tirto.id - Belakangan, arsitek-arsitek Indonesia berkesempatan tampil sebagai pihak yang berada di balik pembangunan berbagai fasilitas publik ternama. Mereka turut menentukan wajah infrastruktur dan ruang publik yang baru di Jakarta, Bandung, Surabaya, Banyuwangi, Tulang Bawang Barat, Labuan Bajo, hingga rencana-rencana pembangunan gedung pemerintahan di ibukota yang baru. Citra fasilitas publik dan infrastruktur yang kaku, standar, membosankan, kian memudar digantikan dengan fasilitas bersolek yang merebut perhatian, tidak kalah dari mal dan tempat rekreasi. Masyarakat kini mulai menganggap peran profesi arsitek sebagai agen kreatif yang membuat sebuah fasilitas publik menjadi indah berkilau dan ramah.
Peran Arsitek dari Masa ke Masa
Arsitek sering dianggap sebagai sebuah profesi yang elitis, yang layanannya terbatas pada masyarakat kelas atas dan korporasi. Keterlibatan arsitek dalam proyek-proyek fasilitas publik pada masa silam lebih banyak terwakilkan oleh nama biro konsultan atau biro teknik. Bahkan pada tahun 1970an hingga 1980an, banyak gedung tinggi di Jakarta dikerjakan oleh arsitek-arsitek asing dan Indonesia, tetapi biasanya nama-nama mereka tidak dikenali. Kehadiran sosok arsitek – Yori Antar, Andra Matin, hingga Ridwan Kamil - di tengah masyarakat terasa sebagai sebuah hal yang segar dan baru.
Arsitek, salah satu profesi yang paling dikenal di Indonesia, juga masih belum sepenuhnya dipahami. Bahkan, arsitek baru dinyatakan sebagai sebuah profesi yang sah secara hukum di Indonesia pada tahun 2017 silam. Melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2017 tentang arsitek, praktek dan disiplin arsitektur di Indonesia akhirnya diakui. Pengakuan ini datang dengan perjuangan panjang dari para arsitek dengan menentukan batas tegas profesinya. Berbeda dengan - misalnya - insinyur, desainer interior, kontraktor. Sebelumnya, arsitek hanya dianggap hanya salah satu varian jasa konsultasi konstruksi.
Profesi arsitek juga pernah dikenali sebagai “tukang gambar” rumah mewah, yang ahli menata tampilan luar dan dalam bangunan beserta aksesoris estetiknya, tetapi tunduk pada selera pelanggannya. Arsitektur juga sering bersinggungan dengan kesenian dan humaniora sehingga lazim dianggap sebagai bagian dari profesi seni rupa atau kerja budaya.
Sejarah profesi arsitek di Indonesia justru diawali dari pekerjaan-pekerjaan “keras” yang diadakan oleh Burgelijke Openbarre Werken (BOW), yaitu jawatan pekerjaan umum kolonial Hindia Belanda. Tugas BOW saat itu adalah menyelenggarakan perencanaan dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas seperti jalan, bendungan, jembatan, pengairan, pelabuhan, berbagai fasilitas teknik hingga gedung-gedung pemerintahan. Awalnya keberadaan arsitek di jawatan ini tidak dibedakan dari insinyur bangunan yang bertanggungjawab mulai dari tahap perencanaan hingga pembangunan.
Menjelang akhir abad 19, peran arsitek mulai dirasakan untuk menghasilkan gedung-gedung yang lebih indah. BOW akhirnya membagi beban tanggung jawab perencanaan ke unit kerja baru, bagian arsitektur. Maka dari itu arsitek-arsitek pertama di Indonesia adalah para insinyur pegawai negeri. Menjamurnya pembangunan kantor-kantor di kota-kota Hindia Belanda juga memicu kehadiran biro-biro arsitektur dan insinyur swasta yang menangani perancangan hingga pembangunan gedung, termasuk melakukan pengadaan – perakitan dan impor - peralatan, bahan bangunan, dan berbagai kelengkapannya.
Kedua jenis layanan arsitek di awal abad 20 masih relatif terbatas pada gedung-gedung megah. Sementara rumah-rumah rakyat kebanyakan, fasilitas sosial, dan bangunan peribadatan kaum non-Eropa kebanyakan masih direncanakan secara tradisional. Tetapi hal ini lambat laun juga mulai masuk ke dalam cakupan layanan arsitek. Arsitek-arsitek non-Eropa di Hindia Belanda mulai muncul berkat dibukanya sekolah pertukangan (Ambachtschool), penyelenggaraan ujian bagi arsitek-insinyur, dan sekolah tinggi keteknikan (Technische Hoogeschool di Bandung, yang merupakan cikal bakal Institut Teknologi Bandung) sejak tahun 1920. Arsitek Indonesia pertama yang mendapatkan pengakuan legal sebagai arsitek adalah Mas Aboekassan Atmodirono (1860-1920), yang juga merupakan salah satu pendiri Budi Utomo dan anggota lembaga legislatif kolonial, Volksraad.
Namun meningkatnya ketegangan antara Indonesia dengan Belanda atas perebutan Papua dan peralihan politik Indonesia ke Demokrasi Terpimpin (1959-1965), memberikan sebuah momentum baru bagi arsitek dan insinyur Indonesia. Dengan latar belakang sebagai arsitek-insinyur, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, mengembangkan visinya untuk menjadikan Jakarta sebagai mercusuar, komponen simbolik penting dalam upaya ‘nation building’ dengan memerintahkan pembangunan berbagai infrastruktur, monumen, dan gedung modern.
Berbagai penyelenggaraan acara dan proyek pembangunan – termasuk sayembara perancangan – digulirkan untuk membangun Jakarta. Selain arsitek dan insinyur asing yang dilibatkan, para arsitek, insinyur, dan perupa Indonesia mendapatkan kesempatan besar untuk berperan berkontribusi memberikan wajah baru bagi Jakarta dengan menghadirkan karya-karya monumental seperti Tugu Nasional, Masjid Istiqlal, Gedung CONEFO (sekarang Gedung MPR/ DPR RI), Monumen Dirgantara, Monumen Selamat Datang, dan lain sebagainya.
Praktik arsitektur dan keinsinyuran masa ini diiringi dengan wacana patriotik untuk membawa pesan mengenai kehadiran dan kedaulatan bangsa-negara Indonesia baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Maka dari itu, tokoh seperti Roosseno Soerjohadikoesoemo (1908-1996), Sutami (1928-1980), atau Friedrich Silaban (1912-1984) mendapatkan tempat yang terhormat dalam ingatan masyarakat Indonesia.
Perkembangan Peran Arsitek
Dalam perkembangannya, arsitek Indonesia juga melayani berbagai kebutuhan manusia secara individual, komunal, kelembagaan, maupun masyarakat umum. Arsitek juga berperan tidak hanya dalam perancangan dan pembangunan gedung-gedung tetapi juga dalam inisiatif terlembaga seperti perencanaan, pelestarian, pengembangan, atau perbaikan kawasan perkotaan seperti perencanaan Pulo Mas (1961-1963), pembangunan Proyek Senen (1961-1978), Kampung Improvement Program (sejak 1969 hingga 1982), maupun upaya-upaya akar rumput seperti pendampingan yang dilakukan oleh Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999) bagi masyarakat marjinal di bantaran Sungai Code, Yogyakarta pada dekade 1980.
Peran-peran yang dijalankan arsitek di dalam proyek-proyek seperti ini sangat luas. Penugasan dalam proyek dapat menuntut pemahaman dalam bidang-bidang keilmuan di luar keteknikan, seperti pengetahuan mengenai demografi, ekonomi, sosiologi, maupun pendekatan etnografis dan antropologis. Tugas pendampingan komunitas juga memerlukan paduan keterampilan teknis dengan kepekaan sosial dan keberpihakan politik.
Tuntutan peran seperti ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi arsitek untuk berkiprah di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman geografis, sumber daya, budaya, dan kondisi ekonomi. Kita bisa dengan mudah membayangkan betapa berbedanya situasi merancang dan membangun infrastruktur bagi masyarakat pedesaan di sebuah pulau kecil terpencil dengan merancang sebuah gedung tinggi di tengah metropolitan seperti Jakarta.
Penugasan-penugasan seperti ini bisa jadi membuat praktik arsitektur keluar dari zona nyaman, memaksa arsitek berada langsung di lapangan ketimbang berada di studio. Situasi seperti itu tidak selalu merupakan kekurangan, karena justru dapat memberikan kesempatan baik bagi pemanfaatan tradisi membangun dan sumber daya setempat. Keunikan praktik berpotensi menjadikan arsitek Indonesia unik, berkarakter apabila disikapi dengan tepat.
Praktik-praktik arsitektur yang marjinal dan tidak lazim berpotensi berkembang menjadi spesialisasi dan bahkan dapat dikemas menjadi daya jual dalam bentuk langgam, ciri khas, maupun merek dagang. Namun tidak jarang kesempatan ini hanya diadopsi sebatas kulit karena tantangan mengembangkan support system industri konstruksi lokal memang tidak mudah. Banyak tradisi dan sumber daya alam lokal yang telah lama ditinggalkan, atau terancam punah karena tergerus cara membangun yang baru.
Saat ini, peradaban manusia sedang menghadapi krisis lingkungan hidup yang sangat berat. Kegiatan konstruksi dan berbagai aktivitas turutannya menyumbang hampir sekitar 40% dari seluruh emisi karbondioksida, yang bertanggung jawab besar terhadap perubahan iklim. Hal ini belum termasuk berbagai dampak lain yang biasa dipicu oleh aktivitas konstruksi: persoalan sampah, peningkatan panas lingkungan perkotaan, inefisiensi penggunaan energi dalam pengoperasian gedung, kualitas kesehatan ruang publik, isu kesetaraan bagi manusia dan makhluk hidup, dan lain sebagainya. Tanggung jawab ini tentunya juga menjadi beban moral berat yang dipikul profesi arsitek sebagai pihak yang sangat menentukan bagaimana sebuah lingkungan binaan diselenggarakan dan digunakan.
Berbagai standar, prasyarat, aturan terus dikembangkan untuk menghentikan dan mencegah praktik membangun yang tidak ramah lingkungan. Tetapi perangkat normatif hanya dapat membentuk satu pilar yang perlu didukung oleh pilar-pilar lainnya. Saat ini, arsitek Indonesia, dengan kesadaran ragam praktik, berpeluang menegakkan pilar-pilar praktek arsitektural yang lebih kontekstual dengan kondisi dan keragaman alam dan masyarakat Indonesia. Dengan kesempatan yang dinikmati para arsitek saat ini, semoga layanan arsitektur di Indonesia dapat menawarkan solusi nyata terhadap permasalahan lingkungan hidup yang dikembangkan dari kepekaan terhadap ragam potensi dan tantangan yang ada di Indonesia.
Penulis: Setiadi Sopandi
Editor: Lilin Rosa Santi