tirto.id - Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Tidak berguna
Bubarkan saja
Diganti Menwa
Kalau perlu diganti Pramuka
Jika Anda lahir tahun 70-80an, sempat ‘makan’ bangku sekolahan, terlebih ikut dalam gerakan reformasi, Anda sangat mungkin tidak asing dengan yel-yel tersebut. Itu adalah gubahan dari mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan populer di kalangan aktivis.
21 tahun berselang, dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet membawakan lagi yel-yel itu pada Aksi Kamisan pekan ke-576, 28 Februari 2018, yang mengangkat tema 'tolak dwifungsi TNI'. Yel-yel itu ia bawakan sebagai pembuka orasi (orasi lengkap klik di sini) yang isinya menolak rencana pemerintah menempatkan perwira aktif di kementerian.
"Lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau, bukan TNI di masa kini, apalagi dimaksudkan untuk menghina profesi dan institusi TNI," kata Robet dalam video klarifikasinya.
Namun rupanya klarifikasi itu tak cukup. Robet ditangkap polisi pada Kamis (7/3/2019) pukul 00.00 WIB (versi lain: 6 Maret 2019 pukul 23.30) di rumahnya dan langsung diseret ke Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan.
Robet disangkakan telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Robet pun dianggap telah melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Robet dianggap telah melanggar pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Ketika berita ini ditulis ia telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ancaman Terhadap Demokrasi
Kecaman pun mengemuka atas penangkapan ini. Salah satunya dari Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi, koalisi yang terdiri dari sejumlah LSM seperti Kontras, LBH Jakarta, Amnesty International, dan Imparsial. Mereka menilai penangkapan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan sipil.
Robet dijerat dengan pasal yang kerap dipakai untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws). Misalnya Pasal 207 KUHP: "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan".
Isi pasal tersebut sebetulnya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 yang mengatakan: "dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)." Sementara Robet sendiri dilaporkan oleh polisi.
Tim Advokasi pun mempertanyakan penggunaan UU ITE dalam perkara ini. Sebab, Robet tidak menyebarkan informasi apa pun melalui media elektronik. Dia menyampaikan refleksinya melalui orasi.
Selain itu Tim Advokasi juga menilai komentar atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Kemudian, TNI pun bukan individu dan tidak bisa 'dikecilkan' menjadi kelompok masyarakat tertentu sebagaimana objek hukum yang diatur dalam pasal 28 UU ITE.
"Karena TNI adalah lembaga negara," tulis Tim Advokasi dalam siaran persnya.
Penghinaan Terhadap Negara Hukum
Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai penangkapan Robet adalah lampu merah bagi Undang-Undang ITE. Ia menilai sudah saatnya pemerintah mencabut aturan tersebut.
Bivitri bicara bukan tanpa dasar. Di samping Robet, sudah banyak korban dari UU yang sempat direvisi tahun 2016 ini. Salah satu kasus terdekat ialah seorang guru bernama Baiq Nuril yang divonis bersalah setelah rekaman pelecehan seksual yang dilakukan atasannya tersebar.
"Undang-Undang yang sedemikian karet seperti ini seharusnya tidak ada dalam negara hukum. Dan kita adalah negara hukum, itu jelas di konstitusi kita," kata Bivitri saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/3/2019).
Selain itu, Bivitri menilai undang-undang ITE inkonstitusional sebab bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan.
Bivitri pun mempertanyakan alasan kepolisian melakukan penangkapan pada tengah malam, padahal menurutnya tidak ada kekhawatiran Robet akan menghilangkan barang bukti apalagi melarikan diri. Bahkan kabarnya sebelum penangkapan rumah Robet sempat didatangi dua orang TNI.
"Jadi jelas menurut saya ini adalah penghinaan negara hukum juga dalam hal prosedur," katanya.
Hal serupa diungkapkan pendamping hukum Robert sekaligus Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, Erwin Natosmal Oemar.
Menurut Erwin, penangkapan Robet dipaksakan, tergesa-gesa, tanpa mempertimbangkan waktu yang layak, serta tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Infonya baru kemarin gelar perkara, dan langsung ditetapkan tersangka. Harusnya dipanggil dulu sebagai saksi,” katanya kepada reporter Tirto.
Reporter Tirto telah menghubungi Albertus Rachmad Wibowo, Kepala Direktorat Cyber Mabes Polri, tapi yang bersangkutan belum merespons hingga berita ini tayang.
Tapi menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, Robet tidak ditahan. Ketika dihubungi reporter Tirto, dia membalas dengan pesan terusan berupa laporan penangkapan Robet. Salah satu poin yang tertulis di sana adalah: “barang bukti: tidak ada.”
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino