tirto.id - Perubahan pola konsumsi masyarakat membuat para peritel harus mengubah strategi bisnis sepanjang 2019. Salah satu contohnya PT Hero Supermarket Tbk (HERO), yang menutup beberapa gerai supermarket dan fokus mengembangkan gerai kecantikan dan perabotan.
Ekonom dari Samuel Sekuritas Lana Soelastianingsih mengatakan banyak perubahan perilaku masyarakat dalam spending behavior. Misalnya, masyarakat cenderung membeli saat perlu sesuatu atau lebih sedikit.
“Padahal, bisnis supermarket maupun konsep gerai besar lain berharap pembelian partai besar dari masyarakat misalnya kebutuhan belanja bulanan, bukan harian,” jelas Lana.
Tak hanya itu, masyarakat cenderung berbelanja daring karena banyak kelebihan yang ditawarkan, dari kemudahan hingga harga lebih murah.
“Bagi konsumen dan masyarakat ini tentu lebih enak. Waktu yang disediakan untuk berbelanja di pusat belanja konvensional bisa digunakan untuk kegiatan lain dan cara belanja beralih ke sistem online,” jelasnya.
Fenomena dan tantangan seperti ini yang sekarang dihadapi pebisnis maupun perusahaan ritel. Tidak hanya di Indonesia tapi juga terjadi di berbagai negara seperti di AS, penjualan Walmart menurun.
“Jadi harus ada yang berbeda dari perusahaan ritel melakukan pembenahan bisnis. Space atau lahan harus diperkecil agar biaya sewa tidak terlalu besar,” paparnya.
“Big market saat ini sudah tidak diperlukan lagi,” imbuh Lana.
Menekan Biaya Operasional
Lana menambahkan pembenahan mesti dilakukan dari dalam perusahaan ritel seperti menekan biaya operasional. Tantangan ini akan terus terjadi selama gaya hidup masyarakat masih seperti sekarang.
Lana menilai tekanan bakal mereda sampai ada pola konsumsi masyarakat yang berubah lagi. “Jadi sekarang semuanya harus bersiap berbenah, downsizing atau perampingan,” kata dia.
Beberapa peritel memang berupaya melakukan efisiensi agar bisa bertahan.
Dari penelusuran Tirto, HERO mencatatkan pengurangan karyawan paling besar dalam sembilan bulan pertama 2019, yakni 2.880 karyawan. Per akhir September 2019, totalnya sampai 10.854 karyawan dari sebelumnya 13.743 karyawan pada akhir 2018.
Perusahaan yang menaungi gerai Hypermart dan Foodmart, yaitu PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), juga memangkas 234 karyawan. Saat ini jumlah karyawannya 9.063 orang dari sebelumnya 9.297 orang. Jumlah gerai MPPA berkurang dari 230 gerai menjadi 218 gerai.
PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) juga mengurangi toko menjadi 102 gerai sepanjang Januari-September 2019. Meski demikian, jumlah karyawan masih bertambah menjadi 909 karyawan.
Upaya Menghadapi Anomali
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan penutupan gerai masih dilakukan oleh sejumlah peritel hingga 2020. Mereka harus melakukan efisiensi terkait perubahan pola konsumsi masyarakat.
“Masih akan ada pengaturan-pengaturan, efisiensi. Jadi penutupan toko itu lebih kepada efisiensi karena mengikuti perubahan anomali yang sedang dilakukan perusahaan ritel itu, relokasi dan sebagainya,” kata Ketua Umum Aprindo Roy Mandey di Jakarta, seperti dilansir dari Antara.
Roy menyebut hampir semua perusahaan ritel, terutama anggota Aprindo, tengah melakukan daur ulang bisnis agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Akibat anomali ini, ia mengaku pertumbuhan bisnis ritel melambat menjadi hanya sekitar 5,07 persen tahun ini, jauh di bawah level yang seharusnya bisa mencapai 12-14 persen.
“Dengan pengaturan-pengaturan bisnis model atau menjadikan toko ritel ukurannya jadi lebih kecil, pemilihan produk yang sesuai kemauan konsumen, itu semua bagian dari anomali itu,” kata dia.
Roy menuturkan pertumbuhan bisnis ritel yang rendah itu berasal dari pelambatan konsumsi, bukan daya beli. Ia menilai masyarakat masih memiliki daya beli tinggi, terlebih jika dilihat dari masih ramai pusat perbelanjaan atau kuliner.
“Masyarakat masih punya uang, membelanjakan uang masih kuat, tapi mereka memindahkan uang yang tadinya untuk berbelanja ke kuliner, gaya hidup atau leisure (hiburan),” jelas Roy.
Permintaan domestik memang menunjukkan penurunan yang tercermin dari melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan penjualan ritel.
Badan Pusat Statistik mencatat konsumsi rumah tangga penduduk Indonesia pada kuartal III-2019 melambat dengan pertumbuhan hanya 5,01 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 mencapai 5,17 persen secara tahunan.
Capaian itu merupakan laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Bank Indonesia juga menyebut penjualan ritel periode September 2019 hanya tumbuh 0,7 persen secara tahunan. Realisasi itu melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 1,1 persen dan menjadi laju terlemah sejak Juni 2019.
Secara kuartal, penjualan ritel triwulan III-2019 tumbuh 1,4 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal II-2019 yang tumbuh 4,2 persen secara tahunan. Koreksi penjualan ritel sangat signifikan jika dibandingkan triwulan III-2018 yang tumbuh 4,6 persen secara tahunan.
Bank sentral memperkirakan penjualan ritel dalam enam bulan mendatang (Maret 2020) masih dalam tren penurunan. Ini tercermin dari Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) enam bulan mendatang yang sebesar 137, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 150,2.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto meminta pengusaha retail dalam negeri untuk terus berinovasi agar bisa beradaptasi dengan pasar e-commerce yang tumbuh pesat. Kemendag akan mendorong retail masuk ke pasar digital karena ada pergeseran konsumen.
“Karena digital ini sangat penting, konsumen berubah budaya dalam membeli, tidak harus datang ke toko, tokonya tidak harus fisik. Jadi pasar online bisa dimanfaatkan secara maksimal,” kata Agus.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Gilang Ramadhan