Menuju konten utama

Bersahabat Baik dengan HIV

AIDS atau HIV begitu mengerikan bagi banyak orang sehingga menjadi persoalan bagi pengidapnya. Pengalaman menunjukkan, bersikap tetap optimistis dan bersahabat dengan penyakit ini jadi pilihan baik bagi penderitanya.

Bersahabat Baik dengan HIV
Petugas kesehatan mengambil sampel darah seorang warga saat pemeriksaan HIV di Kampung nelayan, Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (1/12). Kegiatan pemeriksaan HIV tersebut dilakukan untuk mengetahui sejak dini penyebaran HIV/AIDS di kalangan nelayan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/foc/16.

tirto.id - Pada 1992, Nickelodeon membuat sebuah acara khusus di televisi, membahas pensiunnya Magic Johnson, pebasket legendaris AS. Di atas ketenarannya, Johnson memutuskan berhenti jadi atlet karena ingin fokus menjalani perawatan HIV yang diidapnya.

Dalam salah satu segmen, ada obrolannya dengan seorang bocah berpipi tembam yang begitu menyayat hati. Seorang bocah perempuan dengan kepang khas Afrika-Amerika menangis sesenggukan saat Johnson bertanya soal perasaan si bocah berumur 7 tahun itu terhadap statusnya sebagai orang dengan HIV-Aids alias ODHA.

“Aku… cuma… takut… orang-orang tak mau.. berteman denganku.” Suaranya nyaris hilang saat sampai pada kata ‘denganku’. “Aku mau seperti orang-orang normal,” kata bocah itu, dengan tangis yang semakin tersedu-sedu.

Johnson mendadak mengusap-usap punggung sang bocah. Sang legenda itu nampak terbawa emosional. “Tenang… tenang. Kau akan punya banyak teman kok,” katanya, berusaha menenangkan.

Di tahun itu, HIV memang dikenal sebagai momok. Orang-orang menyebutnya: penyakit terkutuk, karena tidak memiliki obat. Stigma buruk lengket lekat di kepala ODHA. Wajar, si bocah menangis terisak-isak.

Empat tahun setelahnya, bocah yang sudah berusia 11 tahun itu tampil lagi di televisi dan kali ini ia duduk berdua dengan Oprah Winfrey, dalam acara bincang-bincang paling populer.

Si bocah perempuan bercerita pada Oprah, “Saat aku lahir, aku sudah positif kena HIV. Waktu umur 5, tubuhku mulai menampakan gejala-gejala AIDS: jamur tumbuh dalam kepalaku, aku mengalami infeksi pembuluh darah, pneumonia, beberapa kali badanku membiru. Sampai waktu itu mereka (dokter) bilang, umurku enggak akan sampai delapan,” ia mengambil jeda. “Tapi sekarang aku baik-baik saja.”

“Tak ada yang pernah tahu kapan seseorang akan mati. Kau tahu, aku memang punya AIDS, tapi bisa saja aku mati besok karena tertabrak bus. Bukan karena penyakit ini. Maksudku, karena kita tak tahu, kenapa kita harus berdiam diri dan terus-terusan mengeluh tentang kesusahan hari ini.”

Pada 2013, CNN memutar ulang video bocah berpipi tembam yang diwawancarai Johnson, untuk dipertontonkan pada seorang wanita berumur 28 tahun yang mereka sebut sebagai simbol penyintas HIV-AIDS.

“Bagaimana perasaanmu menonton kembali acara itu? Apa orang-orang memperlakukanmu baik?” Tanya si pembawa acara.

“Baik, aku punya banyak teman dan diperlakukan sangat baik oleh keluargaku dan mereka. Tapi, aku tak bohong, kalau selama 17 tahun ini ada beberapa orang yang kurang paham (tentang HIV-AIDS) datang padaku dengan stigma-stigma mereka. Yang bisa kubilang, masa ini pasti jauh lebih baik karena semua obat-obat yang ditemukan untuk perawatan ODHA. Tapi stigma-stigma itu masih, ada. Ya, masih ada,” jawabnya.

Perempuan itu adalah Hydeia Broadbent, yang mengidap HIV sejak lahir. Namun, baru terdiagnosa ketika umurnya tiga tahun. Diduga, virus itu datang dari ibu kandung Hydeia yang membuangnya ketika bayi di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Nevada Selatan di Las Vegas. Sejak penyakit itu diketahui, orang tua angkat Hydeia, Patricia dan Loren Broadbent makin akrab dengan HIV-AIDS dan segala macam metode pengobatannya.

Salah satu penanganan paling mutakhir terhadap penderita HIV adalah terapi ARV, alias antiretroviral therapy, biasa disingkat jadi ART. Ia adalah serangkaian pengobatan yang akan mengontrol jumlah virus HIV dalam tubuh penderitanya. Terapi ini bisa membuat seorang HIV Positif tidak bisa menularkan virusnya pada orang lain. Namun, ART belum mampu membunuh HIV, bahkan tak bisa memusnahkan virus-virus yang telah mati. Dengan demikian kemungkinan virus-virus mati itu untuk hidup lagi pun masih ada.

Obat ARV umumnya dipakai secara gabungan. Tiga atau lebih ARV dari lebih satu golongan. Inilah yang disebut terapi kombinasi, alias ART. Terapi ini bekerja jauh lebih baik dibandingkan bila mengonsumsi satu obat ARV saja. Produsen ARV terus-menerus berupaya untuk membuat obatnya lebih mudah dipakai, dan sudah menggabungkan dua atau lebih jenis obat menjadi satu pil.

Pemakaian ARV juga berbeda-beda di setiap orang. Tergantung daya tahuan tubuh seseorang, dan kecocokannya dengan jenis ARV yang ada. Sejauh ini, ada lima jenis ARV yang dikenal di dunia. Mereka dipisahkan dari bagaimana obat ini menyela proses terbentuknya HIV di tubuh manusia. Di antaranya: nucleoside reverse transcriptase inhibitor, Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, Protease inhibitor, Entry inhibitor, dan Integrase inhibitor.

Kemampuan ART menyela proses HIV menggandakan diri di dalam tubuh, membuat seorang ibu bisa melahirkan anaknya atau pasangan melakukan hubungan badan tanpa tertular. Sehingga stigma tentang ODHA yang perlu dijauhi agar tak tertular ‘penyakit terkutuk’ bisa hilang di masyarakat.

Infografik Perlambat HIV Dengan ARV

HIV memang dikenal sebagai virus pembunuh paling berbahaya di dunia, sebab belum ditemukan penawarnya Menurut data WHO, HIV telah membunuh lebih dari 35 juta orang di dunia. Terakhir, 2015 lalu, 940 ribu sampai 1,3 juta orang di dunia meninggal karena HIV. Ada 36,7 juta orang hidup dengan HIV pada akhir 2015, dan 2,1 jutanya adalah orang yang baru diidentifikasi sebagai HIV positif.

Afrika menjadi tempat paling tinggi tingkat paparan HIV, dengan 25,6 juta orang hidup dengan HIV pada 2015. Dua pertiga penderita HIV terbaru di dunia datang dari Afrika. Belum ada obat untuk HIV, tapi kondisi penderitanya dapat mengontrol virus itu sehingga mereka dapat hidup sehat dan produktif. Hanya 54 persen orang yang tahu kalau mereka mengidap HIV.

Bahkan, awal Oktober lalu, datang kabar gembira lainnya dalam perkembangan pengobatan HIV-AIDS. Penelitian yang dilakukan lima universitas terkemuka di Inggris, berhasil membuat seorang pekerja sosial di sana yang mengidap penyakit ini, bebas dari HIV.

“Tes darah terakhirku dua minggu lalu tak menunjukkan adanya virus itu lagi,” katanya pada The Sunday Times.

Penelitian itu dilakukan ilmuwan dari Universitas Oxford, Univeristas Cambridge, Universitas Imperial College London, dan Universitas College London dan King’s College London.

Profesor Sarah Fidler, dari Imperial College London mengatakan, “Terapi ini khusus didesain untuk membersihkan virus HIV dalam tubuh. Sudah teruji di laboratorium, dan ada bukti bekerja baik pada tubuh manusia. Tapi ini masih awal, tes ini akan terus berlanjut lima tahun ke depan.”

Tes pada pria itu juga akan berakhir pada 2018 nanti. Apakah HIV benar-benar sudah hilang dari tubuhnya? Masih harus ditunggu hasilnya.

Hydeia “sang bocah” yang kini berusia 31 tahun juga tahu kabar itu. Lewat situs pribadinya, Hydeia masih terus menjalankan misinya sebagai aktivis HIV-AIDS untuk tetap menginspirasi orang-orang dan menyebarkan pesan bahwa pengidap penyakit ini masih punya harapan.

“HIV memang telah membunuh banyak sekali orang. Dan faktanya, manusia memang takut mati. Sehingga stigma-stigma dibentuk sebagai tameng pertama agar tidak tertular penyakit ini. Tapi, yang harusnya kita lakukan adalah berani datang ke dokter untuk minta tes HIV-AIDS. Tetaplah menjaga diri jika negatif, tapi mulailah melakukan perawatan jika positif. Teknologi sudah makin canggih masa ini. Kau tidak akan mati karena HIV kalau cepat mengetahuinya, dan mengambil tindakan. Kau akan mati karenanya jika kau takut untuk tes,” kata Hydeia saat diwawancarai CNN.

Jawaban itu keluar dari mulut orang yang seumur hidupnya berkawan dengan AIDS. Metode ART atau metode lainnya hanya sebagai cara untuk tetap bersahabat dengan HIV.

Baca juga artikel terkait AIDS atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra