tirto.id - Ketua Tim Peneliti RISED dan Ekonom Universitas Airlangga, Rumayya Batubara menilai "perang" promo dari aplikator dalam masa uji coba aturan baru tarif ojek online (ojol) dapat mengganggu evaluasi pemerintah.
Pasalnya, kata Rumayya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bisa memperoleh gambaran yang keliru perihal animo masyarakat terhadap tarif baru ojek online.
“Pemerintah jangan sampai membaca animo yang salah. Jadi tidak ada perubahan tarif karena tertahan oleh praktek promo jor-joran, bahkan mungkin bisa lebih murah dibandingkan tarif lama,” kata dia.
Rumayya menyatakan hal ini dalam diskusi publik bertajuk “Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif” di Hotel JS Luwansa, Jakarta pada Senin (20/5/2019).
Rumayya berpendapat demikian lantaran pemberlakuan Kepmenhub Nomor 348 Tahun 2019, yang memuat aturan baru tarif ojek online, belum mendapatkan respons positif dari masyarakat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh RISED, sekitar 75 persen konsumen menolak penerapan tarif baru ojek online. Menurut Rumayya, banyak konsumen menilai penerapan tarif baru ojek online membuat pengeluaran mereka meningkat.
Berdasarkan peraturan Kemenhub, dia mencatat terdapat penambahan pengeluaran konsumen sebesar Rp4.000-Rp 11.000/hari di Zona I, Rp6.000-Rp15.000/hari di Zona II, dan Rp5.000-Rp12.000/hari di Zona III.
Hal ini menjadi persoalan lantaran sekitar 75,2 persen konsumen jasa ojek online diperkirakan dari kalangan berpendapatan menengah ke bawah.
“47,6 persen kelompok konsumen hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp4.000-Rp 5.000/hari. 27,4 persen lagi tidak mau menambah pengeluaran sama sekali,” ucap Rumayya.
Di acara yang sama, pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin mengingatkan perang harga bisa terjadi melalui tarif promo dan diskon yang diberikan oleh aplikator secara agresif.
Oleh karena itu, dia menyarankan Kemenhub menetapkan larangan agar promo yang dikeluarkan tidak keluar dari batas tarif yang telah ditentukan.
Pemberlakuan aturan ini dapat direalisasikan melalui penyempurnaan aturan yang ada. Selain itu, kata dia, penyempurnaan aturan perlu dilakukan melalui koordinasi Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan KPPU.
Meskipun selama ini Kemenhub telah melibatkan aplikator dan pengemudi, Muslich menilai pada kondisi seperti ini elemen masyarakat juga perlu didengar pendapatnya.
“Perlu ada mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online,” ucap Muslich.
“Kemenhub harusnya bisa menerapkan beleid pembatasan promo di aturan ojek online, seperti yang diterapkan di Permenhub soal taksi online,” tambahnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom