Menuju konten utama
Kesehatan Mental

Peran Krusial Orang Tua Menjaga Kesehatan Mental Anak

Isu kesehatan mental pada anak dan remaja cenderung tenggelam di bawah permasalahan orang dewasa. Sudah waktunya kita menjadi lebih peka dan waspada.

Peran Krusial Orang Tua Menjaga Kesehatan Mental Anak
Header Diajeng Kesehatan Mental Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Tiga kali dalam seminggu, Rosandri (45) membawa anaknya, Danesh (8), untuk menjalani terapi okupasi di sebuah RS swasta di Solo.

"Sejak usia 2 tahunan saya menyadari anak saya berbeda, belum bisa bicara (speech delay), tidak bisa fokus, dan tidak mau menginjak pasir,” cerita Rosandri.

Rosandri memutuskan untuk mengajak Danesh tes psikologi. Hasilnya, Danesh didiagnosis menderita ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder).

Kini, terhitung sudah empat tahun Danesh menelateni terapi okupasi, wicara, dan sensori integrasi.

"Perkembangannya bagus, sudah bisa ngomong, fokusnya juga sudah membaik. Namun tetap terus diterapi," ungkap Rosandri.

Seiring itu, Rosandri menyadari bahwa proses terapi Danesh tak selalu mulus, "Ikut terapi juga perlu waiting list 9 bulan karena ternyata tempat terapinya penuh."

Sementara Deva (42) mendapati anaknya, Mika (9), berubah jadi pendiam sejak dia bercerai dengan suaminya.

Perubahan ini bermula dari sikap Mika yang susah makan, menolak mengerjakan PR, dan acap kali tidak mau masuk sekolah.

"Setelah hampir sebulan jadi pendiam, kemudian saya bawa ke psikolog untuk konseling,” ujar Deva, yang merasa beruntung tinggal di dekat rumah orang tuanya sehingga terbantu dalam urusan pengasuhan anak sementara ia bekerja.

Tidak bisa dimungkiri, isu seputar masalah kesehatan mental selama ini lebih sering disorot pada kalangan dewasa.

Kasus yang terjadi pada anak-anak, seperti disampaikan Yofhi Rio Nicha Dewi, M.Psi., Psikolog, memang cenderung terlewat alias ‘tidak terlihat’.

“Padahal, masalah kesehatan mental pada anak sering kali termanifestasi dalam kesulitan belajar maupun penyakit fisik seperti halnya pada orang dewasa,” papar co-founderBiro Layanan Psikologi Kawan Bicara ini.

Menurut data yang dihimpun UNICEF, pada 2019, secara global diperkirakan satu dari tujuh anak dan remaja usia 10-19 tahun mengalami gangguan kesehatan mental, atau kira-kira sejumlah 166 juta jiwa.

Sayangnya, data populasi anak dan remaja dengan gangguan kesehatan mental berskala nasional di Indonesia belum tersedia lengkap.

Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia, satu dari tiga remaja memiliki masalah kesehatan mental atau setara dengan 15,5 juta jiwa remaja.

Sebagai gambaran lainnya, dalam studi tahun 2024 yang melibatkan 358 ibu-ibu dari murid kelas 3-6 SD di Surabaya, terungkap sebanyak 15,1 persen responden memiliki anak dengan gejala-gejala ADHD.

Dari sekian jenis gangguan kesehatan mental yang ada, ADHD cukup sering ditemui pada anak. Mereka dengan ADHD cenderung kesulitan dalam mengerucutkan fokus, berkonsentrasi, dan mengikuti arahan, serta mudah bosan dengan tugas.

Gangguan kecemasan juga kerap dilaporkan pada demografi usia muda. Kondisi ini membuat anak-anak merespons situasi tertentu dengan ketakutan. Tanda-tanda yang bisa dilihat langsung meliputi sikap gugup, detak jantung cepat, dan berkeringat.

Ada pula disruptive behaviour disorder atau gangguan perilaku disruptif. Gangguan ini membuat anak cenderung sulit menjalin kerja sama atau mematuhi peraturan.

Selain itu, masih ada gangguan spektrum autisme, yang mencakup tantangan sosial, komunikasi, dan perilaku.

Anak-anak dengan autisme kerap mengalami kebingungan dalam memproses pikirannya dan kesulitan memahami dunia di sekitar mereka. Autisme bisa berlangsung pada tahap ringan, berat, atau di antara keduanya. Diagnosis dini diperlukan untuk penanganan lebih cepat.

Sulit untuk menyimpulkan penyebab tunggal dari masalah kesehatan mental anak. Meski begitu, kebanyakan faktornya berkaitan dengan unsur-unsur genetik dan lingkungan.

“Kompetensi akademik, hubungan keluarga, dan stres pengasuhan dari orang tua juga berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental,” tambah Yofhi, “Ada pula faktor parental lain, seperti situasi sosioekonomi keluarga.”

Bahkan, kondisi ibu yang stres saat mengandung dapat dikaitkan dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental anak kelak.

Terlebih dari itu semua, Yofhi menekankan, kondisi kesehatan mental juga bisa dipengaruhi oleh tingkat stres yang dirasakan oleh si anak sendiri.

Orang tua berperan besar dalam mengenali gangguan kesehatan mental pada anak.

“Salah satu caranya adalah memerhatikan perubahan pada aspek kognitif, emosional, perilaku, maupun sosial. Utamanya apabila terjadi regresi, yaitu kemunduran kemampuan pada anak,” papar Yofhi.

Yofhi mencontohkan tentang seorang anak yang awalnya nyaman tidur sendirian di kamarnya. Namun, beberapa waktu kemudian, dia mulai menjadi penakut, minta ditemani setiap pergi ke mana-mana, mengalami mimpi buruk terus-menerus, atau mengompol.

“Itu bisa menjadi penanda kepada orang tua dalam melihat perubahan anak.”

Mengidentifikasi masalah kesehatan mental pada anak dan remaja merupakan upaya yang menantang, bahkan bagi penyedia layanan kesehatan atau dokter.

Sebab, melansir situs WebMD, anak-anak masih mengalami banyak dinamika perubahan, baik terkait fisik, mental, dan emosional.

Masih banyak juga yang mereka pelajari dari lingkungan sekitar yang membuat karakter mereka terus berkembang.

Selain itu, setiap anak tentunya memiliki kecepatan berbeda sampai mencapai tingkat kematangan atau kedewasaan masing-masing.

Artinya, penting untuk mengerti betul bagaimana anak menjalani keseharian di lingkup keluarga, sekolah, dan lingkaran pertemanan, agar kondisi kesehatan mentalnya dapat dipahami.

Anak-anak yang terindikasi memiliki gejala-gejala gangguan kesehatan mental biasanya diarahkan untuk berkonsultasi pada psikiater dan psikolog.

Psikiater dan psikolog akan mengevaluasi anak dengan wawancara khusus dan pemanfaatan assessment tools lainnya.

Obat-obatan, psikoterapi (konseling) bersama pakar, atau terapi kreatif semacam art therapy dan play therapy biasanya akan digunakan untuk mengatasi permasalahan mental pada anak.

Pada akhirnya, perkembangan kesehatan mental anak sangat dipengaruhi oleh peran serta orang tua. Bahkan, sebelum kelahiran anak, orang tua perlu proaktif menjaga kesehatan.

“Pertama, memantau kesehatan fisik dan mental ibu pada saat hamil melalui ANC (antenatal care) yang saat ini telah dijalankan di fasilitas kesehatan,” ujar Yofhi, “Pemerintah sudah memberikan buku KIA yang didalamnya terdapat materi mulai dari ibu hamil sampai anak lolos Posyandu.”

Selanjutnya adalah monitoring dan pelacakan perkembangan normatif anak, salah satu caranya dengan berpegang pada arahan yang sudah dipaparkan di buku KIA.

“Di dalam buku KIA sudah terdapat stimulasi yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anak,” terang Yofhi.

Orang tua juga perlu belajar mengupayakan teknik pengasuhan yang adaptif terhadap anak.

Selain itu, menjaga hubungan suami-istri agar senantiasa harmonis tentu sangat penting karena relasi orang tua yang baik turut memengaruhi self-esteem anak.

Terakhir, Yofhi berpesan, “Berikan dukungan yang baik terhadap anak, terlepas anak memiliki gangguan perkembangan atau tidak.”

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya & Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Daria Rani Gumulya & Sekar Kinasih
Editor: Sekar Kinasih