Menuju konten utama

Pengesahan RKUHP Membuat Kebebasan Sipil Semakin Terancam

Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP sangat mengancam kebebasan berekspresi publik.

Pengesahan RKUHP Membuat Kebebasan Sipil Semakin Terancam
Sejumlah aktivis dari gabungan sejumlah elemen masyarakat membawa poster saat berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/12/2022). Mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/tom.

tirto.id - DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang, Selasa, 6 Desember 2022. Pengesahan ini dilakukan di tengah penolakan masyarakat sipil yang menilai bahwa subtansi KUHP baru ini memuat banyak pasal bermasalah.

"Pengesahan RKUHP jelas-jelas menjadi ketuk palu kesepakatan penguasa untuk membungkam masyarakat," kata Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute Hemi Lavour Febrinandez, dalam keterangan tertulis.

Contohnya, Pasal 218 RKUHP terkait dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, ketentuan tersebut bermasalah karena ini merupakan pasal kolonial yang tidak lagi sesuai dengan keadaan Indonesia hari ini.

Delik ini juga tidak memberikan indikator jelas seseorang dianggap menyerang kehormatan presiden dan/atau wakil presiden.

Publik akan dihadapkan dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah terancam dipidanakan karena dianggap telah menyerang kehormatan kepala negara Indonesia. Lantas terdapat pemberatan ancaman pidana ketika perbuatan itu dilakukan di media sosial.

Pasal 219 RKUHP memberikan ancaman pidana berupa penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori IV. Ketentuan ini hanya menambah sengkarut pengaturan mengenai kejahatan siber di Indonesia.

"Pasal 219 RKUHP yang mengatur tentang pemberatan pidana ketika penghinaan terhadap presiden dilakukan menggunakan sarana teknologi informasi, dapat dijadikan sebagai dasar penguat bagi penguasa untuk menggunakan pasal multitafsir yang terdapat di dalam UU ITE," terang Hemi.

Padahal sebelumnya DPR dan Pemerintah pernah berjanji untuk menghapus pasal multitafsir di UU ITE, tapi sepertinya hal tersebut hanyalah 'layanan bibir' dengan dihadirkannya pasal baru dalam RKUHP yang jauh lebih berbahaya.

"Ini menjadi langkah mundur dalam demokrasi dan peringatan serius akan bertambahnya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan sipil,” tutur Hemi.

Ketika ketentuan ini dijalankan, dapat dipastikan aparat penegak hukum akan bergerak secara serampangan atas nama menjaga harkat dan martabat pemerintahan yang sah. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana masalah yang selama ini ditimbulkan oleh pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE dan keberadaan polisi virtual yang mempersempit gerak masyarakat dalam ruang digital.

Sebelum pengesahan hari ini, Komisi III DPR bersama pemerintah telah mengesahkan RKUHP pada pembahasan tingkat I, pada 24 November. Kesepakatan tersebut kemudian dibawa ke rapat paripurna hari ini.

Baca juga artikel terkait PENGESAHAN RKUHP atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky