Menuju konten utama

Habis Dorong The New Normal, Kantor Pemerintahan Malah Kembali WFH

Kantor pemerintahan tutup karena karyawannya terpapar Corona. Ini ironis karena pemerintah mempromosikan new normal yang intinya adalah penerapan protokol.

Habis Dorong The New Normal, Kantor Pemerintahan Malah Kembali WFH
Kantor pemerintahan. ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Satu per satu kantor pemerintah pusat ditutup usai pegawainya terdeteksi positif COVID-19. Sebagai tindak lanjut, diterapkanlah skema bekerja dari rumah atau work from home (WFH).

Gedung Kementerian Hukum dan Ham (eks Sentra Mulia) yang menutup kantornya selama 12-22 Agustus. Gedung C Kementerian Pertanian juga sempat ditutup sementara pada 24-26 Agustus, menyusul kemudian Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang ditutup 28 Agustus–11 September, lalu diperpanjang lagi sampai 14 September.

Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi juga tak luput ditutup selama 7-21 September usai enam pegawai positif COVID-19.

Merespons masalah ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo menerbitkan Surat Edaran untuk Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk membolehkan Aparatur Sipil Negara (ASN) bekerja secara WFH. Bagi daerah yang masuk zona merah (risiko tinggi), jumlah pegawai yang diizinkan di kantor hanya 25 persen dari total. Bila zona kuning (risiko sedang), dibagi rata 50 persen kantor-rumah.

“Perubahan surat edaran ini dilakukan dengan memperhatikan status penyebaran COVID-19 di Indonesia,” ujar Tjahjo, Senin (7/9/2020), dikutip dari Antara.

Selain kantor pemerintahan, sebenarnya banyak pula kantor swasta yang jadi klaster penularan. Klaster kantor ini pertama kali diumumkan oleh Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah pada akhir Juli lalu.

Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi sempat mengatakan munculnya klaster kantor pemerintahan “menunjukkan bahwa pemerintah sendiri kurang berhasil dalam mengedukasi pegawai mereka.”

Kondisi ini memang bertolak belakang dengan dorongan the new normal dari pemerintah sejak Mei lalu. Waktu itu, dorongan “berdamai” dengan COVID-19 diikuti dengan pemberlakuan lagi work from office (WFO). Presiden Joko Widodo bahkan menggelar rapat tatap muka lagi pada Senin 8 Juli.

Selain itu, pariwisata juga dibuka sebagian, penerbangan beroperasi lain, dan kunjungan ke mal dibolehkan.

Syaratnya adalah patuh terhadap protokol kesehatan.

Tujuannya sederhana: jika masyarakat beraktivitas, maka ekonomi diharapkan bisa bergeliat lagi. Pemerintah ingin menghindari resesi di Q3 usai Q2 pertumbuhan terkontraksi dalam di 5,32 persen.

Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto bahkan mengampanyekan gerakan jaga jarak mulai 7 September sampai 6 Oktober--pernah dilakukan pemerintah sejak Maret. Pesannya sama: hindari kerumunan meski saat ini konteksnya mengarah pada persiapan Pilkada 2020.

“Minta untuk ditegaskan sehingga nanti pilkada tidak menjadi penyebar atau klaster baru dari pandemi COVID-19,” kata Airlangga usai sidang kabinet di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (7/9/2020).

Ironis

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan munculnya penularan di sejumlah kantor pemerintahan menunjukkan para ASN masih belum patuh terhadap protokol COVID-19. Ia bilang itu ironi lantaran mereka seharusnya menjadi contoh.

“Pemerintah kan, inginnya ditaati, rakyat nurut. Tapi pegawainya pada enggak nurut,” ucap Ede saat dihubungi, Selasa (8/9/2020).

Menurutnya penerapan kembali WFH agak terlambat lantaran kasus COVID-19 sudah terlanjur tinggi. “Kita kehilangan golden opportunity cegah COVID-19. Kemarin seharusnya WFH total atau PSBB total.”

Berhubung kesempatan emas menekan penyebaran sudah lewat, Ede memberikan sejumlah catatan agar WFH yang dilakukan pemerintah berhasil. Pertama, serius menerapkan protokol kesehatan. Tidak hanya imbauan, tetapi aturan, kebijakan, hingga hukuman. Ini penting karena sejak WFH gelombang pertama lalu, masih ada saja masyarakat yang berkerumun di luar.

Kedua, peran pemerintah daerah harus diperkuat sampai tingkat terendah di RT/RW. Pemerintah punya otoritas untuk memberi tugas dan mengharuskan level terbawah bergerak mengawasi wilayah. Ketiga, jika perlu menurutnya pendekatan juga bisa melalui pemuka agama.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono sependapat dengan Ede. Di samping WFH, edukasi terhadap para ASN apalagi masyarakat harus tetap dilakukan. Tanpa perbaikan pada edukasi, sulit mencegah ASN tak tertular lagi lantaran penyebaran COVID-19 bisa terjadi di mana saja.

“Jadi sebenarnya tidak cukup WFH tapi edukasi terus menerus,” kata Pandu.

Baca juga artikel terkait KLASTER PERKANTORAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino