tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang terdiri dari 101 lembaga, kolektif, dan organisasi mendukung Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. [PDF]
Koalisi menilai aturan ini sebagai langkah maju negara menghadirkan perlindungan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus. Permendikbud No 30 tahun 2021 ini merupakan langkah strategis yang menunjukkan komitmen negara dan perguruan tinggi dalam merespons tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Namun koalisi menyayangkan adanya penolakan dari organisasi keagamaan dan partai politik terhadap aturan yang dinilai penting untuk para korban kekerasan seksual tersebut.
“Terhadap kelompok yang menolak Permendikbud Ristek, tentu kami menyayangkan sikap-sikap tersebut karena cenderung mengesampingkan nasib atau kepentingan korban,” kata perwakilan KOMPAKS Naila Rizqi Zakiah, saat dihubungi, Rabu (10/11/2021).
Penolakan aturan itu datang dari Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam siaran pers, Senin (8/11/2021), Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta agar Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dicabut.
Diktilitbang PP Muhammadiyah menilai aturan tersebut bermasalah secara formil dan materil. Dari sisi materiil dinilai ada sejumlah poin yang bertentangan dengan norma dan nilai-nilai agama, di antaranya adalah soal adanya frasa “tanpa persetujuan korban” dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang dinilai mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent).”
Demikian pula dengan PKS yang juga mendesak agar aturan tersebut dicabut dengan alasan tak sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama.
Menurut Naila, alasan yang dijadikan dasar penolakan terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu klise, sama halnya dengan argumen terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kemudian menjadi penghambat dalam pembahasan.
“Aku rasa perdebatan soal moralitas agama kelompok tertentu ini harus dihentikan karena sudah menjauhkan korban dari upaya-upaya pemulihan dan memperoleh keadilan,” kata Naila yang juga merupakan Advocacy Officer Lintas Feminis Jakarta.
Sementara itu, Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center Defirentia One Muharomah menilai penolakan terhadap aturan ini karena adanya persepsi yang dilandasi pada prasangka negatif salah satunya bahwa aturan itu akan melegalkan perzinahan atau seks bebas.
“Padahal muatan peraturan ini lebih menekankan pada upaya pencegahan serta penanganan yang tepat oleh pihak kampus, bukan untuk pelegalan zina atau seks bebas sebagaimana dituduhkan. Faktanya, selama ini banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindak sebagaimana mestinya lantaran terdapat prasangka terhadap korban,” kata One, Rabu (10/11/2021).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz