tirto.id - Harapan rakyat Laos untuk merasakan kemerdekaan sempat membuncah kala Perjanjian Perancis-Laos diteken di Jenewa pada 1953. Nyatanya harapan itu lenyap seketika. Laos harus menghadapi perang sipil.
Dalam perjanjian itu, Laos memperoleh kemerdekaan dari Perancis dan berhak memerintah dengan sistem monarki konstitusional. Akan tetapi persaingan antara kelompok komunis Pathet Lao dengan pemerintah Kerajaan Lao justru meruncing. Keduanya berebut kekuasaan hingga hampir dua dekade ke depan.
Pathet Lao adalah gerakan nasionalis-komunis yang berdiri pada 1950. Sebelum Perjanjian Jenewa diteken, Pathet Lao menyusun gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintah kolonial Perancis yang menjajah Laos sejak 1893.
Situasi bertambah rumit dengan kehadiran pasukan Vietnam Utara di wilayah tenggara Laos. Dalam Laos: War and Revolution (1970), Nina Adams dan Alfred McCoy menuturkan bahwa kehadiran pasukan Vietnam Utara di Laos bertujuan memastikan pasokan logistik dari Ho Chi Minh berlangsung lancar serta mendukung kelompok Pathet Lao.
Sebelumnya, pasukan Vietnam Utara melakukan upaya serupa untuk membantu Front Pembebasan Nasional (NLF) ketika konflik di Vietnam meletus. Front Pembebasan Nasional merupakan kelompok politik yang terdiri dari gerilyawan dan tentara komunis semasa Perang Vietnam.
Monarki Laos bukannya tanpa sikap. Sejak tahun 1954, mereka sudah berusaha menyingkirkan pengaruh militer dan ideologis Vietnam Utara. Terlepas dari kesepakatan apa pun, Vietnam Utara tak berniat meninggalkan sekutunya—termasuk Laos yang oleh Vietnam sudah dianggap saudara sedarah.
Tak ingin Laos terjerembab jauh dalam medan komunis, Amerika Serikat mengambil langkah.
Baca juga:Filipina Dikhawatirkan Jadi Medan Perang Baru Bagi ISIS
CIA mulai menjalankan operasi rahasia dengan cara merekrut tiga puluh ribu orang Laos yang kebanyakan berasal dari suku Hmong, Mien, dan Khmu. Pelatihan tersebut dipimpin oleh Vang Pao, seorang jenderal Angkatan Darat Kerajaan Lao. Bersama pasukan Thailand dan Kerajaan Lao, mereka berusaha menyingkirkan Pathet Lao yang didukung Tentara Rakyat Vietnam (PAVN) dan Front Pembebasan Nasional (NLF).
Kendati kelompok komunis Pathet Lao dan Kerajaan Lao adalah dua pemain utama perang sipil, AS dan Vietnam Utara pun saling unjuk gigi menyokong jagoan masing-masing.
Pada 1973, inisiatif damai mulai dirintis lewat Kesepakatan Damai Paris. Dalam kesepakatan itu, pihak Amerika Serikat harus menarik diri dari Laos, sementara Vietnam Utara tidak diwajibkan menarik pasukannya.
Antara 1974-1975, situasi Laos relatif stabil. Namun, setelah Perdana Menteri Souvanna Phouma diharuskan opname di Perancis akibat serangan jantung, gempa politik kembali mengguncang Laos.
Souvanna Phouma meninggalkan pemerintahannya yang dikuasai birokrat korup. Melihat kondisi itu, Souphanouvong (saudara kandung Souvanna Phouma yang pro-komunis) mengajukan proposal “Rekonstruksi Nasional” yang terdiri dari atas pemilihan umum bebas, penegakan demokrasi, penghormatan terhadap agama, serta kebijakan ekonomi yang konstruktif.
Di ibukota Vientiane demonstrasi besar pun pecah memprotes kerajaan dan kubu pendukungnya serta menuntut reformasi politik. Perlahan-lahan kelompok Pathet Lao mulai menduduki ibukota dan terus melancarkan tuntutan perubahan. Demi mencegah kerusuhan massa, Souvanna Phouma memberikan instruksi Pathet Lao tak perlu dilawan serta mempercayakan perubahan Souphanouvong yang lebih moderat.
Akhirnya kesepakatan diraih. Raja Savana Vatthana setuju untuk menyerahkan tampuk pemerintahan kepada kelompok komunis. Dengan demikian, kemenangan Pathet Lao meneruskan kemenangan kelompok komunis lainnya di kawasan Indocina (Kamboja dan Vietnam)
Pathet Lao (yang kemudian berganti nama jadi Front Rakyat Lao) mencanangkan reformasi menyeluruh di segala bidang. Mereka mengubah bentuk pemerintahan dari monarki konstitusional ke republik, kemudian mengganti nama negara menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos dengan Partai Revolusioner Rakyat Laos (LPRP) sebagai partai politik tunggal. Ekonomi ditata secara sosialis.
Selain itu Pathet Lao memutuskan hubungan ekonomi dengan semua negara tetangga, termasuk Cina di dalamnya dan menandatangani perjanjian bersama Hanoi. Perjanjian tersebut memungkinkan Vietnam menempatkan penasihat di jajaran pemerintahan dan mengirim pasukan militer ke dalam teritori Laos. Selama beberapa tahun, intervensi Vietnam terhadap Laos terbilang signifikan.
Akibat konflik berkepanjangan, Laos tak punya kesempatan untuk membangun infrastruktur ekonomi dan politik seperti halnya sebelum Perang Sipil. Perang Sipil sendiri telah menguras kas negara untuk membiayai operasional perang hingga merehabilitasi fasilitas umum.
Selama Perang Sipil berlangsung, jumlah korban diperkirakan menyentuh angka 200.000 jiwa.
Keterlibatan CIA dan Operasi Paramiliter
Fokus kebijakan pertahanan AS di Asia Tenggara pada tahun 1960an adalah melawan komunisme. Pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower sangat memprioritaskan kebijakan tersebut, sampai-sampai saat terjadi pergantian presiden ke John F. Kennedy, ia berpesan agar kebijakan itu diteruskan.
Keterlibatan komunis dalam Perang Sipil Laos memicu CIA untuk meluncurkan sebuah operasi di bawah komandonya secara langsung. Selama lebih dari 13 tahun, CIA mengarahkan paramiliter lokal yang berasal dari suku Hmong untuk melawan Pathet Lao beserta sekutunya dengan menyediakan pelatihan maupun persenjataan. Tujuannya satu: mencegah Laos jatuh ke tangan komunis.
Dengan merekrut etnis Hmong, CIA bertujuan melancarkan serangan gerilya; muncul dari hutan lalu menyerang kelompok komunis. Setelah beberapa keberhasilan diraih, Amerika mengubah rencana dengan melibatkan etnis Hmong dalam perang yang lebih konvensional. Menurut Kepala CIA di Laos Ted Shackley, perubahan peran Hmong bertujuan memaksa tentara Vietnam mengirimkan lebih banyak pasukan ke Laos. Dengan begitu, kekuatan tempur Vietnam Utara di kawasannya sendiri akan berkurang, mengingat Amerika Serikat juga melakukan operasi di sana.
Pada 1970, puluhan ribu personel paramiliter yang didukung CIA akhirnya diturunkan. Mereka mulai menekan Pathet Lao di jalur utara dan Vietnam di selatan. Besarnya operasi AS bisa dilihat dari anggaran 3,1 miliar dolar per tahun untuk wilayah Laos saja. Jumlah bom yang dijatuhkan AS di Laos pun mengalahkan jumlah bom yang dijatuhkan di Jerman dan Jepang saat Perang Dunia II. Ketika kampanye militer AS berakhir pada 1973, sepersepuluh populasi Laos tewas.
Baca juga:
Namun, CIA tetap bangga dengan pencapaiannya di Laos. Direktur Pusat Intelijen (DCI) Richards Helms mengatakan bahwa CIA telah melakukan pekerjaan luar biasa yang dihasilkan dari tenaga kerja berkualitas tinggi dan di tengah kondisi serba sulit dan berbahaya. Menurut Richard, operasi di Laos adalah “operasi besar untuk CIA.”
Dalam A Great Place to Have a War (2017), Joshua Kurlantzick menggambarkan Laos sebagai desa berlumpur dengan sebagian besar penduduk yang mencari nafkah dari bercocok tanam. Walaupun demikian, para pemimpin Amerika melihat Laos sebagai benteng pertahanan. Atau dalam definisi Kurlantzick “sebuah negara di mana Amerika Serikat dapat membangun pagar untuk mencegah penyebaran komunisme dari China, Vietnam, lalu ke Thailand, India, dan sekitarnya.”
Perang Sipil Laos juga mengubah pola-pola operasi CIA, dari badan spionase menjadi kekuatan paramiliter yang mampu merekrut suku-suku setempat, menyediakan logistik, mempersenjatai pasukan, hingga melakukan pertempuran dengan kelompok komunis Pathet Lao. Kurlantzick menyatakan bahwa semenjak terlibat konflik di Laos, orientasi CIA perlahan bergeser ke operasi paramiliter. Setelah serangan teroris pada September 2001, CIA kembali mengintensifkan "Metode Laos".
Tak hanya itu, CIA pun melakukan segala upaya untuk mengaburkan keterlibatan pemerintah AS dalam operasi militer di Laos. Para petinggi CIA berdalih bahwa Perang Sipil merupakan urusan internal Laos dan Amerika tak ikut campur.
Namun tak bisa ditampik bahwa Perang Sipil di Laos merupakan operasi rahasia terbesar AS sebelum perang di Afghanistan pada 2001.
Laos merupakan momentum faktual bagi AS. Setelahnya, AS kerap melanjutkan operasi dengan gaya serupa di kawasan Amerika Tengah dan Timur Tengah. Bagi AS, penggunaan operasi semacam ini dapat meminimalisir korban warga Amerika dan melindunginya dari investigasi yang sewaktu-waktu bisa dilakukan Kongres. Kendati Pathet Lao menang, CIA memandang operasi di Laos sebagai keberhasilan.
Namun, bagi Laos, Perang Sipil selama dua dekade menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf