Menuju konten utama

Peretasan Massal Para Pegiat Anti Korupsi Pengkritik TWK KPK

Terjadi peretasan pada waktu yang bersamaan terhadap para pegiat anti korupsi yang bersuara lantang soal TWK KPK.

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Para pembela 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) mengalami peretasan. Mereka berasal dari kalangan pegiat anti korupsi, aktivis sosial, hingga mantan komisioner.

Kejadian ini berawal ketika Indonesia Corruption Watch (ICW) menyelenggarakan diskusi bertajuk Menelisik Pelemahan KPK Melalui Pemberhentian 75 Pegawai pada 17 Mei 2021. Diskusi tersebut dihadiri oleh mantan Komisioner KPK: Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, Moch Jasin, Saut Situmorang, dan Agus Rahardjo; serta perwakilan dari ICW: Nisa Zonzoa, Kurnia Ramadhana, dan Tamima. Diskusi berlangsung melalui aplikasi Zoom.

Busyro Muqoddas mengatakan upaya peretasan sudah terjadi sebelum ia mengisi diskusi. Ia menerima panggilan telepon bertubi-tubi dari nomor tidak dikenal atau robocall. Menurutnya nomor yang mengganggunya memiliki kemiripan: angka di awal sama, yakni 0821, namun di belakang berbeda-beda secara berurutan.

“Barusan HP saya juga di-hack. Sejumlah teman mengalami kejadian sama menjelang webinar,” ujarnya saat diskusi.

Begitu juga dengan Bambang Widjojanto. Ia sampai terlambat menghadiri diskusi ICW lantaran ada pihak tak bertanggung jawab mengambil alih telepon genggamnya. Seperti Busyro, Bambang juga diberondong panggilan telepon.

“HP saya diganggu, sangat diganggu dan WA saya sekarang sudah hijack (diretas),” ujarnya.

Kepada reporter Tirto, Selasa (18/5/2021), Moch Jasin mengaku hanya mengalami gangguan sepanjang mengisi diskusi. Ketika ia mendapat giliran berbicara, tiba-tiba mikrofonnya berubah menjadi mode bisu dan tampilan layar tidak muncul. “Alhamdulillah ada gangguan sedikit tapi tidak sampai peretasan,” ujarnya.

Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan terdapat sembilan pola peretasan selama diskusi berjalan: dari mulai akun tak dikenal masuk dengan menggandakan nama pembicara dan dengan nama staf ICW, mendadak muncul foto dan video porno, dan mikrofon mendadak bisu dan video tetiba mati.

Semestinya dalam diskusi tersebut turut hadir mantan Komisioner KPK lain, Abraham Samad. Namun Samad gagal mengakses tautan yang diberikan panitia, diduga masih berkenaan dengan upaya peretasan.

Kemudian peretas berusaha memecah konsentrasi moderator bernama Nina dengan cara membajak akun ojek daringnya. Lalu delapan orang staf ICW mengalami pengambilan paksa akun WhatsApp; beberapa orang yang diretas diberondong panggilan telepon dari nomor Amerika Serikat dan nomor Telkomsel; akun surat elektronik dan Telegram milik para staf ICW juga coba diambil alih namun gagal.

ICW mengecam segala upaya kotor tersebut dan meminta aparat penegak hukum menindak mereka yang berupaya membatasi kerja-kerja kritis masyarakat.

“ICW menduga ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi. Pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital merupakan cara baru yang anti demokrasi,” ujar Wana dalam keterangan tertulis, Senin malam.

Selain ICW dan para eks komisioner KPK, peretasan juga dialami oleh peneliti Lokataru Fian Alaydrus pada hari dan jam yang sama dengan berlangsungnya diskusi ICW. Pukul 12.22 WIB, Fian baru menyadari bahwa ia tidak bisa mengakses akun WhatsApp. Muncul kotak informasi bahwa nomor Fian sudah tidak lagi terdaftar pada akun WhatsApp tersebut, nomornya telah digunakan pada perangkat lain.

Setelah mencari tahu, Fian melakukan log in ulang dan berhasil mengambil alih akunnya. Berselang 30 menit kemudian, Fian mengalami teror lain berupa berondongan panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenali.

“Bermunculan nomor Telkomsel 0821. Pola nomornya sama di depan dan beda di belakang. Dan itu berlangsung dari jam 1 hingga 3 sore,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.

Fian heran sebab ia bekerja di organisasi yang tidak memiliki fokus utama pada isu korupsi. Ia menduga menjadi korban salah sasaran. “Atau karena melihat Haris Azhar (Direktur Eksekutif Lokataru), karena dia di Youtubenya membahas KPK. Ini jadi kejanggalan,” ujar Fian.

Pelanggaran Hak Berpendapat

Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai peretasan yang menimpa sejumlah pegiat anti korupsi sebagai “pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.”

Kejadian ini sebenarnya bukan kali pertama. Amnesty International Indonesia mencatat beberapa kejadian sama: peretasan akun Twitter epidemiolog Pandu Riono lantaran mengkritik penanganan COVID-19 oleh pemerintah dan peretasan Tempo.co atas sikap kritisnya kepada pemerintah pada Agustus 2020, aktivis Ravio Patra yang kerap mengkritisi penanganan COVID-19 juga mengalami peretasan WhatsApp dan mesti berurusan dengan polisi pada April 2020.

Selama 2020, Amnesty mencatat 66 kasus serangan digital, memakan 86 korban, 30 di antaranya aktivis dan 19 akademisi.

Ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk berkomitmen melindungi serta menjadi penjaga kebebasan berekspresi warga. Selain itu juga meminta aparat penegak hukum mengusut kasus-kasus tersebut.

Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCCP. Hak tersebut juga dijamin di Konsitusi, yaitu pasal 28E dan 28F, serta pada Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Semua pelaku peretasan wajib ditangkap, diproses dengan adil dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Selasa.

Sulit Menertibkan Robocall

Menurut Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, robocall kerap digunakan dalam industri telemarketing, bertujuan untuk menyasar pemirsa dalam jumlah banyak. Aktivitas tersebut juga dikenal sebagai spamming.

Belakangan sudah banyak penjual aplikasi robocall dan bahkan masyarakat bisa mendapatkannya secara bebas unduh.

“Tidak mudah untuk menertibkannya [di Indonesia], terlebih kita dari segi regulasi selalu tertinggal dengan perkembangan teknologinya maupun modus-modus potensi kejahatannya,” ujar Ardi kepada reporter Tirto, Selasa.

Masyarakat yang menjadi target robocall diharapkan untuk tidak mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak terdaftar dalam kontak, serta melakukan pengaturan agar nomor-nomor tidak terkenal masuk dalam daftar spam.

“Upayakan ada pemasangan aplikasi berbayar seperti anti virus dan internet security yang mobile. Memang kalau mau aman, ya, harus keluar uang. Di era digital kita senantiasa harus tetap waspada dan tidak boleh lengah, terutama bila menerima panggilan telepon dari nomor-nomor prabayar,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TES WAWASAN KEBANGSAAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino