tirto.id - Hubungan antara masyarakat dan usaha ritel rasanya tidak bisa dipisahkan sejak lama, baik itu bagi masyarakat di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Usaha menjadi jembatan utama penghubung antara produsen dengan konsumen.
Dilansir dari McKinsey, usaha ritel modern diperkirakan pertama kali muncul di Amerika Serikat tahun 1916 dengan nama Piggly Wiggly. Perusahaan tersebut mengklaim bahwa merekalah yang pertama menciptakan metode open shelves yang sampai saat ini banyak ditiru di seluruh dunia, di mana konsumen bisa mengambil barang secara langsung dengan terbuka.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai modern convenience store. Ada juga yang menyebutnya sebagai toko kelontong modern atau swalayan.
Di Indonesia, perkembangan usaha ritel sangatlah pesat. Bermula dari apa yang disebut sebagai toko kelontong atau warung, entitas kecil yang hanya menyajikan segilintir pilihan barang namun signifikan bagi kehidupan sehari-hari. Kemudian mengalami diversifikasi dan perluasan menjadi minimarket, supermarket, bahkan sampai hypermarket.
Menjamurnya Usaha Ritel
Studi Euromonitor yang dikutip oleh DataIndonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2022 jumlah usaha ritel dari berbagai jenis dan skala usaha mencapai 3,98 juta unit. Angka ini turun sebanyak 0,9% dari tahun sebelumnya (2021), yaitu sebanyak 4,02 juta unit.
Toko kelontong menjadi jenis usaha ritel yang paling banyak ada di Indonesia dengan komposisi 3,93 juta unit atau sekitar 98,78% dari total usaha ritel dari berbagai jenis yang ada. Meskipun begitu, jumlahnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Hal ini berbeda dengan supermarket dan minimarket yang mencatatkan pertambahan jumlah toko dengan tingkat pertumbuhan per tahun mencapai 5%.
Lebih lanjut, merujuk kepada laporan yang sama, meskipun jumlah toko berkurang, penjualan masih positif. Penjualan ritel di Indonesia tahun 2022 secara kumulatif tercatat mencapai USD100,4 miliar atau sekitar Rp1.526,9 triliun rupiah (asumsi kurs Rp15.200/USD). Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 8,6% dari tahun 2021.
Tahun ini, tren pertumbuhan positif itu pun berlanjut. Berdasarkan rilis survei ritel bulan Juni 2023 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) disebutkan bahwa penjualan ritel diproyeksi tumbuh positif yang tercermin dari Indeks Penjualan Riil yang naik 8% secara tahunan.
Tren positif tersebut tentunya disebabkan oleh naiknya pendapatan masyarakat yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan standar konsumsi produk.
Seperti diketahui, pada pertengahan tahun 2023 World Bank kembali mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas. Hal ini karena Ibu Pertiwi mampu membukukan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebesar USD4.783 atau dalam setahun penduduk Indonesia rata-rata mengantongi pendapatan sekitar Rp73 juta per tahun.
Capaian tersebut ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus positif dan stabil di kisaran 5% secara kuartalan.
Pada rilis pertumbuhan ekonomi kuartal II 2023, BI menyebutkan bahwa lapangan usaha yang menorehkan pertumbuhan paling signifikan adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta transportasi dan pergudangan. Ketiga industri tersebut masuk dalam ekosistem industri ritel.
Pesatnya pertumbuhan industri ritel juga tidak lepas dari usaha pelaku pasar yang ulet megembangkan jaringan. Beberapa nama besar seperti Alfamart, Indomaret, Alfamidi, Lotte Mart, Circle K, Famili Mart, Lawson, Transmart, Hero, dan Hari-Hari mungkin tidak asing di telinga kita. Mereka memilki brand identity yang mudah untuk diingat ketika pertama kali melihat logonya.
Diperkirakan selama kurang lebih dua dekade ke belakang, dominasi ritel di Indonesia dikuasai oleh dua kubu besar yang tidak pernah berjauhan, yaitu Indomaret dan Alfamart. Dari sisi pendapatan, keduanya saling bersaing dari tahun ke tahun.
Menurut laporan United States Department of Agriculture berjudul “Indonesia: Retail Foods” pada Juli 2023 menunjukkan bahwa pendapatan dari Alfamart dengan 16 ribu outlet yang dimilikinya pada tahun 2022 mencapai USD7,62 miliar, naik 40% dari tahun 2021. Sementara itu, Indomaret yang memiliki 4.000 outlet lebih banyak justru kalah tipis sebesar USD7,60 miliar, tumbuh sebesar 22,7%.
Bisnis minimarket di Indonesia tampaknya belum mencapai titik jenuh dalam pertumbuhan usahanya. Kenaikan pendapatan yang konsisten oleh raksasa minimarket tersebut selama lebih dari dua dekade ke belakang merupakan bukti nyata.
Melanjutkan Detak Jantung Warung
Walaupun merupakan pionir dalam usaha ritel, keberadaan warung tergerus setiap tahunnya karena kalah berkompetisi dengan peritel modern. Namun, bukan berarti detak jantungnya akan berhenti. Masih banyak peluang yang bisa digali dari toko kelontong konvensional.
Merujuk dari laporan Flourish Ventures tahun 2022, sejauh ini warung masih berkontribusi besar terhadap ekonomi dengan menghasilkan pendapatan sekitar USD180 miliar.
Berdasarkan hasil survei, hampir seluruh partisipan (98%) menyatakan mereka akan terus berbelanja di warung atau toko kelontong, di mana 71% di antaranya menganggap kehadiran warung adalah esensial untuk komunitas mereka.
Selain itu, mayoritas juga meyakini masih akan mengunjungi warung setiap harinya atau setidaknya 2-3 kali dalam seminggu. Selain warung, partisipan juga mengunjungi pasar tradisional (40%) dan supermarket (33%) untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hanya 10% yang berbelanja online.
Melihat pangsa pasar yang besar di seluruh Indonesia, serta kepercayaan konsumennya, rasanya hal yang dibutuhkan bagi warung agar berjaya kembali adalah upaya peningkatan produktivitas dan daya saingnya.
Salah satunya adalah melalui digitalisasi warung. Celah tersebut banyak dimanfaatkan oleh para perusahaan besar ataupun para investor untuk ikut serta mengembalikan kejayaan toko kelontong.
Beberapa contohnya adalah perusahaan dagang besar asal Jepang, Mitsui & Co yang membantu warung untuk memproses pemesanan makanan beku (frozen food) bekerja sama dengan Toko Pandai, sebuah startup yang bergerak di bidang pelayanan pembayaran.
Mitsui membantu para warung dengan menyediakan aplikasi pemesanan dan pengiriman makanan beku. Ada lebih dari 30 jenis makanan beku yang menjadi target dari Mitsui.
Anak perusahaan Amazon juga tertarik membiayai Lummo, startup yang membantu warung untuk pembukuan yang lebih baik. Melalui perantara para startup, warung kembali memiliki semangat untuk berkembang.
Shopee, sebagai raksasa e-commerce pun mulai melebarkan sayap dengan memberikan akses kepada warung untuk melakukan pembayaran pelayanan. E-commerce yang lain seperti Bukalapak juga mempromosikan pelayanan inventarisasi dan manajemen kepada warung.
Tidak hanya itu, beberapa tahun terakhir, Bukalapak dan Tokopedia berhasil mengembangkan “Mitra”, sebuah sarana yang menghubungkan warung dengan para penyedia produk, memberikan warung keleluasaan untuk menawarkan pelayanan digital seperti top-up mobile data, bayar listrik, dsb. Bukalapak saat ini menguasai sekitar 39% dari segmentasi warung digital.
Sirco juga tidak mau ketinggalan, mereka berhasil mengakuisisi Warung Pintar yang mempromosikan transformasi digital untuk warung atau toko kelontong konvesional.
Di samping banyaknya peluang dari para perusahaan digital, terdapat satu tantangan yang cukup sulit diselesaikan secara singkat, yaitu masih adanya keengganan dari pemilik warung untuk memperluas cakupan ekosistem. Seperti yang dikatakan oleh Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dilansir dari Rest of The World.
“Jalan masih panjang karena pada akhirnya, Anda masih perlu berbicara langsung dengan vendor kecil dan mengedukasi mereka tentang manfaat menggunakan aplikasi digital. Mungkin butuh waktu lama”
Pada akhirnya detak jantung dari warung atau toko kelontong konvensional masih memiliki kesempatan untuk bertahan di tengah persaingan usaha ritel yang segmentasinya sangat luas.
Utamanya persaingan dengan kehadiran minimarket yang kian menjamur di tengah kehidupan masyarakat urban. Kepercayaan masyarakat terhadap kehadiran warung serta munculnya era digitalisasi berkontribusi terhadap keberlangsungan dari berdirinya warung.
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas