tirto.id - Fika bersama ibunya tengah beristirahat di tangga kecil di depan Giant Ekspres yang berlokasi di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Ia mengaku baru saja berbelanja di supermarket tersebut meski tak terlihat sedang membawa barang belanjaan.
"Belanjaannya masih di dalam [Giant Ekspress], mas, sedang dibayar tante. Saya dan ibu keluar duluan, soalnya pegal juga kalau menunggu antrian," kata perempuan berusia 23 tahun ini kepada Tirto.
Fika mengaku diajak tantenya untuk berbelanja hari itu lantaran Giant Ekspres mengadakan diskon yang cukup besar, sekitar 5-30 persen. Ia baru tahu bahwa promosi diskon tersebut ada karena Giant Ekspres di Mampang ini mau tutup.
Pembeli lainnya, Utapia juga tak ketinggalan berbelanja di Giant Ekspres. Wanita berumur 50 tahunan ini mengaku sengaja berbelanja siang itu lantaran anaknya memberitahu bahwa Giant Ekspres sedang ada diskon.
"Saya belanja pakai voucher. Tadinya belum ingin saya pakai, cuma karena dikasih tahu sama anak kalau Giant mau tutup dan ada diskon, saya akhirnya kesini. Lumayan juga antriannya," katanya kepada Tirto sambil tersenyum.
Menurut pantauan Tirto, Giant Ekspres tersebut cukup ramai. Hingga pukul 11.00 WIB, warga maupun kendaraan pribadi tidak henti-hentinya keluar masuk supermarket milik Hero Group itu. Antrian pembeli yang mengular terlihat di empat meja kasir yang disediakan.
Hampir setiap pembeli membawa keranjang troli yang berisikan berbagai produk makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Sebagai catatan, gerai itu adalah satu dari enam gerai yang akan ditutup Hero Group pada 28 Juli 2019. Hero pun menggelar cuci gudang dengan mengadakan diskon besar-besaran.
Bisnis Makanan Tertekan
Giant - yang dalam Bahasa Indonesia berarti 'raksasa' - adalah salah satu jaringan ritel terbesar di Indonesia. Berasal dari negara tetangga Malaysia, jenama Giant sudah ada di Indonesia mulai 2002 dan berada di bawah bendera Hero Group atau PT Hero Supermarket Tbk.
Di Malaysia, Giant didirikan oleh Keluarga Teng pada 1944. Saat ini, kepemilikan Giant sudah berpindah tangan ke Dairy Farm International Holding Limited, selaku perusahaan ritel asal Hong Kong. Adapun, GCH Retail (Malaysia) Sdn. Bhd - anak usaha Dairy Farm - menjadi pengelola Giant di Malaysia saat ini. Berdasarkan laman resminya, jumlah gerai Giant di Malaysia hingga tulisan ini dimuat berjumlah 85 gerai.
Konsep Giant di Hero Group sendiri terbagi menjadi tiga segmen, yakni Giant Ekstra, Giant Ekspres dan Giant Mart. Untuk Giant Ekstra, format toko yang dipakai adalah hypermart yang menawarkan berbagai macam produk makanan dan kebutuhan sehari-hari dalam satu atap.
Sementara itu, Giant Ekspres menggunakan konsep supermarket. Adapun Giant Mart memakai konsep minimarket. Kedua konsep sama-sama menawarkan produk makanan dan kebutuhan sehari-hari ini, namun tidak selengkap dan seluas Giant Ekstra.
Hero juga memiliki gerai lainnya di bisnis makanan yakni Hero Supermarket. Untuk bisnis non-makanan, Hero mengelola Guardian Health & Beauty, dan gerai IKEA yang menawarkan produk furnitur. Namun dari seluruh gerai itu, Giant menjadi kendala terbesar bagi Hero Grup, terutama untuk supermarket dan hypermart.
