tirto.id - Membaca, menurut penemuan benda kuno di Irak dan Suriah berumur sekitar 4000 tahun, mengungkapkan bahwa awalnya membaca adalah kegiatan yang cukup berisik. Kata yang ditemukan pada kata "membaca" secara harfiah berarti "berteriak" atau "mendengarkan". Hanya pada beberapa tujuan, membaca disebutkan "melihat" - yang artinya membacanya dalam hati atau dengan diam.
Namun, membaca dengan lantang tidak umum di budaya modern. Padahal membaca dengan lantang memiliki banyak manfaat bagi semua umur. Terlebih pada anak yang masih dalam masa pertumbuhan.
Kemudian Jim Trelease dalam bukunya Read Aloud Handbook (1979 ), memperkenalkan sebuah metode membacakan buku cerita dengan suara lantang kepada anak-anak.
Setelah buku tersebut terbit, riset yang ingin membuktikan bahwa membacakan dengan suara lantang untuk anak kecil dapat mendorong perkembangan bahasa dan keterampilan literasi dini, mulai banyak dilakukan.
Kemampuan literasi dini adalah keterampilan atau pengetahuan yang dikembangkan oleh anak sebelum belajar membaca dan menulis, yang akan mempengaruhi keberhasilan membaca di kemudian hari.
Definisi ini dikemukakan oleh Barry Zuckerman dari Department of Pediatrics, Boston University School of Medicine, USA dalam tulisannya "Reading Aloud to Children: the evidence" di BMJ Journals.
Selama membaca buku bersama anak, menurut Zuckerman, anak akan mengenal huruf, memahami bahwa cetakan mewakili kata yang diucapkan, cara memegang buku, membalik halaman dan memulai dari awal.
Anak juga belajar konsep bahasa tulis yang berbeda dari bahasa lisan. Anak juga mengenal struktur cerita; bahwa sebuah cerita memiliki awal, tengah, dan akhir. Ia juga belajar konvensi literasi seperti sintaksis (unsur-unsur yang membentuk kalimat), dan tata bahasa yang penting untuk memahami teks.
Masih menurut Zuckerman, membacakan dengan suara lantang membuka kesadaran anak tentang fonologis dan pengetahuan alfabet.
Kesadaran fonologi adalah kemampuan untuk memainkan bunyi-bunyi bahasa bicara, yang merupakan prasyarat penting lainnya untuk belajar membaca.
Untuk membaca kata, anak-anak harus tahu aturan untuk menerjemahkan tulisan menjadi bunyi yang bermakna. Kepekaan anak usia prasekolah untuk literasi dan sajak pada usia 4 sampai 5 tahun, dikatakan berkontribusi pada kemajuannya dalam membaca dan mengeja pada usia 6 sampai 7 tahun.
Penelitian terbaru yang dilakukan Emanuel Castano, seorang pengajar Psikologi dan Ilmu Kognitif di Universitas Trento, Italia, menemukan keterkaitan membaca lantang dengan kecerdasan.
Menurut Castano, membacakan cerita selama satu jam sehari dengan suara lantang untuk anak usia 6 sampai 12 tahun di sekolah, dapat meningkatkan kecerdasan mereka.
Kelompok yang dibacakan buku pada saat penelitian, menunjukkan peningkatan yang nyata, yaitu lebih kuat pada kecerdasannya, memanfaatkan pengetahuan, dan keterampilan berpikir. Peningkatannya muncul pada setiap subskala pada kedua alat tes tersebut.
Hasil riset ini akhirnya mendorong pejabat pemerintah di Tuscany - salah satu dari 20 daerah administratif di Italia - untuk mengadopsi metode satu jam sehari membacakan dengan suara lantang di sekolah umum.
Interaksi Menjadi Kunci Utama
Dr. Dipesh Navsaria, juru bicara American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa sudah banyak bukti bahwa membaca untuk anak setiap hari bahkan dalam waktu singkat pun.
Namun karena riset lengkapnya dianggap belum ada, Navsaria tidak dapat menyatakan soal peningkatan kecerdasan seperti yang dilaporkan oleh Castano.
Tetapi ia menunjukkan manfaat lain yang diperoleh anak-anak ketika dibacakan cerita. Yaitu, kosakata yang meluas, serta dampak anak yang lebih akrab dengan buku, dan paham cara kerja buku. Anak-anak juga punya pengetahuan luas tentang dunia sekitarnya.
Navsaria berkesimpulan bahwa penggerak utama kegiatan membaca tidak terletak padan bukunya tapi lebih pada interaksi yang terjadi saat membacakan buku.
Sebuah kelompok bernama Reach out and Read tempat Navsaria terlibat, menyatakan bahwa membacakan buku untuk anak-anak di semua usia dapat memberi manfaat. Namun sayangnya, beberapa keluarga merasa anak sudah besar dan sudah bisa membaca sendiri dengan lancar, menganggap orang tua tidak perlu lagi membacakan dengan keras.
Dampak berkomunikasi yang bertahap pada anak ternyata serupa dengan dampak ketika orang dewasa membacakan buku kepada anak dengan suara lantang.
Berbagai elemen dalam bahasa lisan seperti intonasi, volume, tekanan suara, artikulasi, dan tempo, dan kontak mata, akan dimainkan oleh pembaca ketika membacakan cerita. Kegiatan ini, pada akhirnya berpengaruh besar pada perkembangan bahasa anak.
Begitu juga pada cara berkomunikasi pada anak. Orang cenderung berbeda cara berbicara dengan anak-anak, bila dibandingkan dengan remaja atau orang dewasa.
Daniel Yurovsky, asisten dosen Psikologi dari Carnegie Mellon University yang risetnya dimuat di Neurosciencenews.com menyebut bahwa, orang tua berbicara dengan anak dengan cara menyederhanakan ucapan, mengulangi kata-kata, dan memanjangkan bunyi vokal. Proses inilah yang membantu anak memahami bahasa.
Kebiasaan orang dewasa berbicara dengan anak cenderung adalah berbicara lebih lambat dengan nada yang lebih tinggi atau suara lantang, serta menggunakan pengucapan yang berlebihan, pengulangan, dan struktur bahasa yang disederhanakan.
Orang dewasa juga suka membumbui percakapan dengan pertanyaan, untuk mengukur pemahaman anak.
Di sinilah kesamaan manfaat antara proses berkomunikasi dengan anak, dan membacakan buku secara lantang pada anak.
Bertahan dari Perundungan dengan Metode "Read Aloud"
Di Australia, sebuah studi University of South Australia (2021) menganalisis data yang mencakup 65.083 anak pada usia 5 hingga 6 tahun. Temuan itu mengidentifikasi 3.414 anak mengalami risiko perundungan di sekolah.
Membaca untuk anak-anak di rumah menurutnya, telah lama dikaitkan dengan kesiapan sekolah. Namun penelitian ini adalah studi pertama yang menunjukkan manfaat membaca pada anak yang mengatasi kesulitan atau perundungan di sekolah.
Peneliti utama, Profesor Leonie Segal mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk mendukung anak-anak dan keluarga mereka.
Dengan kebiasaan membacakan buku anak dengan suara lantang, menurut Segal, anak-anak mendapatkan ketahanan (mental) tiga kali lebih besar, dan mencoba bertahan dengan situasi yang dihadapi di sekolah.
Deborah Serani, Psy.D, dalam tulisannya Picture Books and Mental Health di PsychologyToday menyatakan, membacakan buku dengan suara lantang untuk anak akan membantunya mengembangkan wawasan, memecahkan masalah dan belajar hal-hal lain di luar dirinya.
Buku bacaan yang bergambar adalah alat penting untuk mengajari anak tentang emosi, regulasi, dan perawatan diri. Serani menyebutnya bibliotherapy atau terapi buku, yaitu terapi menggunakan buku untuk healing.
Samuel Crothers, menteri Amerika yang pada tahun 1916, menggambarkan bibliotherapy sebagai proses di mana literatur tertentu, baik fiksi maupun nonfiksi, diresepkan sebagai ‘obat’ untuk berbagai penyakit.
Bibliotherapy mencapai puncaknya pada tahun 1930an ketika para pustakawan mulai menyusun daftar bahan tulisan yang dapat membantu orang yang mengalami trauma emosi dan gangguan perilaku. Bahan tulisan itu semakin berkembang menjadi kategori sastra penting untuk orang dewasa dan anak-anak.
Yang digunakan untuk anak-anak adalah biblioterapi afektif, digunakan pada anak-anak yang sensitif, yang belum siap memecahkan masalah. Terapi buku ini dapat membantu anak mengenali perasaannya dengan cara yang membuatnya tidak merasa terancam.
Biblioterapi afektif dapat meningkatkan empati pada anak dan membantu mereka mengenali perasaan-perasaannya yang berbeda-beda. Sementara untuk orang dewasa menggunakan biblioterapi kognitif.
Di Indonesia, buku anak tersedia dengan tema beragam; fabel, cerita rakyat dari budaya lokal, hingga cerita yang mengisahkan kehidupan anak sehari-hari. Tugas orang tua tidak terbatas pada memberikan akses pada bacaan buku, namun juga memberikan waktu untuk membacakan dengan lantang cerita favorit anak. Jangan juga berhenti membacakan cerita hanya karena anak telah dapat membaca buku sendiri.
Karena bukan buku, namun interaksi yang merupakan faktor terpenting dalam kegiatan membaca ini.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Lilin Rosa Santi