tirto.id - Bayi lahir hanya dengan pengetahuan bawaan akan rasa takut yang minim. Hal ini misalnya, terlihat saat bayi akan tanpa pikir panjang menjatuhkan dirinya ke lantai saat merangkak di tempat tidurnya.
Studi menunjukkan, rasa takut pada bayi muncul lewat pengalaman. Rasa takut mulai muncul saat anak dalam tahapan lebih memperhatikan penglihatan periferal mereka.
Anak kecil yang masih seperti spons, juga belajar mengenali bahaya dengan memperhatikan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang lain.
Namun, mengenal bahaya tidak cukup bagi anak kecil, karena perkembangan otaknya yang masih terus berkembang. Sehingga pada anak balita misalnya, ia tidak akan dapat menangani masalah dengan baik, walau ada rasa takut yang dapat menjadi peringatan baginya.
Untuk mengenali kecepatan mobil misalnya, anak kecil belum dapat membedakan kecepatan yang berbahaya dan bukan. Hal ini disebabkan, untuk menguasai kerja beberapa indera misalnya, penglihatan dan pendengaran, baru bisa dicapai saat anak mencapai usia 10 tahun.
Selain itu, perkembangan otak anak yang masih tumbuh, membuat perhatian anak mudah teralihkan. Hal ini membuat anak mudah lupa akan potensi bahaya.
Dalam mengatasi keterbatasan anak dalam menganalisa bahaya, orang tua diharapkan dapat mengajarkan anak mengasah kemampuan berpikir dan mengambil keputusan.
Hal yang tidak kalah penting dalam mengatasi risiko atau bahaya adalah dengan mengajarkan anak untuk mengajarkan kontrol diri dan emosi mereka sejak dini.
Sehingga dalam memberikan perlindungan, orang tua perlu meredam sifat protektif yang berlebihan.
Karena untuk mengenalkan risiko, anak hanya perlu diajarkan cara berpikir kritis sehingga mereka belajar mandiri dan mengambil keputusan, tanpa perlu ditakut-takuti yang dapat menghambat perkembangan diri mereka.
Hal ini juga ditegaskan Samantha Elsener, psikolog anak dan keluarga dari Brawijaya Clinic Kemang, mengatakan melatih anak untuk memahami risiko bisa dimulai sejak dini.
“Edukasi ini sudah bisa dikenalkan dan diterapkan sejak dini, bahkan sejak anak masih bayi. Sebagai contoh, saat anak mandi, kita bisa mengomunikasikan pada anak, ‘Wah airnya ini masih kepanasan ya, nak, kalau begini kamu bisa kepanasan dan kulit kamu bisa merah’."
"Dari sini anak juga bisa belajar body awareness. Saat mengajarkan anak untuk mengenali risiko,yang paling penting bagaimana kita menarasikannya, kenapa tidak boleh dan kenapa itu berbahaya untuknya. Jadi, anak juga bisa memahaminya,” paparnya.
Lebih lanjut, Samanta juga memberikan gambaran bahwa pada tahun pertama kehidupan, ketika anak mulai aktif dan mulai bereksplorasi, ada banyak risiko di depan mata. Contoh sederhananya, pada saat anak belajar berjalan, berlari, memanjat, melompat dan mengeksplorasi lingkungan, dalam proses belajarnya anak rentan terjatuh. Namun, ini merupakan hal normal dari perkembangan anak.
Sebagai anak yang masih sedikit pengalamannya, anak-anak juga merasa enggan mengambil risiko.
Anak-anak sadar diri dan takut dengan apa yang mungkin dipikirkan orang lain jika mereka mengambil risiko dan kemudian gagal. Kedua, anak lebih memilih untuk tetap berpegang pada keamanan dan kenyamanan dari rutinitas yang biasa sudah dilakukan ketimbang mencoba sesuatu yang baru.
Yang ketiga, anak-anak mudah kewalahan dan berpikir pada saat gagal akan membuat mereka merasa tidak berdaya. Dan, yang terakhir, mereka telah melihat orang dewasa dalam hidup yang bermain aman, selalu mengambil jalan yang paling sering dilalui, daripada mengambil risiko.
Melatih Anak Mengambil Risiko
Anak yang belajar mengambil risiko sejak dini, umumnya tumbuh menjadi orang dewasa yang sangat bisa menyesuaikan diri dan sukses.
Susan Davis, Ph.D. dan salah satu penulis buku, Membesarkan Anak yang Melambung: Panduan untuk Mengambil Risiko yang Sehat di Dunia yang Tidak Pasti, menegaskan kalau ada perbedaan yang signifikan antara tanggung jawab, risiko yang diperhitungkan dan keputusan yang sembrono dan impulsif.
Ia menjelaskan kalau risiko yang baik adalah tindakan, aktivitas, atau perilaku yang dipicu oleh pemikiran yang cermat, melibatkan 'lompatan' menuju batas keamanan dan bahaya. Ia juga menjelaskan bahwa ada perbedaan antara risiko positif dan risiko negatif.
Risiko positif menawarkan manfaat yang jelas, dapat diterima secara sosial, dan tidak menimbulkan konsekuensi yang parah. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai risiko positif seperti mempelajari keterampilan baru, mencari teman baru, menjelajah di taman bermain atau taman, mencoba makanan baru.
Sementara risiko negatif mungkin berbahaya bagi orang lain, tidak dapat diterima secara sosial, atau mungkin memiliki konsekuensi parah dengan keuntungan minimal. Sebagai contoh, ketika anak main di tengah jalan, melompat dari pohon, mengabaikan peraturan baik rumah atau di sekolah, termasuk melakukan eksperimen dengan narkoba, alkohol, dan zat berbahaya lainnya.
Mengajarkan anak untuk bisa menentukan dan bisa membedakan antara risiko positif atau negatif tentu saja diperlukan strategi khusus.
Salah satunya bisa dimulai dengan mengajarkan anak-anak untuk bertanya pada diri sendiri serangkaian lima pertanyaan sederhana saat mencoba menentukan apakah risiko yang mereka pertimbangkan layak diambil.
Yaitu, apakah risiko ini akan menyebabkan cedera pada diri saya atau orang lain? Apakah mengambil risiko ini akan menyakiti perasaan seseorang atau menyebabkan rasa sakit emosional? Apakah saya akan mendapat masalah jika orang tua atau guru saya mengetahui hal ini? Apakah saya punya alasan yang baik untuk mengambil risiko ini? Apa hal terburuk yang bisa terjadi jika saya gagal?
Setelah mendapatkan jawabannya, anak-anak diharapkan bisa mengetahui alasan di balik mengambil keputusan dan secara emosional mampu mengatasi konsekuensi yang bisa muncul.
Jika anak-anak dapat memahami konsep ini, mereka juga akan belajar ketika mampu mengambil risiko mereka akan pengalaman yang bisa bermanfaat di kemudian hari.
Konsekuensi Jangka Panjang Jika Anak Menghindari Risiko
Tanpa bimbingan, anak-anak mungkin tidak bisa memahami artinya pentingnya mengambil risiko. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang serius.
Hal inilah yang ditegaskan Samanta, “Kalau tidak diajarkan pentingnya mengambil risiko, anak jadi tidak punya skill untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, hidup penuh ketakutan dan selalu merasa cemas. Anak juga tentu saja jadi tidak mandiri, kurang percaya diri, dia juga bisa merasa bahwa dia tidak dipercaya oleh orang tuanya sendiri. Dan ini sangat berat buat mereka. Ketika orang tua tidak anak, bagaimana mereka bisa survive?”.
Samanta menambahkan, kunci penting melatih anak untuk bisa memahami dan berani mengambil risiko berkaitan erat dengan kepercayaan yang diberikan orang tua.
Ketika anak-anak percaya bahwa orang tua percaya pada kemampuan mereka untuk menilai risiko dan mengelola hasil, mereka akan mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi dan merasa dipercaya.
Mengajarkan anak risiko juga membuat anak dapat mengukur kemampuan dirinya sendiri, termasuk self control.
Ketika anak belajar jalan dan berlari, anak perlu tahu apa saja risikonya jika berlari sehingga ia bisa lebih hati-hati. Dari sana, anak bisa belajar mengukur mana risiko yang ringan dan mana yang risiko yang lebih besar.
Karena hanya dengan mengenal risiko, mengalami kegagalan, manusia akan tahu cara untuk bangkit dalam hidup.
“Ada penelitian yang mengatakan bahwa anak yang tinggal di medan perang, komposisi otaknya mirip dengan anak yang terus dimarahi di rumahnya. Ini sama halnya, anak-anak yang selalu disediakan oleh orang tua, apa aja ada, begitu dia dihadapkan masalah akhirnya tidak punya daya juang. Anak-anak tidak terbangun resiliensinya dengan baik. Makanya, orang tua harus pintar mengatur komposisinya supaya anak bisa tumbuh dan berkembang seutuhnya,” tukas Samanta.
Orang tua perlu memberikan kesempatan, mendampingi dan mengawasi anak, alih-alih tidak memberikan kepercayaan pada anak.
Harapannya, pada saat mereka mencapai usia dewasa, ia akan mampu menghadapi kehidupan secara lebih rasional dan memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi