tirto.id - Hunian dan permukiman adalah masalah multidimensi sejak sekitar seabad silam. Masalah permukiman berakar dari persoalan kepadatan.
Sejak akhir abad 19, kota-kota Hindia Belanda tumbuh digenjot oleh liberalisasi ekonomi mengundang kedatangan banyak manusia. Kota-kota seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, telah lama menjadi konsentrasi kepadatan manusia yang menghadapi masalah seperti banjir, limbah, dan kesehatan.
Kota-kota ini juga kian dikepung peningkatan penduduk. Jumlah penduduk pribumi Pulau Jawa meningkat dari 12 juta jiwa, menjadi lebih dari 28 juta jiwa pada tahun 1905. Hingga akhir abad 19, kota-kota di Hindia Belanda cenderung ditumbuhkan sebagai fasilitas dagang dan militer ketimbang sebagai kota-kota hunian.
Penambahan penduduk ditanggulangi dengan mengembangkan wilayah ke daerah pinggiran secara sporadis, tanpa ada penyesuaian di kota-kota itu sendiri. Hal ini seakan berasumsi bahwa lahan tak akan ada habisnya.
Kebutuhan Hunian Baru
Masyarakat Eropa di Hindia Belanda tumbuh dua kali lipat pada kurun waktu 1870 hingga 1900. Tenaga-tenaga ahli dan pengusaha bermodal berdatangan dari Eropa untuk berbisnis dan bekerja di Hindia Belanda. Tidak jarang mereka untuk menetap dengan membawa serta keluarga sehingga kebutuhan hunian bagi mereka melesat pesat.
Masyarakat Eropa yang hanya segelintir jumlahnya biasanya menempati status sosial dan ekonomi tertinggi, tunduk atas hukum yang khusus diberlakukan bagi kaumnya, bertindak sebagaimana diharapkan masyarakatnya, termasuk bertempat tinggal di kawasan elit yang diperuntukan bagi mereka.
Selain pejabat militer dan kaum saudagar, masyarakat Eropa belakangan juga kedatangan profesional; birokrat, insinyur, dan ilmuwan. Kebutuhan akan rumah tinggal bagi kaum Eropa dipenuhi oleh pengembangan perumahan swasta yang menjajakan rumah-rumah ‘vila’ eksklusif di lingkungan yang asri, dikelilingi oleh kebun luas, dan dilengkapi saluran pembuangan limbah serta sumber air yang relatif baik.
Proyek pengembangan semacam Tjandi Baroe (1907 dan 1916) dan Goebeng (1908) di Semarang, Nieuw Gondangdia (1911) di Batavia, Ngagel (1916) di Surabaya, Bandung Utara (1917), Orangebuurt (1917) di Malang, Polonia (1919-1920) di Medan, Kedoeng Halang (1917) di Bogor, pada saat itu direncanakan sebagai jawaban atas kebutuhan permukiman masyarakat Eropa.
Perubahan Arsitektur Hunian
Kota-kota baru ini hampir berkebalikan dari kota-kota lama. Tipe-tipe hunian yang dikembangkan di era ini lebih rasional dari sebelumnya. Rumah-rumahnya tidak lagi berdempet-dempet seperti di kota-kota pelabuhan yang sesak dan tanpa penghijauan. Luas kavling di Niew Gondangdia, misalnya, rata-rata berkisar antara 1.500 hingga 2.800 meter persegi.
Rumah-rumah vila dibangun di tengah lahan dengan menyisakan area sekelilingnya sebagai area hijau. Rancangannya juga lebih ringkas; tidak lagi menyediakan rumah belakang bagi pelayan, cukup menyediakan teras yang nyaman ketimbang beranda keliling yang luas.
Atapnya tinggi menjulang dengan sudut tajam memastikan air hujan cepat mengalir keluar dan ruang di bawahnya tetap sejuk meski diterpa sinar matahari. Suasana permukiman yang rindang dan nyaman ini melebarkan tapak kota-kota Hindia Belanda, dengan merambah area perkampungan, yang seringkali berada di dataran yang lebih tinggi dan sejuk.
Proyek-proyek pengembangan kawasan baru ini tidak hanya merupakan inisiatif dewan-dewan kota, tapi banyak juga yang merupakan pengembangan komersil oleh perusahaan-perusahaan swasta. Meskipun tidak ada larangan bagi masyarakat pribumi atau non-Eropa untuk membeli dan menghuni kawasan-kawasan baru ini, tidak banyak masyarakat non-Eropa yang memiliki kemampuan itu.
Istilah pribumi, menurut artikel Tirto.id, berkembang seiring dengan datangnya kolonialisme Eropa. Istilah tersebut digunakan untuk mengkategorikan orang yang sebelumnya telah tinggal di wilayah tempat mereka berkuasa.
Munculnya Ancaman Wabah
Masyarakat Cina bermukim di kawasan kota yang padat, yang membaurkan tempat tinggal dengan tempat usaha dan gudang komoditas dalam kawasan yang padat. Di kawasan terpisah tapi serupa juga tinggal masyarakat Arab. Hunian di kawasan ini berhimpitan dan padat, seringkali tanpa menyisakan tanah lapang sama sekali. Situasi yang memprihatinkan ini dideskripsikan oleh antropolog Freek Colombijn dalam bukunya Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960 (2013).
Bukan kebetulan kawasan hunian seperti ini justru berada di dekat muara sungai yang airnya dangkal dan mudah banjir. Kondisi ini menyebabkan lingkungan yang mendukung bagi penyebaran malaria, kolera, disentri, difteri, pes, dan berbagai penyakit menular lainnya.
Lingkungan yang buruk ini menyebabkan tingkat kematian yang sangat tinggi. Di awal abad 20, masyarakat Cina di Surabaya pernah memiliki tingkat kematian yang mencapai 5%. Pada tahun yang buruk, 1910, ada lebih dari 870 kematian di masyarakat Cina di Surabaya.
Sementara itu pendatang pribumi bergerak dari desa-desa untuk mencari pekerjaan kasar di kota. Pribumi saat itu tinggal di daerah pinggiran kota maupun kantong-kantong kosong kota. Kota-kota lama telah menjelma menjadi lingkungan yang padat dan kumuh, sehingga tidak banyak tempat yang baik bagi pendatang baru ini.
Tingkat kematian pribumi selalu berada di atas rata-rata tingkat kematian golongan masyarakat lain, dan bahkan pada tahun-tahun yang buruk tingkat kematiannya mencapai 17%, dengan jumlah kematian mencapai lebih dari 7.500 jiwa per tahun.
Masyarakat pribumi praktis menghuni kawasan-kawasan pinggiran atau lahan-lahan perca di tengah kota yang tidak mendapatkan layanan infrastruktur perkotaan mendasar seperti jalan, selokan, pembuangan limbah, pasokan air bersih.
Kampung-kampung kota cenderung tidak terlihat; berada di balik deretan gedung-gedung dan rumah-rumah besar, atau berdiri di atas bantaran sungai. Bahan-bahan yang digunakan sebagai material rumah seringkali mudah lapuk dan mudah terbakar.
Permasalahan hunian perkotaan menjadi masalah yang genting; karena berkembang dari persoalan keindahan menjadi ancaman epidemi. Wabah pes di Jawa merebak pada kurun waktu 1911 hingga 1939; secara keseluruhan, lebih dari 188.000 jiwa meninggal dunia akibat wabah yang disebarkan oleh tikus.
Tikus-tikus berkembang biak dan menyebar dengan cepat di hunian-hunian padat yang dibangun secara ala kadarnya: berongga, lembab, kotor, memungkinkan tikus dapat bersarang dan berkembang biak.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda bersikap ambigu dalam upayanya menghadapi persoalan permukiman rakyat. Peraturan pemerintah kolonial (Regeringsreglement, 1854) yang memberikan otonomi bagi desa atau kampung pribumi dalam mengatur diri mereka sendiri, sebenarnya menjadi pedang bermata dua bagi kaum pribumi.
Peraturan ini di satu sisi melindungi kaum pribumi dari penyerobotan tanah oleh kaum non-pribumi, tetapi peraturan ini juga membuat pemerintah kolonial tidak perlu memberikan fasilitas yang memadai di lingkungan kampung.
Meskipun secara teoritis orang Eropa tidak boleh membeli tanah-tanah pribumi, pada prakteknya masyarakat Eropa – termasuk perusahaan-perusahaan pengembang – dapat membebaskan tanah-tanah kampung dan dialihkan menjadi tanah-tanah Eropa untuk dijual di pasar formal.
Situasi ini membuat kondisi kampung-kampung kota cenderung menjadi semakin sempit, semakin padat, dan semakin buruk.
Tanah-tanah kampung berkurang secara drastis dari kota. Tanah kampung di Bandung pada kurun waktu 1906-1939 berkurang sekitar 17 hektar per tahun, menjadikan lahan hunian bagi masyarakat pribumi kian menipis dan mengakibatkan pemadatan kampung-kampung yang masih bertahan.
Masyarakat pribumi yang tidak mampu tinggal di dalam kota menjadi terlempar ke kampung-kampung kumuh di pinggiran kota, yang pada gilirannya juga terkurung kembali masuk ke dalam kota yang terus tumbuh melebar.
Gagasan dan Upaya Perbaikan Lingkungan
Krisis penataan lingkungan dan permukiman ini baru ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda setelah pembentukan undang-undang Desentralisasi tahun 1905, yang mengalihkan pengelolaan infrastruktur dan manajemen perkotaan kepada dewan-dewan kota.
Pauline K.M. van Roosmalen – dalam “The emergence of town planning as a discipline” (dalam buku For Profit and Prosperity: For Profit and Prosperity: The Contribution Made by Dutch Engineers to Public Works in Indonesia, 1800-2000 suntingan Wim Ravesteijn & Jan Kop (2013) - memaparkan bagaimana undang-undang Desentralisasi ini bergulir menjadi berbagai upaya-upaya teknis dan institusional bagi perencanaan kota dan permukiman.
Pembentukan dewan-dewan kota mendorong pembentukan sebuah forum yang mengkoordinasikan dan membawa “masalah-masalah lokal” ke pemerintah pusat. Forum tersebut dinamakan Vereniging voor Locale Belangen (VLB).
Sejak 1912 VLB mengadakan pertemuan-pertemuan membahas persoalan permukiman dan perumahan rakyat, berbagai upaya peningkatan fasilitas kota, merekomendasikan pembentukan komite perencanaan kota, serta melakukan lobi ke pemerintah pusat agar memberikan perhatian dan pendanaan bagi perbaikan-perbaikan lingkungan dan fasilitas publik.
Kehadiran VLB memungkinkan suara kepentingan dan saran perbaikan, terutama dari tokoh-tokoh berpengaruh, disampaikan dan ditindaklanjuti.
Penulis: Setiadi Sopandi
Editor: Lilin Rosa Santi