Menurut direksi Hero Grup, kontribusi penjualan Giant rendah, dan kerugian yang ditimbulkan dari Giant juga terus meningkat. Namun, bisnis supermarket dengan merek Hero Supermarket justru berkontribusi positif bagi bisnis Hero Grup. Sebagai catatan, penjualan makanan Hero Group yang disumbang oleh lini bisnis Giant dan Hero Supermarket turun 5 persen pada 2018 menjadi Rp10,341 triliun.
Alhasil, Giant menjadi satu-satunya gerai yang terus dikurangi sampai dengan saat ini. Tahun 2018 lalu, jumlah gerai Giant menciut menjadi 142 gerai dari sebelumnya 166 gerai pada 2017. Gerai Ekspres menjadi gerai yang paling banyak ditutup. Sementara jumlah gerai Hero Supermarket masih 32 gerai.
"Kendala terbesar terdapat pada merek Giant, yang merupakan merek terkenal tetapi saat ini perlu dibangkitkan untuk mengimbangi preferensi pelanggan," kata Presiden Direktur Patrik Lindvall dalam siaran pers.
Sayangnya, kontribusi Giant terhadap bisnis Hero Grup tidak disebutkan secara rinci dalam laporan tahunan 2018. Namun yang pasti, pengurangan aset atau restrukturisasi menimbulkan biaya. Sepanjang 2018, perseroan mengeluarkan biaya restrukturisasi bisnis makanan sebesar Rp1,38 triliun.
"Ini jelas merupakan keputusan signifikan, tetapi perlu dilakukan untuk maju, bersih dari masalah masa lalu yang jika tidak diperbaiki akan terus menjadi hambatan pada kinerja keuangan di masa mendatang," tutur Patrik.
"Kami perlu berinvestasi pada toko-toko kami, meningkatkan daya saing, menurunkan beban biaya dan meningkatkan produktivitas, untuk memastikan bahwa kami memiliki struktur yang efektif dan efisien untuk melayani pelanggan dengan baik secara konsisten."
Gara-gara biaya restrukturisasi itu, Hero Group membukukan rugi bersih hingga Rp1,25 triliun atau naik enam kali lipat dari rugi bersih 2017 sebesar Rp191 miliar. Rapor merah ini berlanjut ke kuartal I/2019, Hero Group mencatatkan rugi bersih senilai Rp3,5 miliar.
Beruntung, bisnis Hero Grup di lini non-makanan seperti Guardian dan IKEA masih positif. Sepanjang 2018, penjualan dari bisnis non-makanan mencapai Rp2,63 triliun, naik 21 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp2,17 triliun.
Tantangan Besar
Bisnis supermarket dan hypermart memang sedang menghadapi tantangan yang berat. Tak hanya di Indonesia, Singapura juga sama. Tahun lalu, dua gerai Giant Hypermarket di negara itu berhenti beroperasi, dan satu gerai lagi menyusul pada kuartal I/2019.
Menurut Asosiasi Penguasaha Ritel Indonesia (Aprindo), perubahan pola belanja masyarakat menjadi salah satu penyebab utama bergugurannya gerai ritel modern, seperti supermarket atau hypermart.
Seperti dilansir Antara, Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan bahwa bergesernya perilaku konsumen dari yang biasanya memasak atau membeli makanan di rumah turut memengaruhi penurunan transaksi komoditas pangan, baik makanan dan minuman.
Selain itu, menjamurnya minimarket boleh jadi juga berdampak pada bisnis supermarket dan hypermart. Dalam laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat, penjualan makanan dari minimarket di Indonesia naik paling tinggi ketimbang supermarket dan hypermart.
Pada 2017, penjualan minimarket untuk makanan mencapai 10,38 miliar dolar AS, naik 66 persen dari 6,26 miliar dolar AS pada 2012. Sementara itu, hypermart turun 13 persen menjadi 2,81 miliar dolar AS, dan supermarket hanya naik 'tipis' 0,36 persen menjadi 5,45 miliar dolar AS.
Alhasil, lanjut Roy, gerai ritel dengan luasan medium sekitar 2.000-2.500 m2 menjadi lebih populer ketimbang supermarket atau hypermart yang memiliki luas sekitar 5.000 m2 atau lebih.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara