tirto.id - Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung mengkritik pemaparan yang dilakukan oleh sejumlah calon Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2014 dalam uji publik. Pasalnya, tak ada yang memaparkan secara detail masalah pemerkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi secara massal dalam tragedi 1965.
“Dari semua calon yang saya dengarkan, tidak ada satu pun yang secara spesifik bicara soal korban yang begitu dasyat, yakni genosida 65, khususnya masalah pemerkosaan dan pelecehan seksual,” ungkap Bedjo dalam Uji Publik Calon Anggota Komnas Perempuan, di Hotel Sari Pasific, Jakarta, pada Senin (14/10/2019).
Padahal, ungkap Bedjo, kejadian tersebut terjadi secara masif di hampir seluruh daerah di Indonesia, di antaranya yakni Klaten, Solo, Jogjakarta, Sumatera Barat, dan sebagainya.
“Saya belum pernah dengar negara melakukan penelitian yang serius terkait berapa jumlah korban,” ungkap Bedjo. “Saran saya komnas perempuan yang ke depan bisa memfasilitasi, dan melindungi, dan paling tidak, memberikan jaminan sosial,” lanjutnya.
Dalam sesi tanya-jawab itu, Bedjo pun mempertanyakan langkah konkret yang akan diambil oleh Komnas Perempuan periode berikutnya untuk mengadvokasi para korban 1965.
Menanggapi hal tersebut, salah satu calon anggota asal Maluku, Lusia Peilouw, membenarkan bahwa tragedi 1965 merupakan peristiwa yang berdampak pada perempuan. Dalam seleksi itu, Lusia membeberkan stigma yang melekat pada keturunan orang-orang yang pengikut PKI.
Seperti diketahui, salah satu lokasi tempat pembuangan PKI kala itu yakni Pulau Buru, yang merupakan bagian dari Maluku.
“Anak-cucunya untuk mendapatkan pekerjaan masih susah, bahkan untuk menikah saja [sulit]” ungkap Lusia di Ruang Istana 1, Hotel Sari Pacific, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Lusia menilai, perlu ada pendekatan untuk menghapuskan identitas atau rekam jejak mereka.
“Yang sedang diupayakan memang menjadikan mereka sebagai manusia biasa, bukan dilihat rekam masa lalunya terus,” pungkasnya.
Komentar lain disampaikan oleh calon anggota bernama Maria Ulfah Anshor. Ketua KPAI periode 2010-2013 ini menilai bahwa Tragedi 65, merupakan kasus tak mendapatkan penanganan serius. Padahal, peristiwa ini punya dampak serius bagi perempuan, “bahkan cenderung dilupakan”, kata Maria.
“Ke depannya, sebagai masukan juga, korban yang masih hidup, bisa mendapatkan perhatian yang lebih besar ya,” ujar Maria. “Kita perlu memetakan kembali, daerah-daerahnya, mana, siapa saja, penting sebagai dasar bagi kita dan pemerintah untuk mencoba mengangkat kembali kasus ini,” lanjutnya.
Kemudian, Maria juga menilai perlu adanya bentuk kerjasama untuk mengungkap data korban Tragedi 1965. Pasalnya, kata Maria, Komnas Perempuan tak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi. Padahal, investigasi perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang kuat secara hukum.
“Bisa juga bekerja dengan Komnas HAM, supaya apa yang digali bisa memiliki kekuatan hukum,” ujarnya.
Jawaban berbeda diutarakan oleh Mariana Amiruddin, calon anggota Komnas Perempuan periode 2020-2024. Dalam penanganan kasus Tragedi 1965, Mariana mengakui adanya kemunduran dalam penanganan kasus tersebut, sehingga mereka perlu mengubah strategi.
“Kalau saya terpilih kembali, artinya kita perlu duduk untuk membicarakan pencapaian paling pendek, seperti jaminan sosial, meskipun di belakangnya ada sejarah besar yang harus kita lampirkan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan periode 2014-2019 ini.
Saat ini, terdapat 50 calon anggota Komnas Perempuan periode 2020-2024 yang telah lolos tahapan rekam jejak dan administrasi. Mereka kembali diseleksi dalam tahap uji publik dan tes psikologi yang dilakukan tanggal 14 dan 15 Oktober 2019.
Uji publik itu diadakan di Hotel Sari Pacific, Jakarta, di Ruang Istana 1 dan Ruang Istana 2. Masyarakat bisa menyaksikan uji publik tersebut melalui akun Youtube Komnas Perempuan untuk uji publik di Ruang Istana I dan di akun Facebook Komnas Perempuan untuk uji publik di Ruang Istana II. Selain itu, masyarakat juga bisa menyampaikan masukan atau pertanyaan untuk para calon anggota Komnas Perempuan melalui WhatsApp dan SMS di nomor 0811-8102-703.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika