tirto.id - DPR menggelar rapat paripurna guna pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU pada Selasa, 6 Desember 2022. Koalisi masyarakat sipil dan lembaga independen negara pun merespons soal pasal-pasal yang bermasalah dalam rancangan regulasi tersebut.
Ketentuan hukuman mati
Komnas HAM misalnya, berpendapat pencantuman hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yakni hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable right).
Komnas HAM menilai hukuman mati bukan lagi merupakan hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu, dan memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati.
Banyak negara telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.
Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP (Pasal 100) juga mendapat sorotan internasional. Pada Universal Periodic Review (UPR) terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara, baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
Para komisioner Komnas HAM pun meminta pasal-pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM untuk diperbaiki. Seperti ketentuan dalam Pasal 300 tentang hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan; ketentuan dalam Pasal 465, Pasal 466, dan Pasal 467 tentang aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan.
Pelanggaran HAM berat Indonesia bisa lenyap
Hal lainnya yang disorot Komnas HAM ialah penyelesaian pelanggaran HAM berat. Tindak pidana pelanggaran HAM berat di dalam RKUHP sebagian besar diadopsi dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Secara prinsip dan asas delik pelanggaran HAM berat memiliki prinsip dan asas yang tidak sama dengan tindak pidana biasa, meski dalam RKUHP disebut tindak pidana khusus. Kemudian dalam delik pelanggaran HAM berat dikenal dengan asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal daluarsa.
Jika RKUHP tidak memasukkan dua asas tersebut, maka akan akan timbul masalah baru.
“Maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang selesai dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM, dapat dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi. Faktanya, kami masih bisa menemukan korban-korban atas peristiwa tersebut,” ucap Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, di kantor Komnas HAM, Senin, 5 Desember 2022.
Penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat terdapat dalam Pasal 598 dan Pasal 599 RKUHP.
Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat dalam RKUHP, menandakan segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. Masa kedaluwarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu singkat.
Hukum yang hidup di masyarakat
Pasal 2 dalam RKUHP ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim.
“Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ucap Ketua YLBHI Muhamad Isnur, Senin, 8 Desember 2022, dalam keterangan tertulis.
Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Paham lain non-Pancasila
Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum: Pasal Subversif yang kembali muncul (Pasal 188).
Pasal ini bermasalah lantaran nihil penjelasan ihwal “paham yang bertentangan dengan Pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila.
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait paham yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi dalam era orde baru.
Penghina pemerintah & lembaga negara bisa dihukum
Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti-demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan.” Pasal ini berpotensi untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Ketika sidang, advokat dan jurnalis bisa dipidana
Pasal 280 RKUHP ini tidak menjelaskan mengenai frasa “penegak hukum.” Sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa.
Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
Kemunculan legitimasi persekusi dan pelanggaran ruang privat rakyat
Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri.” Pasal 412 ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi ini pun berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
Tumpang-tindih UU ITE dihapuskan
Seharusnya yang dilakukan DPR dan pemerintah adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.
Frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya. Misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa tersebut.
Peserta pawai, unjuk rasa, demonstrasi, terancam pemenjaraan
Pasal 256, berisi tentang ancaman pemidanaan baru terhadap pawai, unjuk rasa dan demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat soal “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.
Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
“Pasal ini lebih kolonial daripada hukum buatan Belanda, asal pasal ini dari pasal 510 yang ancaman pidananya hanya penjara 2 minggu, sedangkan dalam pasal 256 menjadi penjara 6 bulan,” kata Isnur.
Gelagat hukuman ringan koruptor
Dalam draf RKUHP terakhir, Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605 dan Pasal 606, yang berisi ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor.
Korporasi sebagai entitas sulit dijerat
Draf RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas.
Pengaturan yang tercantum dalam Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Regulasi tersebut juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.
Pengaturan pidana denda
Pasal 81 mengatur jika pidana denda tidak dibayarkan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda. Bila setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi, maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
Problemnya, pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Hal ini akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lain.
Kemudian, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menemukan 17 pasal bermasalah dalam draf RKUHP yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
“Pemerintah dan DPR membuat undang-undang secara ugal-ugalan,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim.
Ia menambahkan, “DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan RKUHP karena akan memberangus kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. AJI akan terus bersuara sampai pasal-pasal bermasalah dihapus.”
Berikut pasal temuan AJI:
- Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
- Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
- Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
- Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
- Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
- Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
- Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
- Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
- Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
- Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz