tirto.id - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyoroti pembahasan RUU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal dalam Undang-undang (UU) RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Di antaranya penghapusan sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras, dan zat adiktif; diubahnya perizinan siaran untuk radio dan televisi dari kementerian menjadi pemerintah; menghapus perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran dan pencabutannya; dan menghapus syarat izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran berlangganan.
"Ini bertentangan dengan semangat UU Penyiaran itu sendiri," kata Sukamta, Rabu (9/9/2020).
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menjelaskan bahwa penghapusan sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras, dan zat adiktif menjadi hanya sanksi administratif. Hal itu tidak sejalan dengan semangat penyiaran yang salah satu tujuannya adalah terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa.
Penghapusan sanksi pidana dapat mengakibatkan semakin banyaknya iklan minuman keras, rokok, zat adiktif, dan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan di radio dan televisi.
"Larangan iklan terhadap eksploitasi anak di bawah umur juga dapat menyuburkan praktik-praktik eksploitasi anak dalam kegiatan bisnis," ujarnya.
Menurutnya, kontrol penyiaran agar tetap berada di jalurnya juga menjadi sulit dilakukan jika perpanjangan dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dihapus.
“Perubahan-perubahan ini cenderung mengarahkan kepada liberalisasi penyiaran. Karenanya, saya menolak hal tersebut," ucapnya.
Ia menyarankan lebih baik pemerintah memikirkan perubahan yang lebih progresif dan sangat dibutuhkan masyarakat saat ini. Misalnya digitalisasi penyiaran dengan migrasi digital menggunakan model single-mux.
"Sebetulnya soal digitalisasi penyiaran ini yang lebih mendesak untuk diatur,” tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali