rektor III USTJ Isak Rumbarar. Awalnya Isak menyanggah keterangan Albert soal surat pemberitahuan. "Saya benar-benar sangat buta dengan kegiatan adik-adik mahasiswa ini," katanya kepada reporter Tirto. "Mereka sebarkan kegiatan ke publik pukul 9. Saya baru dapat pukul 9.50, 10 menit menuju kegiatan (peresmian posko). Pihak keamanan tahu lebih dulu."
Ia mengklaim tak pernah mempermasalahkan kegiatan mahasiswa selama ada pemberitahuan. Tapi khusus di masa pandemi ini, ia menyarankan agar kegiatan dilakukan secara online, termasuk diskusi soal tapol Papua di Kalimantan.
Isak akhirnya "komunikasi dengan pihak kepolisian" karena acara tetap digelar tatap muka dan menurutnya kampus tidak berwenang membubarkan kegiatan itu. "Saya khawatir COVID-19 dan USTJ jadi klaster," klaimnya, tapi juga mengatakan kalau ia khawatir kegiatan ini dapat "menakuti" calon mahasiswa.
Klaim Albert soal status aktif di lembaga mahasiswa juga Isak sanggah. Menurutnya semua itu tidak benar. Pun dengan klaim status mahasiswa aktif. Berdasarkan penelusuran di pangkalan data kemahasiswaan, Isak mengatakan yang benar-benar terdaftar sebagai mahasiswa hanya Alber dan Ones Busop. Sementara nama Marthen Pakage tidak muncul di pangkalan data, pun dengan Semmy Gobay. Bedanya, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional mengatakan Semmy masih terdaftar.
Isak juga menegaskan Alexander Gobay sudah berstatus alumni. Dia adalah "peserta wisuda 2019. Dilantik [Presiden BEM] pada 19 September 2018 dan berakhir pada 19 September 2019. Waktu Alex pimpin demo, sudah berstatus alumni."
Pada Senin malam empat mahasiswa ini dibebaskan usai menandatangani surat pernyataan, kata pendamping hukum lain, Yuliana Yabansabra, kepada reporter Tirto.
==========
(Revisi 17 Juni 2020 pukul 15.50. Sebelumnya kami meragukan pernyataan Isak bahwa Gobay sudah alumni dengan dasar dia terpilih sebagai Presiden BEM, mengutip artikel Jubi, pada November 2018 dengan masa bakti satu tahun. Sementara demonstrasi pecah pada Agustus 2019 dan Gobay dipindah ke Balikpapan pada awal Oktober 2019. Tapi Isak bilang Gobay menjabat 19 September 2018-19 September 2019 dan dinyatakan lulus setelah mengikuti yudisium pada Agustus 2019. "Ketika wisuda pada September 2019 ybs namanya tetap dibacakan dalam SK rektor sebagai peserta wisuda dan ybs berhalangan hadir karena sudah ditahan pihak keamanan," katanya.)
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino