tirto.id - “Kami akan cari terus. Pendeknya kami akan berikan pesan kepada mereka bahwa tidak ada tempat yang aman bagi buron.”
Begitulah pernyataan Jaksa Agung M Prasetyo saat ditanya soal penangkapan buron terpidana kasus korupsi yang diproses Kejaksaan Agung, Kamis siang (12/7/2018).
Dalam beberapa bulan terakhir, Korps Adhyaksa berhasil mencokok sejumlah terpidana yang sudah lama buron. Dalam salah satu kesempatan, Prasetyo bahkan sempat mengklaim sudah menangkap 250 terpidana. Yang terbaru, Kejaksaan menangkap buronan korupsi pengelolaan jalan tol JORR Pondok Pinang-TMII, Thamrin Tanjung, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (10/7).
Menurut Prasetyo, apa yang dilakukan aparatnya adalah bukti efektivitas program Tangkap Koruptor (31.1) yang dijalankan Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi.
Program ini, diklaim Prasetyo, tak hanya menyasar buron tapi juga menyasar aset negara yang dicuri para terpidana ini. “Karena para terpidana koruptor ini selain hukuman badan dia juga harus bayar denda dan uang pengganti,” kata Prasetyo.
Ada Celah
Kejaksaan boleh jadi menganggap apa yang mereka lakukan patut mendapat apresiasi. Akan tetapi, kebijakan yang lumayan agresif ini pun bukan tanpa cela.
Komisioner Komisi Kejaksaan Indro Sugianto menyebut penangkapan buron ini memang tugas dari kejaksaan, terlebih kepada terpidana yang memang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Tanpa ada program, harusnya [penangkapan ini] menjadi satu kewajiban,” kata Indro saat saya hubungi, Kamis sore.
Akar masalah dari penangkapan ini sebenarnya lantaran banyak terpidana tak ditahan selama proses hukum berjalan di tingkat penyidikan hingga penuntutan. Indro menyebut masalah ini dilatari beragam faktor salah satunya sistem hukum yang memberi celah kepada terdakwa/tervonis/terpidana untuk kabur.
Ia mencontohkan saat majelis hakim tidak memerintahkan seorang terdakwa ditahan usai menjalani sidang vonis. Situasi ini kerap membuat terdakwa kabur sehingga membuat jaksa kelimpungan. Kondisi bisa semakin tak keruan saat terdakwa mengajukan banding dan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Oleh karena itu saya kira harus ada semacam perubahan juga di tingkat pengkajian kembali hukum acaranya,” kata Indro.
Pada sisi lain, Indro juga menyoroti masalah diskresi penyidik atau jaksa dalam menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa perlu ditahan atau tidak saat menjalani masa penyidikan atau penuntutan. Diskresi ini terkait dengan kewenangan subjektif yang dimiliki penyidik dan penuntut umum seperti tercantum dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (PDF).
“Kewenangan menahan itu masuk kewenangan yang diberikan dalam undang-undang. [...] Kita ketahui bahwa penahanan itu dasarnya yang normatif dan subjektif. Langkah tegas subjektif ini harus memperoleh pengawasan yang kuat,” kata Indro.
Banyak Keanehan
Subjektivitas ini pula yang disoroti Feri Amsari, pegiat antikorupsi sekaligus Direktur Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas. Saat saya hubungi, Feri mengaku heran kenapa Kejaksaan tidak menahan para buron ini saat masih berstatus tersangka atau terdakwa. Pada tahap itu, kata Feri, para pesakitan ini sebenarnya bisa menghilangkan alat bukti.
“Nah aneh kalau kemudian ada logika untuk tidak menahan sedari awal, apalagi sudah ada sanksi pidananya ya. Tidak dipenjara itu lebih aneh lagi,” kata Feri.
Feri memberi saya contoh. Kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan RSUD Sungai Dareh di Kabupaten Dharmasraya yang menyeret Bupati Marlon Martua. Marlon sudah divonis pidana satu tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan.
“Tapi sampai sekarang tidak dipenjarakan,” ucap Feri.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menjelaskan, penyidik atau penuntut umum sebenarnya bisa langsung menahan tersangka atau terdakwa jika perkara yang sedang diproses sudah menemukan dua alat bukti yang cukup.
Dasar ini sebenarnya bisa menjadi landasan bagi penuntut umum untuk segera menahan tersangka/terdakwa korupsi saat kasusnya diproses.
“Begitu ada kasus korupsi harus wajib tahan karena ada potensi untuk melarikan diri, belum lagi menghilangkan alat bukti. Itu yang menurutku jadi catatan penting.”
Situasi seperti ini, kata Feri, harus segera dibenahi. Ia meminta kepada Jaksa Agung M Prasetyo segera bertindak membenahi internal kejaksaan. Bagaimana pun, kata Feri, jaksa adalah eksekutor.
“Jadi Aneh kalau kemudian setelah dituntut, dipidana malah tidak dipenjarakan. Kalau kasus-kasus kecil begitu cepat, tapi kalau sudah yang jadi tersangka korupsi banyak celah untuk menghilang,” ucap Feri.
Pembelaan Prasetyo
Komisi Kejaksaan dan pegiat antikorupsi boleh saja mengkritik Kejaksaan. Akan tetapi, Prasetyo punya pleidoi buat menanggapi tuduhan yang dilayangkan kepada jajaran yang dipimpinnya.
Mantan politikus Partai NasDem itu mengatakan Kejaksaan Agung berbeda dengan KPK dalam memproses perkara korupsi. KPK, kata Prasetyo, punya mekanisme operasi tangkap tangan sehingga tak memungkinkan koruptor bisa kabur dan wajib ditahan. “Kami ini harus menelusuri sejak awal bukti-buktinya,” kata Prasetyo.
Sementara saat disinggung terkait banyaknya terdakwa bebas saat proses penuntutan berlangsung, Prasetyo salah memahami konteks pertanyaan saya dan malah melempar ‘kesalahan’ ke majelis hakim. “Tanya ke hakim, kalau kami enggak menuntut bebas.”
Ia pun berujar, penuntut umum dari korps kejaksaan sudah bekerja secara profesional. Tak hanya itu, Prasetyo pun menganggap, kritikan atas kinerja lembaganya sebagai hal yang biasa saja.
“Ibaratnya main sepakbola. Penonton lebih pintar daripada pemainnya,” ucap Prasetyo.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih