Menuju konten utama

Perlukah Legalisasi Budaya Sabung Ayam Khas Bali, Tajen?

Apabila hendak diregulasi, pemerintah direkomendasikan untuk mengkaji dari aspek upacara dan budayanya.

Perlukah Legalisasi Budaya Sabung Ayam Khas Bali, Tajen?
Rapat DPRD Provinsi Bali bersama dengan perangkat daerah mengenai situasi keamanan dan ketertiban, Senin (23/06/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Pelaksanaan upacara keagamaan dan tradisi mengakar dengan begitu kuatnya di Bali, pulau yang kental dengan konsep kosmologi Hindu. Salah satu yang sering dijumpai adalah tabuh rah atau yang memiliki arti ‘pembayaran dengan darah’. Tabuh rah sendiri merupakan kegiatan ‘menaburkan’ darah binatang, terutama darah ayam, dengan cara memasangkan taji (pisau) di kaki kiri dua ekor ayam yang akan diadu.

Dalam bukunya yang berjudul “Tajen: Sabung Ayam Khas Bali dari Berbagai Perspektif”, Udayana (2017) menuliskan adanya toh (taruhan) berupa pis bolong (uang kepeng) dalam beberapa helat tajen. Pada awalnya pula, tabuh rah hanya memperbolehkan tiga saet (pasang) ayam saja yang berlaga, tetapi lantas mengalami penyimpangan seiring berjalannya waktu. Tidak lagi tiga saet, tidak disertai adu-aduan wajib (telur, kemiri, kelapa, kluwek, dan andel-andel), dan tidak lagi menggunakan pis bolong, melainkan diganti dengan rupiah.

Penyimpangan dan pergeseran nilai-nilai tabuh rah tersebut melahirkan tajen yang lebih dikenal sebagai judi sabung ayam khas Bali. Judi tersebut sudah tentu tidak disertai upakara, terdapat taruhan di dalamnya dengan harapan untuk meraih laba atau keuntungan, serta tanpa seizin dari aparat yang berwenang. Sayangnya, maraknya tajen sebagai judi malah membawa dampak buruk bagi masyarakat.

I Komang Alam Sutawan (37), seorang warga Banjar Songan di Kintamani menjadi korban meninggal dunia di arena tajen. Pada Sabtu (14/06/2025) pukul 17.00 WITA, Alam, yang saat itu menjadi panitia tajen, meregang nyawa usai terkena tikaman senjata tajam di bagian dada. Diketahui, Alam semula cekcok dengan Mangku Luwes—yang pada saat itu dalam pengaruh alkohol—di tengah arena tajen.

Setelah tragedi di arena tajen tersebut, lantas muncul wacana untuk melegalkan tajen melalui Peraturan Daerah (Perda). Wacana tersebut bergulir dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, yang tengah menyusun kajian mengenai regulasi yang mengatur mengenai tajen. Menurut Wakil Ketua II DPRD Bali, Ida Gede Komang Kresna Budi, tajen dapat dikategorikan ke dalam warisan tradisi Bali yang sudah eksis sejak zaman dahulu.

Dia menyebut masyarakat berharap adanya aturan hukum yang pasti mengenai tajen, sebab kegiatan tersebut mempunyai nilai-nilai tradisi dan keagamaan yang mengakar kuat dalam ajaran Hindu Bali, yakni tabuh rah. Selain itu, dia juga menyebut tajen memiliki potensi ekonomi bagi pedagang di sekitar lokasi.

Senada, Wakil Ketua I DPRD Provinsi Bali, I Wayan Disel Astawa, juga membuka peluang bagi tajen ke dalam Perda. Dia mengibaratkan kondisi tersebut mirip dengan kebijakan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966 hingga 1977, yang pernah membangun kasino di ibu kota negara.

“Mereka berani membangun kasino, kenapa di Bali tidak? Ada seperti ini, ada local genius kita dalam rangka tabuh rah dan sebagainya, atraksi budaya. Saya kira, kalau menurut pandangan saya, itu hal yang wajar menjadi usulan kita bersama,” ungkap Disel seusai Sidang Paripurna ke-19 DPRD Provinsi Bali di Kantor Gubernur Bali, Senin (23/06/2025).

Rapat DPRD Provinsi Bali

Rapat DPRD Provinsi Bali bersama dengan perangkat daerah mengenai situasi keamanan dan ketertiban, Senin (23/06/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

Menurut Disel, tajen yang berjalan secara ilegal berpotensi menimbulkan kriminalitas. Dia menyorot kasus kerusuhan yang merenggut nyawa di arena sabung ayam di Banjar Songan, Kintamani, beberapa waktu yang lalu. Dengan adanya legalisasi, politisi asal Partai Golkar tersebut menilai, pemerintah dapat mengawasi praktik tajen, serta memanfaatkannya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pembangunan Bali.

