tirto.id - Ketua DPP Partai Ummat, Nandang Sutisna menuding pemerintahan Joko Widodo dan DPR tidak serius dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset. Hal itu dilihat dari belum adanya Surpres (Surat Presiden) kepada parlemen untuk membahas RUU tersebut sehingga bisa disahkan dalam waktu dekat.
“Tertundanya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi dan dikhawatirkan ada unsur pembiaran atau kesengajaan karena masih memiliki kepentingan dengan korupsi,” kata Nandang dalam keterangannya pada Rabu (5/4/2023).
Melihat hal itu, Nandang menuding pemerintahan Jokowi saat ini tidak serius soal pemberantasan korupsi. Ditambah Laporan Hasil Pemeriksaan Audit (LHP) PPATK yang diduga terkait dengan pencucian uang senilai Rp349 triliun juga tidak ditangani serius baik oleh pemerintah maupun DPR.
“Korupsi masih menjadi problematika utama di Indonesia dan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan belum berjalan dengan efektif,” jelasnya.
Dirinya pesimis penanganan korupsi di Indonesia akan maju, selama RUU Perampasan Aset tidak segera disahkan.
“Kinerja pemberantasan korupsi pemerintahan Presiden Jokowi stagnan bahkan cenderung mengalami kemunduran,” tegasnya.
Apabila dalam jangka waktu sepekan tidak ada pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset di DPR, Nandang menyebut presiden dan DPR tidak berempati terhadap masyarakat. Terutama dalam kondisi pasca pandemi COVID-19 yang sedang bergeliat membangun ekonomi.
“Pemerintah dan DPR juga harus empati dengan kondisi masyarakat yang sulit akibat pandemi dan harus menunjukan keberpihakan kepada masyarakat dalam pemberantasan korupsi,” terangnya.
Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani meminta pemerintah untuk segera mengirimkan naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset. Arsul meminta pemerintah segera mengirimkan draf tersebut agar RUU Perampasan Aset bisa segera disahkan menjadi undang-undang.
Arsul menyebut akibat tertundanya draf dan naskah akademik RUU Perampasan Aset DPR terkena imbas. Mereka dituding memperlambat pembahasan RUU tersebut dan seakan tidak mau ikut dalam proses penyelesaian masalah korupsi di Indonesia.
"Sekarang kan yang dikesankan bahwa DPR nya tidak mau membahas. Padahal naskah akademik dan draf RUU-nya saja belum dikirim ke DPR," kata Arsul saat dihubungi Tirto.
Sebagai alternatif agar RUU Perampasan Aset bisa selesai dalam waktu cepat adalah dengan pembuatan Perpu. Karena dengan Perpu, DPR hanya diberi dua pilihan menerima atau menolak tanpa harus ikut campur mengenai konten pembahasan.
"Alternatifnya kalau mau cepat ya presiden keluarkan Perpu. Kemudian nanti diajukan kepada DPR untuk disetujui," pungkasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky