tirto.id - Klausul perkawinan paksa dan perbudakan seksual dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Usulan tersebut datang dari pemerintah.
"Dari DPR ada lima, dan pemerintah menambah dua tindak pidana yakni perkawinan paksa dan perbudakan seksual," ucap Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej, Selasa (22/2/2022) dilansir dari Antara.
Eddy memaparkan, lima usulan dari DPR yang dimasukkan ke dalam RUU TPKS antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi dan penyiksaan seksual.
Khusus perkawinan paksa, Eddy menyadari akan ada banyak pertentangan atau perdebatan yang muncul karena hal tersebut dimasukkan ke dalam RUU TPKS.
Kemudian, untuk perbudakan seksual cakupannya akan lebih luas dari yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Ia menjelaskan Undang-Undang TPPO motifnya sudah pasti bermuara pada ekonomi. Sementara, dalam RUU TPKS orang yang bukan dalam konteks kepentingan ekonomi tetap bisa dijerat karena perbudakan seksual.
Formulasi perbuatan pidana dalam RUU TPKS disusun oleh sumber daya manusia (SDM) dari kejaksaan dan kepolisian yang telah berkecimpung dengan pidana kekerasan seksual.
Selain itu, dalam RUU TPKS juga mengatur hal baru yakni pembentukan Unit Pelaksanaan Tugas Daerah Pemberdayaan dan Pelindungan Anak (UPTD PPA).
UPTD PPA yang merupakan usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini wajib dibentuk di daerah jika RUU TPKS telah sah menjadi undang-undang.
"Jadi kalau ada korban kekerasan seksual, maka ditangani oleh UPTD PPA," pungkas Eddy.