“Daripada seperti sekarang, tidak dilegalkan, tapi dia (sabung ayam) ada. Kalau kita legalkan akan mengurangi dampak-dampak kriminalitas yang terjadi. Lebih besar (manfaatnya) untuk pembangunan Bali juga,” ujarnya.

Namun, rencana legalisasi tajen masih harus dibicarakan dengan pemerintah pusat karena menyangkut ketentuan hukum pidana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan yang lebih tinggi. Saat ini pula, DPRD Provinsi Bali sedang melakukan kajian awal.

“Kita akan mohon izin ke pusat dulu karena di sana ada KUHP. Apakah memungkinkan atau tidak, akan kita buka dan bedah,” tutupnya.

Dilema Antara Hukum dan Budaya

Sebelum mencuatnya wacana legalisasi tajen, beberapa persoalan terkait dengan judi pernah muncul. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian yang diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 mengatur mengenai Pekan Olahraga Ketangkasan (Porkas) yang sering dianggap sebagai judi. Hal ini dikarenakan Porkas menggunakan sistem undian, yakni masyarakat membeli kupon berhadiah dan bertaruh pada 14 klub yang berkompetisi di Galatama.

Undian Porkas menuai banyak kontroversi karena dianggap sebagai judi yang dilegalkan. Usai reformasi, pemerintah tidak lagi melanjutkan ide penggalangan dana dengan undian dan menegakkan kembali undang-undang pidana perjudian. Namun, tentu saja, berbeda dengan Porkas, tajen merupakan bagian dari budaya Bali dalam konteks upacara adat. Tajen merupakan persembahan kepada bumi dalam bentuk percikan darah dari pertarungan yang dilakukan oleh dua ekor ayam jantan.

Menurut Pakar Hukum dari Universitas Udayana (Unud), Made Gde Subha Karma Resen, Bali sudah memiliki Perda yang berhubungan dengan perlindungan kebudayaan, bahkan terdapat undang-undang yang mengatur mengenai kebudayaan. Oleh sebab itu, budaya, termasuk tajen, memang perlu dilestarikan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

“Tentu saja, kita mengenal konstitusi sebagai landasan konstitusional kita. Di Pasal 18B, konstitusi kita juga menjamin budaya, sepanjang dia masih ada. Di sana ada rekognisi terbatas, pengakuan bahwa budaya itu ada, itu pun harus dilestarikan, dilindungi,” ucap Karma kepada Tirto, Jumat (27/06/2025).

Ilustrasi Sabung Ayam

Ilustrasi Sabung Ayam. foto/istockphoto

Dalam pembentukan Perda pun, Undang-Undang Pemerintahan Daerah memperbolehkan local wisdom atau muatan lokal untuk dimasukkan ke dalam Perda. Hal ini termasuk tajen yang merupakan salah satu muatan lokal dari Provinsi Bali. Namun, apabila tajen tersebut mengandung unsur judi, maka hal tersebut bertentangan dengan undang-undang sehingga tidak diperkenankan.

“Jika ada unsur permainan, spekulasi, kemudian ada mendapatkan keuntungan dari spekulasi, itu termasuk judi. Karena undang-undangnya belum direvisi, aturan yang lebih tinggi itu belum pernah direvisi, tidak memungkinkan untuk dilakukan seperti itu (melegalkan tajen yang memiliki unsur judi). Jadi, keberadaan tajen itu biarlah dia menjadi budaya,” jelasnya.

Jikalau tajen hendak dilegalisasi, pemerintah perlu memperhatikan tiga sistem hukum yang saling berkaitan, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Melihat banyaknya tajen yang ditimpali dengan persoalan judi, Karma menilai diperlukan penegasan secara substansi mengenai kapan tajen dinyatakan sebagai judi dan kapan sebagai budaya. Dengan kata lain, pemerintah memberikan ruang batasan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

“Jangan sampai nanti ada orang upacara adat, kebetulan ada ayam yang bertarung, justru ditangkap aparat penegak hukum. Atau ketika ada pertarungan ayam, terus ada unsur-unsur memamerkan uang dan sebagainya seperti judi, justru enggak ditangkap,” tegasnya.

Tajen juga dianggap menciptakan nilai ekonomi karena terbentuk kerumunan, terutama apabila terdapat unsur judi. Namun, Karma mengatakan peran negara dalam situasi tersebut adalah menciptakan nilai ekonomi yang memberikan nilai positif. Sebab, ekonomi yang dihasilkan dari suatu tindakan yang “abu-abu” merupakan hal yang negatif.

“Kemudian, di satu sisi, terdapat dilema. Segala hal yang bersifat kompetisi, itu bisa menjadi judi. Peristiwa atau tindakan berjudi itu hampir terjadi di segala lini, mulai dari sepak bola, tinju, basket, hampir semua olahraga-olahraga yang resmi mengandung unsur judi,” jelas Karma.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menanggapi legalisasi tentang tajen dari sisi sastra dan agama. Mereka menggarisbawahi isi dari Manawa Dharmasastra atau yang dikenal sebagai Manusmṛti (Hukum Manu), yakni kitab suci Hindu yang berisi himpunan aturan dan ajaran tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, etika, dan tata krama. Dari kitab tersebut, tercantum bahwa tajen dalam konteks judi adalah perbuatan terlarang. Dalam epos Ramayana dan Mahabharata pun, perjudian menjadi sumber dari kehancuran suatu pihak atau peradaban.

“Mengenai melegalkan tajen dalam konteks tradisi Bali, yaitu tajen yang disebut sebagai tabuh rah, itu merupakan ritual budaya. Perlu dipertahankan, itu juga ada dalam sastra Yadnya Prakerti Siwa Tattwa Purana. Itu kaitannya dengan upacara Bhuta Yadnya (ritual yang ditujukan untuk makhluk halus),” ungkap Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak, ketika dihubungi Tirto, Rabu (25/06/2025).

Kenak menyebut tajen berkaitan dengan upacara yang disebut mecaru (membuat caru untuk Bhuta Kala). Dalam upacara mecaru yang biasanya dilakukan orang Bali, terdapat nyambleh atau persembahan hewan dengan menggunakan darah ayam yang dipotong. Pada tingkatan yang lebih besar, seperti panca sanak, biasanya diadakan adu ayam tanpa taruhan untuk menyucikan suatu areal tertentu dengan darah ayam yang tertumpah.

“Kalau tradisi budaya, sudah berlangsung secara turun temurun, sudah ada dan sudah berlangsung. Namun, kadang-kadang ada juga pelanggaran, kadang-kadang dipakai taruhan. Kalau sudah taruhan uang, itu sudah judi,” tegasnya.

Dari pandangan PHDI, Kenak mengungkap tajen dalam perspektif tradisi tidak perlu dibuatkan Perda. Hal tersebut dikarenakan tradisi tabuh rah sudah berjalan semenjak zaman dahulu kala, utamanya saat upacara agama dan ritual agama Hindu. Namun, apabila hendak diregulasi, pemerintah dapat mengkaji dari aspek upacara dan budayanya.

“Budaya itu sudah terjadi turun temurun dari perspektif tradisi Bali. Mungkin dari sisi budaya mengenai jumlah ayam yang diadu, jenis ayam yang diadu, dalam upacara apa. Jadinya, itu diatur. Itu saja. Namun, sepertinya masyarakat sudah paham itu, sudah merupakan tradisi turun temurun, tanpa dikomando,” pungkas Kenak.

Legalisasi Tajen Bukan Perkara Sederhana

Gubernur Bali, Wayan Koster, sempat membuka suara mengenai wacana legalisasi tajen di Bali sewaktu menghadiri Pesta Kesenian Bali (PKB) di Taman Werdhi Budaya, Denpasar, Sabtu (21/06/2025). Dengan tegas, dia menolak narasi tersebut, sebab bukan merupakan hal sederhana dan harus dikaji secara matang terlebih dahulu.

“Jangan. Harus dikaji itu,” ungkapnya dengan singkat.

Sedikit berbeda dengan Koster, Kepala Biro (Karo) Operasional Polda Bali, Kombes Pol. Soelistijono, mengatakan Polda Bali tidak keberatan dengan rencana pembentukan Perda mengenai tajen tersebut, tetapi tetap akan memproses tindak pidana perjudian sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Kalau bicara tajen terkait dengan tradisi, monggo (silakan). Kalau di situ dibuat perjudian, tetap kita proses. Judinya sesuai dengan Pasal 303 KUHP tentang Tindak Pidana Perjudian, yang kita lakukan penindakan itu kalau dibawa ke perjudian,” ucapnya ketika berada di Gedung DPRD Provinsi Bali usai rapat, Senin (23/06/2025) sore.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud), Yohanes Usfunan, mengatakan Perda mengenai tajen yang mengandung unsur perjudian tidak dapat diwujudkan karena sudah terdapat produk hukum yang melarang perjudian, misalnya undang-undang. Namun, sebagai atraksi budaya, tajen masih dapat diselenggarakan.

Di hadapan anggota DPRD Provinsi Bali, Yohanes mengatakan peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Apabila tajen hendak dimasukkan ke dalam Perda, maka hal tersebut berarti harus mengubah peraturan yang berada di atas.

“Atraksi budaya sepanjang tidak ada unsur-unsur itu (perjudian), boleh. Pasti pun kajiannya harus diarahkan untuk atraksi-atraksi budaya. Atraksi budaya yang tidak menilai taruhan, kalau ada taruhan sudah judi jadinya,” imbuh Yohanes di Gedung DPRD Provinsi Bali, Senin (23/06/2025).

Baca juga artikel terkait BUDAYA atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News Plus
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Farida Susanty