tirto.id - Pendemi virus corona baru atau dikenal dengan nama COVID-19 membuat masyarakat Indonesia mengalami kecemasan tinggi. Hal ini ditunjukkan dalam studi terbaru dari Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) bersama dengan Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Studi tersebut melibatkan 8.031 responden yang tersebar di 34 provinsi Indonesia. Survei dilaksanakan selama 8 hari mulai 6-13 Juni 2020 melalui daring. Dari penelitian tersebut, lebih dari 50 persen responden mengalami kecemasan dengan kategori cemas dan sangat cemas dalam berbagai konteks kehidupan mereka, meliputi pendidikan, ekonomi, agama dan interaksi sosial.
Dengan rincian, sekitar 67 persen responden mengalami kecemasan di aspek hubungan interaksi sosial, 55 persen pada aspek agama, dan 63 persen responden mengalami kecemasan di aspek pekerjaan. Sementara itu, sebanyak 74 persen responden mengalami kecemasan di aspek pendidikan.
Berdasarkan tingkat kecemasan pada karakteristik responden, masyarakat dalam rentang usia 30-39 tahun mengalami kecemasan terbanyak yakni sekitar 76 persen. Kaum perempuan mengalami kecemasan paling dominan sebanyak 77,7 persen, dan kaum pria yang mengalami kecemasan di masa pandemi COVID-19 ini sebanyak 64,6 persen.
“Dampak wabah COVID-19 tidak saja dirasakan dari sisi kesehatan atau kematian. Namun, juga terhadap psikososial bagi warga di mana saja, termasuk Indonesia,” tulis dalam Persakmi.
Selanjutnya, Persakmi juga menjelaskan bahwa masyarakat tidak hanya cemas dengan kemungkinan tertular infeksi SARS-CoV-2 tersebut, melainkan juga dampak pandemi terhadap tatanan kehidupan mereka.
Bagaimana cara mengatasi kecemasan tersebut?
Dalam diskusi pengelolaan kecemasan semasa pandemi COVID-19 via daring beberapa waktu lalu, Dra. Y. Santi Roestiyani menyatakan: “banyak informasi mengenai virus corona, menimbulkan dampak positif maupun negatif. Kita memang wajib mengikuti informasi sebagai upaya untuk tetap waspada."
Akan tetapi, kata dia, apabila terpapar informasi itu secara terus menerus, maka akan berdampak pada kesehatan mental. Hal tersebut memicu stres, cemas, panik, dan rasa takut.
Namun, dalam diskusi bersama Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut menjelaskan bahwa kecemasan merupakan reaksi yang wajar semasa pandemi ini.
Kendati demikian, jika dibiarkan berlarut-larut, kecemasan dapat menyebabkan gangguan psikologis, fisik, dan kognitif. Oleh karenanya, psikiater RSUD Wonosari dan RS PKU Muhammadiyah Wonosari Ida Rochmawati menjelaskan bahwa penting untuk mengenali gejala kecemasan sehingga seseorang dapat menolong dirinya sendiri.
Beberapa cara yang ia jelaskan antara lain dengan bertanya dengan diri sendiri dan mengenali kepribadian diri. Kedua, menghindari paparan yang memicu kecemasan. “Menjaga jarak dari informasi itu penting. Apabila sudah merasa lelah dengan informasi, maka coba berhenti beberapa hari,” ungkap Ida.
Tidak hanya itu, ia menambahkan, perlu juga menghindari diskusi dengan orang yang pencemas. Sebagai solusi kecemasan, direkomendasikan untuk bertanya pada ahli terkait jika ada informasi yang menyebabkan cemas.
Untuk mengisi waktu luang, dianjurkan melakukan hobi yang menyenangkan, berolahraga, serta tetap memenuhi makanan gizi seimbang. Olahraga sangat direkomendasikan karena dapat meningkatkan hormon endorfin yang meningkatkan rasa senang.
Apabila cemas yang dialami berlarut-larut dalam jangka waktu yang lama, disarankan untuk segera datang ke profesional kesehatan terutama bila kecemasan tersebut menimbulkan serangan panik, perilaku kacau, membahayakan diri sendiri dan orang lain, serta menimbulkan gejala fisik atau memperberat gejala yang sudah ada.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Alexander Haryanto