Menuju konten utama

Polemik Arief Hidayat Pertaruhkan Citra Mahkamah Konstitusi

Keraguan terhadap proses uji kelayakan dan kepatutan bermula dari dugaan Arief melakukan lobi kepada anggota DPR.

Polemik Arief Hidayat Pertaruhkan Citra Mahkamah Konstitusi
Calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim MK di Komisi III, gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/12/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan DPR harus bisa menjelaskan bagaimana proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap Arief Hidayat, Rabu (6/12) kemarin. Uji kelayakan dan kepatutan tersebut membuat Arief—yang menjabat Ketua MK sejak 2015—kembali dipilih sebagai hakim konstitusi hingga 2022.

Menurut Zainal, banyak yang dipertaruhkan dalam proses tersebut, termasuk kredibilitas MK serta putusan yang pernah dikeluarkan semasa dipimpin Arief. "Terlalu banyak yang dipertaruhkan kalau tidak dijelaskan," kata Zainal kepada Tirto di daerah Gambir, Jakarta, Kamis (7/12/2017).

Keraguan terhadap proses uji kelayakan dan kepatutan bermula dari dugaan Arief melakukan lobi kepada anggota dewan. Beredar kabar Arief "menjual" perkara sengketa Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dapat diloloskan sebagai hakim konstitusi. Dewan Etik MK bahkan sampai sekarang tengah memeriksa kebenaran informasi itu.

Menurut Zainal, ada empat asas yang dilanggar dalam proses uji kelayakan dan kepatutan kemarin, yaitu asas transparansi, asas objektif, asas akuntabel, dan asas partisipatif. Empat asas ini diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Zainal menunggu Dewan Etik memeriksa Arief. Ia berharap Dewan Etik menentukan sanksi yang tepat apabila Arief terbukti melanggar kode etik. Pegiat antikorupsi di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini mengatakan bahwa putusan Dewan Etik bisa memengaruhi putusan DPR.

Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau keputusan pemilihan Arief bisa digugat seperti yang pernah terjadi pada Patrialis Akbar. DPR, katanya masih bisa mengevaluasi pelantikan Arief di Sidang Paripurna. "Saya harap DPR masih mau mengoreksi keputusan mereka," kata Zainal.

Namun, anggota dewan menyanggah ini. Anggota Komisi III DPR RI Eddy Kusumawidjaya membantah uji kelayakan dan kepatutan dilakukan diam-diam. "Enggak diam-diam. Semua sudah sesuai prosedur," kata Eddy di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (7/12/2016).

Eddy mengatakan kalau uji kelayakan dan kepatutan ini sudah direncanakan sejak masa sidang pertama, tapi tertunda karena reses.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai polemik ini bukan karena kesalahan Arief semata. Menurutnya yang patut disalahkan adalah DPR sebagai pelaksana uji kelayakan dan kepatutan. Salah satunya adalah karena menjalankan proses perekrutan tertutup.

"Kalau calonnya cuma satu, tidak partisipatif. Jadi memberi pembenaran seolah-olah mencurigai orang," kata Jimly kepada Tirto.

Jimly menerangkan, pencalonan hakim harusnya dilakukan secara transparan. Setelah nama-nama masuk, DPR menyeleksi kandidat yang dinilai layak. Tidak jadi masalah kalau DPR sudah punya nama sebelum proses seleksi, selama itu mengikuti prosedur. "Waktu saya dulu juga begitu. Ada calon lain tapi mereka [DPR] sudah sepakat saja yang dipilih satu," kata Jimly.

Terlepas dari kontroversinya, Jimly menilai Arief layak jadi hakim konstitusi. Ia menyebut Arief telah berupaya memperbaiki citra MK yang buruk karena keputusan-keputusan yang dinilai publik tidak tepat. Citra MK, katanya, justru bermasalah sejak kemunculan isu lobi ini.

"Citra MK kan belum pulih 100 persen, tapi sekarang di bawah kepemimpinan Arief sudah menuju pemulihan. Namun, dengan kasus ini terhambat lagi pemulihan itu," kata Jimly.

Jimly kini menyerahkan permasalahan Arief kepada Dewan Etik MK. Ia yakin Dewan Etik—yang beranggotakan Ahmad Rustambi, Solahudin Wahid, dan Bintan Saragih—bisa membuktikan apakah Arief bermasalah atau tidak. "Mudah-mudahan tidak ada masalah," kata Jimly.

Baca juga artikel terkait HAKIM MK atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani