tirto.id - Jakarta, 13 Juni 2025 — Krisis iklim, atau lebih sering dikenal sebagai perubahan iklim, tidak serta merta adil.
Peninggalan dari sejarah panjang kolonialisme, ditambah dengan model ekonomi yang mengutamakan ekstraktivisme, semakin memperlebar kesenjangan yang sudah ada.
Tak jarang orang-orang dengan andil paling kecil dalam krisis iklim malah jauh lebih parah terdampak akibat kerusakan alam. Perempuan, dengan segala ragam identitasnya, adalah salah satu kelompok yang paling terdampak krisis iklim.
Perempuan adalah kelompok yang lebih cenderung bergantung kepada hasil pertanian dan sumber daya alam untuk penghidupan mereka, dan seringkali juga keluarga mereka.
Karena budaya patriarki juga, perempuan bertanggung jawab untuk menyediakan makanan dan air bersih untuk keluarga.
Di daerah terpinggirkan, kelangkaan air karena krisis iklim lebih membebani perempuan yang harus berjalan lebih jauh, memasuki daerah yang lebih rawan, hanya untuk mendapatkan air bersih untuk keluarganya.
Meski menjadi kelompok paling terdampak, perempuan acap kali disingkirkan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan mengenai iklim.
Kebijakan iklim pun menjadi tak sensitif gender. Misalnya, ketika bencana alam terjadi, perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penanggulangan bencana.
Akibatnya, banyak upaya adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim yang tak mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan atau malah memperparah kesenjangan.
Cerita serupa diutarakan oleh Iren Fatagur, perempuan adat Keerom dari FAMM Indonesia, “Ketika menyuarakan pendapat, saya pernah mendengar: perempuan jangan berbicara, lelaki sudah membuat keputusan.”

Namun, hambatan struktural dan budaya ini tak menghalangi banyak perempuan seperti Iren dan Asmania untuk melakukan inisiatif iklim dan menjadi tonggak perubahan untuk komunitasnya.
Asmania mengelola dan membentuk kelompok Perempuan Pulau Pari, yang menanam bakau untuk mencegah abrasi dan membersihkan pantai untuk pariwisata warga.
Farwiza Farhan, perempuan yang juga aktif dalam isu iklim, dari Yayasan HAkA berujar bahwa perempuan “harus menjadi perempuan keras kepala yang percaya bahwa perubahan itu milik kita”.
Ruang Setara dan Lestari, berlangsung pada 13-14 Juni 2025, merupakan inisiatif sekaligus ruang yang dipersembahkan oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) untuk memastikan cerita-cerita mengenai perempuan dalam krisis iklim ini tidak terlewatkan atau dilupakan.

Dirancang sebagai wadah kolaborasi antarorganisasi dan komunitas gender dan iklim untuk berkumpul, Ruang Setara dan Lestari tidak sekadar menghadirkan cerita dari serangkaian diskusi.
Kegiatan ini disemarakkan pula dengan Pameran Komunitas, pameran seni “Merawat Keresahan Bumi”, penayangan film “Mendadak Sinema”, panggung seni “Panggung Setara”, sampai rangkaian permainan interaktif dengan pengunjung seperti acara “Tur Tara Tari”.
Di Ruang Setara dan Lestari, Humanis menegaskan bahwa aksi iklim yang adil haruslah sensitif gender dan melibatkan seluruh pemangku hak, termasuk perempuan.
Berkolaborasi dengan lebih dari 20 organisasi dan komunitas yang bergerak di isu gender dan iklim, Ruang Setara dan Lestari hadir sebagai ruang alternatif untuk menggaungkan inisiatif dan aksi iklim yang sensitif gender dan tidak melupakan orang-orang yang selama ini terpinggirkan.

Masuk tirto.id







































