tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri menyamakan bahaya korupsi dengan bahaya komunis.
"Sama halnya dengan laten komunis, pengentasan laten korupsi jelas membutuhkan peran aktif dan konsistensi nasional seluruh eksponen bangsa dan negara agar penanganan kejahatan korupsi mulai hulu hingga hilir berjalan efektif, tepat, cepat, dan efisien," kata Firli, Kamis (30/9/2021).
Pernyataan itu bertepatan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Menurut dia, korupsi harus diperangi sampai akar-akarnya.
"Tidak ada kata lain, laten korupsi yang telah berurat akar di republik ini harus dibasmi tumpas mulai jantung hingga akar-akarnya sampai tuntas dan tidak berbekas," kata Firli.
Menurut dia, ada sejumlah pelajaran yang dapat digali dari peristiwa G30S ini.
"Salah satunya cara menyikapi bahayanya suatu laten yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, agama, budaya, moral dan etika, namun dianggap sebagai kultur atau budaya bangsa sehingga menjadi hal biasa dan menjadi kebiasaan di tengah masyarakat Indonesia," kata Firli.
Dalam peristiwa 30 September 1965 terdapat enam jenderal militer tewas dan satu perwira. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen D.I. Pandjaitan, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Mayjen R. Soeprapto, Brigjen Sutoyo Siswodihardjo, dan Lettu Pierre Tendean.
Setelah peristiwa pembunuhan jenderal itu terjadi tragedi pemusnahan simpatisan Partai Komunis Indonesia yang dianggap bertanggung jawab. Para simpatisan mengalami penahanan dan dibunuh tanpa didahului proses peradilan di bawah rezim Orde Baru.
Editor: Zakki Amali