tirto.id - Jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo Subianto-Megawati Soekarnoputri Rabu siang ini (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi.
"Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin kepada reporter Tirto.
Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung 10 partai, sementara pada 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung oleh koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan.
Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra, partainya Prabowo, hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara. Ada kabar Gerindra mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian.
Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung. Penolakan terhadap Gerindra--dan partai oposisi lain seperti Demokrat dan PAN--dikemukakan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen.
Empat partai ini sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski sampai sekarang belum jelas siapa yang akan ditunjuk sang presiden. Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, misalnya, bilang selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri, sementara Taufiqulhadi, seorang fungsionaris Nasdem, bilang semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar.
Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri.
Ketua umum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga Hartarto, Surya Paloh, dan Suharso Monoarfa, bertemu pada Senin (22/7/2019) lalu dan menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar.
Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya "koalisi yang ada diperkuat saja."
Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra. Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet.
"Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden," katanya.
Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama sekjen partai, Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat. Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi.
"Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu," terang Ujang.
Dalam PAsal 427C ayat (1) huruf b UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi.
Sejauh ini Gerindra belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang.
"Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil," ujar Andre pertengahan Juli lalu.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar