tirto.id - Pada umumnya peti mati berbentuk persegi panjang sederhana atau segi enam dengan dicat polos. Peti mati diukir secukupnya atau ornamen seperti simbol agama kadang disematkan. Namun, di Ghana, Afrika, kegiatan prosesi pemakaman hingga bentuk peti mati dibuat sangat unik.
Di Ghana, peti mati berupa bentuk kaleng minuman dingin, mobil, ayam, singa, ikan, lombok, pesawat terbang, palu, roket, mobil pemadam kebakaran dan lain sebagainya. Berbagai macam desain tersebut menggambarkan personalisasi orang yang meninggal. Prosesi pemakaman sering kali menjadi ajang yang menggembirakan di negara Afrika Barat ini. Di sana, kematian diyakini sebagai awal dari kehidupan setelah kematian, dan almarhum harus menerima prosesi pelepasan yang menyenangkan.
Semakin banyak yang hadir maka akan semakin baik bagi yang meninggal. Di sebuah prosesi pemakaman Joanna Boafo di Kota Kumasi, CNNpernah menengok acara tersebut dengan ramainya pelayat yang hadir. “Itu berarti orang tersebut sangat ramah, sangat bermurah hati, bersosialisasi dengan baik dan melakukan komunikasi yang baik dengan orang-orang.” Kata Jamima, seorang kerabat keluarga yang menghadiri pemakaman.
Papan reklame warna-warni yang mengumumkan acara pemakaman di Ghana dipasang meski harganya bisa mencapai hampir 600 sampai 3000 dolar AS khususnya di tempat-tempat strategis. Orang-orang Ghana bisa menghabiskan banyak uang untuk acara pemakaman, bahkan bisa melebihi dana untuk resepsi pernikahan. Kwaku, seorang perencana pemakaman mengatakan “pemakaman rata-rata berharga antara 15.000 sampai 20.000 dolar AS,” katanya yang pernah menangani 30 prosesi dalam sehari.
Sebagian besar pemakaman diadakan pada akhir pekan dengan hari Sabtu menjadi yang paling sering. Pelayat biasanya memakai pakaian pemakaman tradisional dominan hitam atau hitam dan merah dan dalam sehari dapat pergi antar desa bahkan kota untuk menghadiri prosesi. Keluarga yang berduka menyambut dengan persediaan makanan, minuman, musik sekaligus tarian.
Begitu pula dengan peti mati yang dalam bahasa lokal disebut abebuu adekai. Benda ini menjadi ciri khas dan bagian dari budaya kontemporer pemakaman di Ghana. Paa Joe, yang pada November nanti berumur genap 70 tahun, adalah salah satu ikon seniman peti mati fantasi yang menonjol di Ghana saat ini.
Baca juga: Jejak Diaspora Leluhur Nusantara di Afrika
Karyanya telah menembus berbagai pameran internasional seperti dipajang di Pompidou Centre di Paris, British Museum and the V & A di London, serta Museum Brooklyn di New York. Koffi Anan, mantan sekjen PBB dan Jimmy Carter, mantan presiden AS dilaporkan pernah membeli dua peti mati fantasi ke mereka. Joe sendiri seperti dilansir dari The Guardianmulai menekuni kerajinan peti mati fantasi saat berumur 16 tahun, ketika ibunya mengirimnya magang ke komunitas nelayan etnis Ga di Teshie.
Darah seniman peti mati fantasi telah mengalir di keluarganya. Pamannya, Ajetey dan Kane Kwei tidak lain adalah pelopor pembuat peti mati fantasi hingga bisa menjadi komersil pada 1950-an. Paa Joe sempat bekerja 12 tahun di bengkel milik Kane Kwei sampai 1976 dan akhirnya membuka usaha serupa Peti mati fantasi karya pertama Joe yang diukir pada tahun 1978 berbentuk bangunan kepada seorang pengembang properti. Di puncak kepopulerannya, ia bisa menghasilkan 10 peti mati saat sedang ramai.
Baca juga: Pembantaian Suku Tutsi di Rwanda
Sejak 2008 lalu bengkelnya sudah pindah berada di Pobiman, sekitar 15 mil dari Accra. Rata-rata kini membutuhkan waktu 2 bulan untuk menciptakan peti mati fantasi karena tingkat kerumitan dan desainnya yang unik. Harga peti mati fantasi yang dipatok Joe bervariasi, mulai dari yang konvensional setara dengan sekitar £ 1.500, sementara untuk kelas pameran bisa mencapai £ 8.000.
Kerajinan peti mati fantasi ini menjadi tren ketika Seth Kane Kwei, pria etnis Ga mendirikan bengkel di Teshie pinggiran Kota Accra. Perannya krusial dalam memproduksi model peti mati unik ini sejak 1950-an. Terus berkembang, tokonya kemudian diberi nama Kane Kwei Carpentry Workshop dan menjadi ikon budaya. Usahanya diteruskan secara turun temurun, Sowah yang merupakan anak Kane Kwei mengambil alih usaha ini.
Selanjutnya usaha diteruskan oleh Cedi Kane Kwei dan sejak 2005 hingga kini Eric Adjetey Anang, anak dari Cedi memegang usaha ini dan mengembangkan kreativitas dengan memperkenalkan desain baru. Banyak dari jebolan Kane Kwei Carpentry Workshop meneruskan karier dengan mendirikan bengkel kerajinan peti mati fantasi, termasuk Paa Joe dan sederet nama-nama seniman peti mati fantasi terkenal lainnya seperti Eric Adjetey Anang, Daniel Mensah, Kudjoe Affutu yang karyanya juga mampu dipentaskan di panggung internasional dan menjadi ikon seni kontemporer di Ghana maupun Afrika Barat.
Baca juga: Kisah Berlian Berdarah di Sierra Leone
Menurut antropolog Regula Tschumi dalam bukunya berjudul The Figurative Palanquins of the Ga History and Significance In African Arts, dulunya peti mati figuratif di Accra hanya dipakai oleh para pemimpin tradisional etnis Ga yang menjadi mayoritas di Accra. Baru pada 1960, peti mati fantasi untuk upacara pemakaman mulai meluas.
Dana besar yang digelontorkan untuk sebuah pemakaman termasuk pembelian peti mati fantasi yang mahal menuai kritik dari para pemimpin agama dan politikus.
“Kami berinvestasi pada orang mati, dan bukan yang hidup... itu buruk.” kata legislator Alban Bagbin.
Sementara Uskup Agung Accra, Charles Gabriel Palmer-Buckle mengatakan bahwa "sara paling pasti untuk mengingat orang mati bukanlah jenis peti mati yang biasa menguburkan mereka dan bukan jenis kain atau kaos yang dimenangkan saat pemakaman mereka, tapi melakukan sesuatu positif bagi orang mati yang akan menguntungkan bagi yang masih hidup.”
Baca juga: Membongkar Misteri Makam Jenghis Khan
Prosesi pemakaman sering kali menggembirakan di Ghana. Setelah para pelayat menangisi kepergian almarhum dan melakukan doa dan keagamaan, selebihnya adalah acara pesta. Para pelayat berdansa dan bersenang-senang untuk mengantarkan almarhum dalam keadaan yang menyenangkan. Setelahnya, mereka yang masih hidup tentu akan menunggu giliran yang sama.
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra