tirto.id - Virus HIV telah ada pada tubuh Paige Rawl sejak ia masih dalam kandungan. Kepada Vox, perempuan asal Indianapolis, Amerika Serikat tersebut mengatakan bahwa ibunya tertular HIV dari sang ayah yang kini telah pergi meninggalkan mereka berdua.
Saat masuk sekolah, Paige tak menyadari bahwa penderita HIV rentan mendapat stigma. Ia pun tak ragu menceritakan penyakitnya pada seorang kawan ketika dirinya berusia 12 tahun. Kabar Paige menyandang HIV lantas menyebar ke seluruh sekolah. Sejak itu, teman-temannya mengucilkan dan mengejek dirinya.
Mereka tak lagi mau menggunakan pancuran air minum yang dipakai oleh Paige sebab takut tertular. Paige bahkan mengalami kekerasan fisik dan verbal: dipukul dan menerima julukan kasar.
Paige adalah satu dari jutaan orang di dunia yang mengidap HIV. UNAIDS menyebutkan bahwa ada 36,7 orang di dunia hidup dengan HIV tahun 2016. Sebanyak 34,5 juta penyandang HIV adalah orang dewasa sedangkan jumlah anak yang memiliki HIV mencapai 2,1 juta jiwa.
Menurut badan amal Inggris khusus bidang HIV dan AIDS Avert, faktor seperti kurang akuratnya pengetahuan soal penularan HIV membuat mereka yang mengidap HIV rentan memperoleh stigma. Selain itu, ada kepercayaan bahwa penyandang HIV pantas dihukum sebab penyakit yang ia derita muncul akibat perbuatan tak terpuji.
Lebih lanjut, Avert juga mengatakan seks menjadi perbincangan yang tabu di beberapa wilayah dan hal ini membuat bahasan tentang HIV tak berkembang. Faktor lain seperti anggapan bahwa penyandang HIV tak berumur panjang turut memunculkan stigma.
Stigma yang dimaksudkan di sini merujuk pada prasangka, perilaku negatif, dan kekerasan terhadap orang dengan HIV. Avert menjelaskan bahwa manifestasi stigma tersebut bisa bermacam-macam, mulai dari larangan mendapatkan pelayanan kesehatan, dijauhi keluarga serta teman, hingga berkurangnya kesempatan bekerja atau mengenyam pendidikan.
Di Indonesia, UNAIDS mencatat ada 290.000 orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2005. Angka ini meningkat pada tahun 2010 menjadi 510.000 jiwa dan tahun 2016 jumlahnya mencapai 620.000 orang. Serupa dengan penyandang HIV di belahan dunia lain, mereka juga rentan mengalami stigmatisasi dari keluarga dan lingkungan.
Hal ini tampak pada riset yang dilakukan oleh Zahroh Shaluhiyah, dkk dari Universitas Diponegoro. Stigmatisasi seperti tidak bersedia makan makanan yang dijual oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA), tidak membolehkan anaknya bermain dengan anak penyandang HIV, tak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHA, dan menolak tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS masih ditemukan.
Di lingkup keluarga, perilaku takut tidur dengan ODHA, tak bersedia menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan makanan, serta enggan duduk dekat dengan orang HIV pun diterima oleh penyandang HIV. Adanya stigmatisasi pada ODHA lebih lanjut tak jarang membuat mereka termarginalkan.
Melawan Stigma dengan Olahraga
Relawan organisasi Rumah Cemara Eklas Tesa mengatakan bahwa masyarakat kerap menilai ODHA tak bisa melakukan apapun alias tak produktif. Hal ini dikarenakan HIV yang menginfeksi sel darah putih membuat kekebalan tubuh menurun sehingga ODHA mudah terkena berbagai macam penyakit.
Bagi laki-laki yang terdiagnosis positif HIV sejak tahun 2007 tersebut, pandangan ini keliru sebab ODHA juga bisa berkegiatan seperti orang kebanyakan. Ia, misalnya, bermain futsal sejak kecil dan bekerja di salon tato juga organisasi Rumah Cemara. Tahun 2011, Tesa bahkan terpilih mewakili Indonesia dalam kejuaraan Homeless World Cup di Perancis dan berhasil membuat Indonesia berada di peringkat ke-6 dari 48 negara.
Gara-gara hal ini, ia berniat mengubah pola pikir yang berkembang di masyarakat dengan mengikuti full marathon sejauh 42 km dalam ajang Jakarta Marathon 2018 bulan Oktober mendatang. Di depan hadirin acara Konferensi Pers #SayaBerani Jakarta Marathon 2018 pada Kamis (20/0/2018), Tesa mengatakan bahwa informasi yang benar berperan penting untuk mengikis stigma masyarakat terhadap ODHA.
“Yang beredar di masyarakat tentang orang HIV itu orang diam di kasur, enggak bisa ngapa-ngapain. Tinggal kulit, tulang, sama kentut. Tapi, ketika hal itu diputarbalikkan, ini ada saya, saya mengikuti kelas pelari Jakarta Marathon 42 km, apa yang terjadi? Mereka bakal sedikitnya terbuka, mereka akan mencari tahu apa itu HIV,” katanya.
Selain Tesa, ada tiga ODHA lain yang juga berpartisipasi dalam ajang Jakarta Marathon 2018, salah satunya Ade Fikran. Kepada Tirto, Fikran mengatakan bahwa ODHA sering dipandang tak sehat dan sakit-sakitan. Makanya, ia berniat mengikuti half marathon agar bisa membuktikan bahwa ODHA dapat berprestasi dan bisa melakukan hal yang biasa dilakukan orang tanpa HIV.
Ia mengatakan bahwa latihan untuk ajang Jakarta Marathon 2018 berlangsung selama dua bulan. Baginya, kesulitan ketika latihan tidaklah datang dari kondisi kesehatan fisik melainkan waktu dan kebiasaan berolahraga.
“Saya kan bekerja di bidang sosial jadi waktu buat latihan kadang jadi hambatan. Selain itu, saya juga orangnya jarang berolahraga. Makanya pas awal latihan itu capek tapi seminggu, dua minggu, tiga minggu kemudian sudah terbiasa,” katanya.
Apa yang dikatakan Fikran diamini oleh pelatih Andri Yanto. Menurutnya, kebugaran dan kesehatan tubuh bukan masalah utama yang dihadapi para pelari saat berlatih. “Mungkin banyak di antara kita yang bertanya ‘Memang mereka bisa?’ Saya ngejelasin aja sedikit bahwa saya biasa menangani pelari kantoran dan saya bisa menarik kesimpulan bahwa ODHA ini jauh lebih bugar dibandingkan orang pada umumnya yang saya tangani sehari-hari,” katanya.
Alih-alih masalah kesehatan, Andri mengatakan bahwa waktu adalah problem terbesar sebab para pelari memiliki kesibukan lain seperti bekerja.
“Jangan dikira ODHA itu lunglai tak berdaya. Bahkan mereka jauh lebih dari perkiraan saya pada awalnya. Saya mau ngasih contoh Mas Tesa yang berlari 10 km dalam waktu 47 km. Apakah kita mampu [berlari] 10 km dalam waktu 47 menit?” ujarnya.
Editor: Maulida Sri Handayani